Sedari kecil, lingkungan tempat kita berada sudah tertata tidak adil gender. Hal ini bisa dibuktikan dengan hal-hal sepele yang ada di sekitar kita. Kalau kita mengingat kembali alat permainan apa saja yang kita miliki di masa kecil, banyak hal yang sepertinya lumrah tapi sebenarnya menunjukkan bias gender.
Biasanya, anak perempuan bermain boneka dan masak-masakan, sedangkan anak laki-laki bermain layangan dan mobil-mobilan. Jika yang terjadi keterbalikkannya, maka masyarakat akan memandang hal tersebut sebagai sebuah ketidakwajaran. Anak perempuan akan dikatakan tomboy dan anak laki-laki akan dikatakan feminim, padahal sudah jelas bahwa alat permainan tidak memiliki jenis kelamin, ia boleh dimainkan oleh siapa saja.
Persoalannya adalah bagaimana peran kepemimpinan dijalankan, otoritas moral berlaku, serta hak sosial maupun penguasaan properti dibagi, cenderung didominasi oleh sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pihak dominan. Inilah yang kita sebut sebagai budaya patriarki. Budaya ini merupakan sebuah konstruksi sosial yang telah tertanam sejak lama. Di Indonesia, budaya patriarki sangat kental melekat pada alam bawah sadar masyarakatnya.
Ketimpangan ini berlaku di berbagai ranah kehidupan masyarakat, tak terkecuali sekolah. Saya sebagai pengajar, seringkali menemukan praktik patriarki yang dilakukan oleh siswa (maupun guru). Pernah suatu ketika mengajar pelajaran Bahasa Jawa kelas 3 SD, saya bertanya kepada anak didik, “Angsal mboten menawi lare jaler dolanan masak-masakan?” (Boleh atau tidak, jika anak laki-laki bermain masak-masakan?). Ruang kelas hening seketika, mereka diam cukup lama, dengan ragu-ragu beberapa anak menjawab boleh dan anak yang lainnya menjawab tidak. Peristiwa Ini juga menjadi bukti bahwa lingkungan anak belum adil gender.
Kita tidak bisa menuding satu pihak untuk menyelesaikan “persoalan” yang tidak terlihat sebagai persoalan ini. Budaya patriarki tentu saja diinternalisasikan sejak kecil, bahkan sejak dalam kandungan, kemudian dilestarikan melalui keluarga, teman sebaya, masyarakat, dan bahkan sekolah. Terlebih untuk anak kecil, struktur keluarga yang kaku membuat anak tidak punya alternatif pilihan sikap lain terhadap isu-isu gender. Disini menurut saya pentingnya sekolah mengambil peran sebagai agen kesetaraan gender.
Peran guru menjadi vital dalam memberikan pemahaman kesetaraan gender kepada anak di lingkungan sekolah. Guru dapat menggali materi-materi mana saja yang dapat diaplikasikan dengan adil gender. Mereka juga bisa mengolahnya dengan kreativitas agar mudah dipahami oleh anak dan menjadi pembelajaran yang bermakna.
Untuk itu, saya akan berbagi tips mendidik adil gender di sekolah, bagaimana caranya?
Pertama, banyak materi pelajaran yang dapat guru aplikasikan dengan adil gender, dalam muatan pelajaran PPKn tema 6 untuk kelas 6 SD misalnya, ada materi tentang hak dan kewajiban, dimana guru dapat menjelaskan materi tersebut dengan menyelipkan kesetaraan gender di dalamnnya.
Kedua, jelaskanlah kepada anak, bahwa kewajiban anak di rumah seperti menyapu, mencuci piring, mengasuh adik bukan hanya menjadi kewajiban anak perempuan saja, anak laki-laki juga memiliki kewajiban yang sama. Agar lebih efektif, guru bisa memberikan tugas praktik kewajiban seorang anak di rumah yang dibuktikan dengan dokumentasi foto dalam kurun waktu seminggu.
Ketiga, dalam tema 7 di kelas yang sama dengan tema Kepemimpinan, pada tema ini guru dapat menceritakan tokoh perempuan yang pernah menjadi pemimpin, karena selama ini pengetahuan anak tentang pemimpin hanya tertuju pada pemimpin laki-laki saja. Penting kiranya menekankan kepada anak didik bahwa perempuan juga bisa menjadi pemimpin. Tambahkan pula ayat al-Qur’an tentang peran manusia sebagai khalifah di bumi untuk memperkuat penjelasan.
Keempat, kesetaraan gender juga bisa diciptakan melalui budaya sekolah, seperti dalam pengelolaan kelas, guru dapat memberikan peluang kepada anak perempuan untuk maju sebagai calon ketua kelas, sebab biasanya anak perempuan cenderung malu dan kurang berani untuk tampil menjadi pemimpin, sehingga guru perlu memberikan motivasi agar rasa percaya diri tumbuh pada anak.
Hal serupa juga bisa diterapkan ketika upacara bendera, seringkali petugas pemimpin upacara adalah anak laki-laki. Padahal anak perempuan juga mampu menjadi pemimpin upacara, oleh karena itu, dalam pembuatan jadwal petugas upacara, guru harus memperhatikan gender equality agar kesetaraan gender terbentuk di lingkungan sekolah dan akhirnya membudaya.
Guru memegang peranan utama dalam menanamkan pemahaman kesetaraan gender di lingkungan sekolah. Jika sejak dini anak sudah terbiasa hidup di lingkungan yang adil gender, maka perjuangan untuk menjadikan laki-laki dan perempuan setara akan lebih mudah. Pengalamannya di waktu kecil akan terpatri dan akan diaplikasikan sampai dewasa nanti.
Mengajarkan gender equality sejak dini menjadi penting untuk dilakukan. Pendidikan tentang kesetaraan gender dapat dilakukan utamanya di lingkungan keluarga, karena lingkungan keluarga merupakan tempat anak tumbuh dan berkembang yang pertama.
Selain itu, pendidikan adil gender juga penting diajarkan di lingkungan sekolah, sebab seperempat waktu anak dihabiskan di sekolah. Dengan demikian, budaya patriarki perlahan dapat dikikis dan berubah menjadi budaya kesalingan atau adil gender. Semoga harap ini menjadi nyata. []