• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Tiga Sebab Teks-teks Islam seperti Misoginis dan Patriarkis

Tia Isti'anah Tia Isti'anah
09/09/2019
in Publik
0
misoginis, patriarkis

Ilustrasi: kintaka[dot]co

240
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebagai Perempuan yang sejak Sekolah Menengah Pertama tinggal di Pondok Pesantren, saya mengalami betul bagaimana mayoritas teks-teks ditafsirkan dengan kerangka patriarki lebih banyak hadir di sana. Mengapa teks-teks Islam seperti misoginis dan patriarkis?

Ya tentu saja saya tidak berani memprotes. Kajian Fiqih sudah dianggap sebagai sebuah tauhid yang tidak bisa diganggu gugat. Apalagi jika kita tidak merasa memiliki keilmuan agama yang dalam maka sudah tentu akan dapat didebat oleh orang-orang yang memiliki kepentingan.

Saya sering bertemu aktivis Perempuan yang mempertanyakan terkait Islam yang adil gender, ia menpertanyakan mengapa ada teks-teks yang misoginis. Malahan ada salah seorang teman yang menyatakan bahwa ia pernah beranggapan Perempuan berkerudung adalah perempuan yang melanggengkan patriarki.

Tentu saja anggapan dan pertanyaan-pertanyaan terkait Islam yang seakan-akan tidak adil gender ada dibenak banyak orang. Namun, tidak semua menemukan jawaban dan kebanyakan malah harus terbentur dengan kajian fiqih yang rigid atau teks-teks Islam yang seakan-akan misoginis.

Sedikit sekali pengurus di Pesantren yang memiliki kajian terkait keadilan gender Islam. Saya sangat terbantu karena saya masuk di mubadalah dan bertemu banyak Ulama-ulama yang memiliki perspektif keadilan gender. Saya akan merangkum beberapa hal yang mungkin menyebabkan teks-teks Islam yang seakan-akan misoginis dan patriarki hadir:

Baca Juga:

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

KB dalam Pandangan Riffat Hassan

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

Pertama, Mba Laily Fitri (bisa ditemui di @MahameruLee) dalam salah satu thread ramadhannya menceritakan bagaimana Sejarah bisa sangat mempengaruhi hal ini. Menurutnya, ini merupakan sebuah konsekuensi dari masyarakat yang tadinya berbentuk semi-matriarkal menjadi full-patriarkal.

Saat abad 7 Hijriah, Perempuan bisa meniduri laki-laki manapun dan bisa memilih laki-laki mana yang akan menjadi ayah dari anaknya. Bentuk masyarakat Arab juga berubah, yang tadinya berbentuk kesukuan menjadi masyarakat berbasis agama yang memiliki konsekuensi pada tatanan sosial-politik yang didominasi laki-laki. Tuhan Perempuan yang dulu ada (Berbentuk Dewa-dewi) juga digantikan Tuhan monoteistik.

Sebenarnya konsep ini berkebalikan dengan beberapa pernyataan sejarah yang lain. Dimana dikatakan bahwa masyarakat Arab sebelum datangnya Islam adalah masyarakat al-abawi (patriarki). Dan Islam datang untuk merubah tatanan tersebut. Konsep al-abawi yang terkenal sebelum datangnya Islam seperti penguburan bayi Perempuan hidup-hidup,

Perempuan yang boleh dinikahi berapa kalipun, dan nilai saksi yang tidak dimiliki oleh Perempuan. Dalam al-Qu’an sendiri sebenarnya sudah menyatakan dalam Surat an-Nahl: 58-59 yang mengambarkan bagaimana nasib Perempuan sebelum Islam datang (dikubur hidup-hidup)

Kedua, hal yang mempengaruhi adalah bahasa. Saya mendapatkan pengetahuan ini tentu saja karena mengikuti elas Ibuk Dr.Nur Rofiah, Bil. Uzm. Terima Kasih banyak Ibuk!. Bahasa yang dimaksudkan disini adalah bahasa Arab yang menjadi bahasa yang dituturkan dalam Islam. Bahasa Arab secara unconcious atau tidak sadar sangat sensitif gender.

Perempuan disebut dengan muannas dan laki-laki disebut dengan mudzakar. Dalam bahasa Arab hampir semua kata memiliki gender bahkan kursi, lemari, lantai juga memiliki gender.

Teks al-Qur’an datang sejatinya untuk merekontruksi tatanan sosial tersebut. Namun, karena kesadaran masyarakat Arab adalah gender maka perlu ketelitian untuk memaknainya agar tidak mencerminkan sikap Arab tetapi sikap Islam.  Terdapat kisah menarik Ummu Salamah yang menggambarkan bagaimana bahasa dimaknai oleh orang Arab dan Islam.

Ummu Salamah yang tengah disisiri oleh pelayannya mendengar Nabi di Masjid menyeru “Ya ayyuha an-nass” atau “Wahai para manusia”. Kemudian Ummu Salamah berdiri untuk bersiap ke Masjid. Pelayannya menegurnya dan menyatakan bahwa yang dipanggil adalah manusia. Dan Ummu Salamah dengan beraninya menyeru “Saya juga Manusia”.

Kisah tersebut menggambarkan bagaiman di alam bawa sadar masyarakat Arab Perempuan bukanlah manusia, sehingga sangat perlu ketelitian ketika akan menginterpretasikan ayat. Jika salah dan tidak memiliki metodologi feminis bisa jadi semua ayat diinterpretasikan dengan bias.

Ketiga, menginterpretasikan al-Qur’an tidak secara gestalt atau menyeluruh. Sebab ketiga mengapa banyak teks al-Qur’an yang dinterpretasikan misoginis adalah karena mengambil sepotong ayat untuk kepentingannya sendiri. Al-Qur’an turun selama hampir 23 tahun, secara berangsur-angsur. Sehingga dalam menginterpretasikan al-Qur’an sangat dibutuhkan kesadaran akan value atau nilai yang dijunjung.

Dalam Istilah KH.Faqih ini adalah Maqashid. Yang dilihat haruslah Visi Rahmah dan Akhlakul Karimah. Karena dengan berangsur-angsurnya al-Qur’an maka sangat mungkin al-Qur’an sedang menceritakan zaman dahulu (al-abawi/patriarki), target peralihan atau yang biasa disebut oleh Dr.Nur Rofiah sebagai target antara (Yaitu sebuah ayat yang hanya menyajikan keadilan formal), dan bahkan target final (Ayat yang menyajikan keadilan hakiki).

Sehingga perlu perspektif dan kesadaran akan nilai serta adil sejak dalam pikiran dalam memilih ayat dan menginterpretasikannya.

Secara metodologis dan historis saya kira itulah 3 sebab mengapa ayat atau teks-teks agama banyak yang mencerminkan sikap misoginis dan patriarki. Tentu saja banyak sebab lain secara sosial seperti ahlul fiqih yang kebanyakan adalah laki-laki, atau secara Politik seperti hampir tidak ada Perempuan yang menjadi pemimpin pada abad kedua hingga pertengahan abad ke-4 Hijriah. Serta sebab-sebab lainnya. Diakhiri dengan doa semoga kita selalu berusaha untuk adil sejak dalam pikiran. Wallahu a’lam bis shoab.[]

Tia Isti'anah

Tia Isti'anah

Tia Isti'anah, kadang membaca, menulis dan meneliti.  Saat ini menjadi asisten peneliti di DASPR dan membuat konten di Mubadalah. Tia juga mendirikan @umah_ayu, sebuah akun yang fokus pada isu gender, keberagaman dan psikologi.

Terkait Posts

Peran Aisyiyah

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

20 Mei 2025
Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version