Sebuah ironi, ketika persoalan yang disuarakan Virginia Woolf 94 tahun lalu, ternyata masih menjadi masalah hingga hari ini.
Mubadalah.id – Dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul Firdaus dan Perlawanannya pada Budaya Patriarki, saya sempat menyebut sebuah karya bertema feminisme milik Virginia Woolf yang berjudul A Room of One’s Own. Tentu bukan tanpa alasan mengapa saya me-notice karya tersebut. Sebab, meski sudah hampir satu dekade sejak terbitan pertamanya di tahun 1929—bagi saya—masih tetap relevan untuk memperbincangkan buku itu.
Keresahan-keresahan yang disinggung Woolf dalam buku itu—seperti pelarangan masuk perpustakaan bagi perempuan, kesenjangan hidangan antara laki-laki dan perempuan, hingga bagaimana dunia seakan “memusuhi” perempuan yang menulis—mungkin memang sudah tak terjadi secara gamblang saat ini. Namun, sebenarnya masih banyak keluhan-keluhan dalam buku itu yang—entah kita sadari atau tidak—masih terjadi hingga hari ini.
Tulisan ini bermaksud untuk mengulas kembali persoalan perempuan dalam buku A Room of One’s Own dan mencoba merefleksikannya dengan permasalahan-permasalahan yang perempuan hadapi saat ini.
Problem Akses
“A woman must have money and a room of her own if she is to write fiction,” (p. 1) adalah sebuah pernyataan yang mengawali buku ini. Woolf beranggapan bahwa menulis merupakan kegiatan materialistis saat itu. Perlu memiliki basis finansial yang memadai untuk bisa sampai pada tahap menulis. Sementara, perempuan tak memiliki akses untuk mendapatkan penghasilan sehingga tak pernah sampai pada tahap menulis. Singkatnya, perempuan—kala itu—selalu miskin.
Tentu hal ini berbeda dengan apa yang terjadi saat ini. Tak butuh menumpuk kekayaan untuk mampu menulis. Menulis adalah pekerjaan gratis dan dapat dilakukan di mana pun oleh siapa pun. Namun, bagaimana dengan akses, terlebih akses-akses dasar, bagi perempuan saat ini? Benarkah saat ini perempuan sudah memiliki akses yang setara dengan laki-laki?
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022 menunjukkan masih ada ketimpangan pendidikan di antara perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh, persentase perempuan yang menempuh pendidikan sembari mengurus rumah tangga ada di angka 36,50 persen, lebih tinggi dari laki-laki yang berada pada angka 24,89 persen. Selain itu, rata-rata lama sekolah perempuan berada pada angka 8,87 tahun sementara laki-laki ada pada 9,28 tahun.
Masih dari data yang sama, terdapat pula kesenjangan antara angka melek huruf perempuan dengan angka melek huruf laki-laki. Angka melek huruf pada perempuan berada di 95,26 persen sementara laki-laki menunjukkan angka 97,42 persen.
Tentulah kita sepakat bahwa pendidikan merupakan salah satu akses dasar yang harus terpenuhi. Hal-hal yang terjadi di atas jelas tidak terlepas dari adanya stigma bahwa perempuan harus bertanggungjawab terhadap urusan domestik. Selain itu, adanya anggapan perempuan tak perlu menempuh pendidikan tinggi-tinggi juga memengaruhi mengapa angka rata-rata lama sekolah perempuan yang lebih rendah dari pada laki-laki.
Ruang untuk Perempuan
Sama seperti akses, Woolf juga menyinggung bahwa perempuan harus memiliki ruang untuk menulis. Sebab kala itu, tak ada ruang bagi perempuan yang menulis. Perempuan perlu menulis secara sembunyi-sembunyi bahkan akhirnya melahirkan anonimitas. Dunia “memusuhi” perempuan yang menulis adalah benar adanya kala itu.
Lagi-lagi, kali ini bukan masalah ruang menulis bagi perempuan. Perempuan saat ini tak masalah untuk menulis tanpa perlu menyamarkan identitasnya. Dan akhirnya, kita mengenal banyak penulis perempuan kondang dengan sederet tulisannya yang luar biasa. Sebut saja Leila Chudori, N.H. Dini, Ayu Utami dan masih banyak lagi.
Maka tak lagi membahas ruang hanya dalam sesempit kesempatan menulis dan publikasinya. Lebih dari itu, saya mencoba mendefinisikan “ruang” di sini sebagai hal yang lebih kompleks, ruang aman bagi perempuan.
Dalam rentang tahun 2016 hingga 2022, data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan relatif meningkat. Sepanjang tahun 2022, 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia dan sebagian besar terjadi di lingkup rumah tangga.
Angka ini tentu bukanlah sekadar statistik semata yang dapat diabaikan dan cukup selalu diperbarui setiap tahun. Angka ini jelas menunjukkan masih banyak tindak kekerasan, baik fisik maupun psikis, yang terjadi kepada perempuan. Sekaligus menunjukkan bahwa ruang aman bagi perempuan belum benar-benar mencapai kata ideal.
Akses-akses dasar tak sepenuhnya terpenuhi. Ruang-ruang aman juga belum tercipta seutuhnya. Sebuah ironi, ketika persoalan yang disuarakan Virginia Woolf 94 tahun lalu, ternyata masih menjadi masalah hingga hari ini. []