Mubadalah.id – Sehari sebelum Hari Kemerdekaan Indonesia ke-76 (16/8), warga Wadas melakukan demonstrasi di depan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Aksi tersebut bersamaan dengan dilaksanakannya sidang pemeriksaan saksi/ahli dari pihak tergugat di hari yang sama, setelah sebelumnya 3 warga Wadas mengajukan gugatan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pada 16 Juli.
Aksi warga Wadas sangat jelas, bahwa mereka merasa kecewa dan merasa dipinggirkan secara sistematis melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah, tertanggal 7 Juni 2021.
Terbitnya perpanjangan Izin Penetapan Lokasi (IPL) tersebut tanpa adanya sepengetahuan dari warga. Artinya, pemerintah telah mengabaikan aspirasi masyarakat yang terdampak dari Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut. Padahal, kerugian dari penambangan batuan andesit itu dirasakan secara nyata oleh warga Wadas, seperti ancaman hilangnya akses sumber daya, ekonomi, tanah, kerusakan lingkungan, dan relasi sosial.
Dari pengalaman konkrit tersebut, warga Wadas melakukan demonstrasi dengan mengadakan mujahadah di depan PTUN dan membagikan makanan di sekitar PTUN sebagai bentuk solidaritas sesama warga yang sedang terdampak covid, juga sebagai bukti bahwa hasil bumi Wadas bisa untuk menghidupi masyarakat jika alamnya tidak dieksploitasi.
Melihat yang Lebih Rentan
Setiap persoalan kerusakan alam, perempuan selalu terdepan dalam hal kerentanan. Itu bukan ketentuan terberi dan saklek dalam setiap kajian feminisme dan lingkungan. Ada rentetan proses yang menyebabkan perempuan sampai pada tahap rentan, yang itu tidak dialami oleh semua perempuan secara generik.
Kultur budaya Jawa yang memberi porsi perempuan di wilayah domestik, membuat perempuan harus betul-betul memperhatikan kegiatan reproduksi seperti memasak, pengasuhan, dan kebersihan rumah. Perempuan urban dan kelas menengah barangkali bisa menyelesaikan dengan berbagai alternatif dengan kepastian akses ekonomi. Berbeda dengan perempuan Wadas, dengan kondisi topografi dan geografinya, membuat mereka sangat tergantung pada alam.
Setiap kebutuhan reproduksi bermula dari bentangan alam Wadas. Perempuan mengais kebutuhan reproduksi dari pertanian yang memiliki hasil durian, kopi, aren, kemungkus, madu lanceng, dan lainnya. Semua pertanian itu menjadi sumber ekonomi mandiri sekaligus ekonomi subsisten perempuan.
Datangnya pertambangan andesit membawa konsekuensi rusaknya bentang alam. Lahan seluas 145 hektar yang dijadikan objek penambangan andesit itu telah digenjot menggunakan 5.300 ton dinamit (metode blasting). Aktivitas ecocide tersebut menyebabkan 27 mata air terancam rusak. Bagi perempuan, mereka akan kehilangan sumber daya utama pemenuhan ruang domestik serta kekhawatiran akan kehidupan yang aman di masa depan bagi anak-cucu mereka. Itu berkaitan dengan tugas pengasuhan yang dibebankan kepada perempuan.
Menghilangkan Batas Publik-Domestik
Aksi membagikan makanan saat demonstrasi yang dilakukan perempuan bukan hal biasa, itu adalah bagian dari politik feminis. Cara melihatnya bukan dari saat mereka membagikan, melainkan mulai dari awal bagaimana makanan itu tersaji dan akhirnya sampai ke tangan orang yang membutuhkan dan demonstran.
Warga Wadas menyebutnya pithi, atau dikenal juga sebagai besek. Adalah sebuah wadah makanan yang terbuat dari anyaman bambu, tujuannya sebagai tempat makanan. Umumnya besek ditemui di acara slametan dan kenduri, secara tradisional. Pithi, sebagaimana warga Wadas menyebutnya, dalam aksi tersebut dibuat secara mandiri oleh Wadon Wadas sejumlah 300 buah.
Sepanjang proses membuat pithi, berlangsung pula proses memasak makanan yang akan disajikan dan dibagikan kepada yang membutuhkan. Semuanya dikerjakan oleh perempuan, yang mana memiliki kesadaran terhadap tugas reproduksi. Ini tidak serta-merta diartikan sebagai domestikasi dalam gerakan sebagaimana kacamata feminisme Barat. Terlalu rigid, tidak mengakui keragaman perempuan, dan kurangnya pengakuan terhadap gerakan lokal.
Ada berbagai komunikasi yang terjadi dalam proses pembuatan itu dengan perjumpaan dari lintas generasi dan pengalaman perempuan. Tema perbincangan tidak akan jauh dari refleksi perempuan atas kesengsaraan yang sedang mereka alami dan lubang ancaman yang menganga secara telanjang di depan mereka.
Secara sempit dan penuh stereotip, aktivitas sambilan dalam membuat pithi akan dianggap sekadar rumpi dan rasan-rasan, sebagaimana umumnya dilekatkan kepada perempuan. Namun secara progresif, itu adalah obrolan radikal dan memiliki tujuan konkrit sesuai pengalaman, yaitu ingin bebas dari segala bentuk ancaman untuk hidup nyaman. Dan secara runut, negara sebagai aktor penindas menjadi objek “raasn-rasan” Wadon Wadas.
Selesai di ruang domestik itu, perempuan kemudian tersalur ke ruang publik, yaitu demonstrasi dan membagikan makanan. Mereka ikut menyuarakan aspirasi bersama laki-laki dan menyebarkan etika kepedulian. Artinya untuk tersalur ke ruang publik, perempuan harus melewati ruang domestik.
Perlu hati-hati dalam memaknai dua ruang yang harus dilalui perempuan. Jika dimaknai secara sempit-stereotip, maka akan terjerumus pada anggapan “beban ganda perempuan dalam gerakan”. Jauh dari itu, perempuan Wadon Wadas sedang menghapus sekat-sekat antara ruang publik dan domestik.
Melalui membuat pithi, memasak, dan demonstrasi, Wadon Wadas telah menunjukkan bahwa dua ruang tersebut saling terhubung dan tergantung. Sekaligus, mereka telah melakukan dekolonisasi terhadap pengertian ruang publik dan domestik yang sejauh ini dilihat menggunakan kacamata Barat di mana keduanya terpisah. []