Novel Wigati, karya Ning Khilma Anis ini di mulai dengan cerita Kang Hidayat Jati, pembaca melihat bagaimana kepedulian seorang laki-laki terhadap permepuan, dengan wibawanya membawa amanah. Mempertemukan seorang Ayah dan Putrinya, yang latar belakangnya membawa masa lalu pilu. Lantas siapa perempuan itu?
Ya, perempuan itu bernama Wigati. Kehidupan yang berlokasi di Pondok Salaf Jawa Timur ini, memiliki keunikan yang berbeda diantara santri-santri lainnya. Sifat keseharian yang penuh diam dan kemurungan ini membuat Wigati tidak memiliki seorang teman.
mengapa demikian? Apa yang terjadi hingga keseharian Wigati begitu terus tanpa ujung, sampai santri di pondok tersebut enggan bahkan takut jika harus dekat dengan Wigati. Semua terjawab atas keberanian Lintang Manik Woro (Panggil saja, Manik) mencoba mengajak bicara lebih jauh dengan Wigati, meski awalnya dihantui rasa takut.
Hari demi hari hingga bulan, Wigati dan Manik menikmati kehidupan pesantren layaknya dua orang sahabat yang tidak asing lagi. Akhirnya mereka saling bertukar cerita, terutama Wigati memberikan kepercayaan kepada Manik untuk tahu akan cerita kehidupannya, dunia keris yang membersamai kehidupan Wigati di Pesantren. Dalam waktu bersamaan, kekuatan jalan cerita novel ini menyibak saya memiliki sudut pandang menakjubkan.
Kehidupan Pesantren Salaf
Jadi gini teman, novel ini diceritakan dengan latar tempat menonjol yaitu Pondok Pesantren Salaf di Jawa Timur. Kehidupan santri yang memiliki adab terhadap kyai menjadi kunci hidup seorang santri. Ta’zir yang menimpa Wigati dan Manik ini merupakan bentuk umum dari adanya peraturan pondok yang harus dilaksanakan.
Di sisi lain juga nilai guru terhadap santrinya yang selalu bijaksana, tidak pernah sekalipun Ibu Nyai Wigati duko (marah) karena mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pondok pesantren. Oh yaa, mereka melanggar batas waktu kembali ke pondok pesantren dan kepergok pulang diantar oleh seorang laki-laki, tepatnya Kang Hidayat Jati yang berniat baik membantu Wigati melalui jalur Manik untuk bertemu dengan Ayahnya. Kang Jati ini merupakan supir pribadi Ayahnya Wigati yang ternyata seorang kiai terkenal di Salah Satu Pesantren di Probolinggo.
Sejarah yang Kental
Kalau ada yang berpikir, mana bisa sejarah kuno disampaikan selaras dengan kehidupan pesantren? Sangat bisa dan novel ini jawabannya. Sisi kehebatan Wigati terlihat setelah diketahui bahwa ia memiliki keris yang bernama Nyai Cundrik Arum.
Menurut khazanah sejarah novel ini, keris Nyai Cundrik Arum merupakan patrem (keris berukuran kecil) hasil tempaan Empu Ramahadi di Jaman Jawa Kandha (sekitar tahun 1125). Pusaka tersebut menjadi ageman Sang Permaisuri Bathari Nawangsih dari Kerajaan Medang Kamulan.
Keris Nyai Cundrik Arum dengan keampuhannya menjadi daya pelindung dan penyembuhan ini harus dipertemukan dengan keris Rajamala, pesan nenek Wigati. Lalu, seperti apa ya keris Rajamala? Nah, melalui tutur novel ini disampaikan kalau Keris Rajamala adalah keris dengan bentuk garan-nya menyerupai tokoh wayang bernama Rajamala.
Rajamala merupakan putra angkat dari Resi Palasara dengan sifatnya yang berwatak keras hati, berani dan selalu ingin menang sendiri. Dari novel ini juga dapat ditemui secarik cerita Gadjah Mda dan Diah Pitaloka, segelintir sejarah Ken Arok dan Ken Dedes yang melayani pemahaman membaca semakin bertambah.
Kesalingan dan Kepeduliaan
Keberadaan Kang Hidayat Jati dalam menjalankan amanah untuk mempertemukan Wigati dengan Ayahnya membuat Kang Dayat berjuang secara mati-matian. Melalui bantuan Manik, Kang Dayat membawa Wigati untuk bertemu dengan ayahnya yang belum pernah Wigati temui.
Perang batin Wigati ini menjadi dilema kesanggupan seorang putri yang harus menemui ayahnya, dimana ayahnya tidak pernah menemui putrinya, malah justru sudah menikah dengan perempuan lain. Segala bentuk usaha dilakukan Kang Dayat untuk membujuk Wigati supaya berkenan menemui ayahnya.
Namun, perempuan tetap memiliki hak dan wewenang dalam mengambil keputusan. Hingga suatu saat Wigati yang awalnya menolak untuk menemui ayahnya, akhir cerita ia berkenan untuk menemui ayahnya dengan membawa Keris Nyai Cundrik Arum.
Wait, nilai kesalingannya dimana? yasss, laki-laki boleh memiliki kemampuan dalam membujuk seorang perempuan. Namun perempuan memiliki hak pribadi yang tidak bisa dipaksakan. Laki-laki tidak berhak memojokkan peran perempuan, baiknya memberikan pengarahan. Begitu juga perempuan, berhak kiranya untuk mengikuti kata hati demi kebaikan kebaikan segalanya.
Beda lagi bicara kepedulian. Seorang sahabat yang menjadi pelajaran sekali menurut saya, sosok Manik. Asalkan kalian tahu ya teman, pertemuan Wigati dan Ayahnya ini atas dasar perjuangan Manik menemani Kang Dayat. Tanpa pamrih dan ikhlas, Manik rela keluar jauh dan berjuang demi membawa Wigati ke hadapan Ayahnya, menemani Wigati dalam situasi apapun.
Meski terjebak dalam kisah cinta dengan Kang Dayat, namun pada akhirnya Manik harus mengalah pasrah. Di depan Manik juga Kang Dayat diberikan amanah oleh Ayah Wigati (yang ternyata Guru Kang Dayat) untuk menjaga Wigati.
Kesimpulannya, asmara Manik dan Kang Dayat Kandas. Sedih sekali, namun bisa diambil pelajaran baik disitu letak adab santri terhadap kyai, harus tetap sendhiko dhawuh, layaknya Kang Jati menjalankan amanah Ayah Wigati.
Eh, ada Nilai Subordinasi terhadap perempuan juga nih! Hehe..
Baik teman, kali ini saya menemukan nilai subordinasi dalam kisah novel ini. perempuan memiliki anggapan bahwa perempuan tidak memiliki kuasa dan hak apapun. Keberadaan Ibu Wigati yang tidak memiliki kuasa apapun terhadap pernikahannya bersama suaminya.
Pilunya disini, Ibu Wigati diceraikan dan ditinggal oleh suaminya karena perkara derajat yang tidak sama. Pasti ada yang bilang. “Wah, kan biasanya jaman dahulu juga begitu”. Ya memang, namun baiknya kita bisa mengambil pelajaran dari kisah jaman dahulu.
Saya berpikir bahwa pernikahan harus didasari kesepakatan antara kedua belah pihak. Jangan sampai nih pernikahan menimbulkan mudhorot yang menindas perempuan atau bahkan merampas hak yang harus diterima ketika dikaruniai anak. Pernikahan itu suatu hal yang baik, harus disepakati dengan pemikiran yang maslahah, tidak merugikan salah satu pihak.
Perlunya Belajar Manajemen Nikah, Mudhorot atau Maslahah?
Jika ada beberapa pemikiran bahkan maqolah yang mengatakan bahwa nikah itu tentunya membawa manfaat dan keberkahan, iya itu pandangan menurut jalur agama. Tapi tidak salah juga kita melihat dari sisi kebaikan masa depan secara rasional.
Keberadaan Wigati ini didasarkan pada pernikahan sirri Ayah dan Ibunya yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari keluarga Ayahnya. Dari sini dapat dilihat, bahwa pernikahan mereka dilakukan secara paksa atas dasar saling cinta dari keduanya.
Hingga akhirnya dikaruniai anak, pahitnnya keluarga Sang Ayah tidak menerima pernikahan tersebut dan memaksakan perceraian. Wigati yang waktu kecil masih belum tahu apa-apa, harus ditinggal dan disembunyikan siapa sebenarnya Ayahnya.
Hal ini menyebabkan psikis Wigati terkikis, dia merasa terpinggirkan akan ulah kedua orang tuanya. Meski dalam novel ini murni cerita khas jaman dahulu yang kental dengan pernikahan sirri dan dini, namun boleh juga diambil pelajaran untuk dunia modern saat ini. Pikirkan secara matang ketika menikah, bukan langkah awal, melainkan langkah selanjutnya itu akan maslahah atau cenderung mengorbankan pihak yang bisa jadi ter-subordinasi (dikalahkan).
Perlunya Membaca Sejarah
Nyata ataupun tidak, ini pengalaman saya sewaktu SMA tidak menyukai pelajaran sejarah. Terlalu rumit dan panjang. Semua buku yang habis terbaca dan novel ini salah satunya, membuat saya semakin jatuh penasaran akan sejarah. Ternyata jika dipahami dan diambil manfaatnya, banyak sekali sejarah yang sudah mulai tenggelam oleh gerak modernisasi.
Dari sejarah saya belajar satu hal, jika manusia bisa menghargai hasil peradaban nusantara hari ini, itu tak lepas dari perjuangan nenek moyang. Ada nilai sakral kebudayaan dan perjuangan menggetirkan yang pantas dijadikan sebagai pijakan untuk melangkah di kehidupan manusia berikutnya. []
Finish, Maaf dan Terimakasih.
Tentang “Wigati”
Judul Buku : Wigati
Nama Penulis : Khilma Anis
Penerbit : Telaga Aksara
Tahun Terbit : 2018
Jumlah Halaman : +276
Bahasa : Indonesia
ISBN : 978-602-60400-9-1