• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Sastra

Yu Marni

Ghufron Ibnu Masud Ghufron Ibnu Masud
10/04/2020
in Sastra
0
Yu, Marni

(sumber foto piqsels.com)

20
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Sudah menjadi semacam rutinitas bagi warga kampung Kajen, tiap Jum’at sore mendengarkan pengajian keagamaan di kediaman Kyai Shadiq. Rumah joglo yang hampir seluruh dindingnya terbuat dari kayu dengan ruangan yang cukup luas di tambah teras yang lumayan lebar akan senantiasa dijejali jemaah ibu-ibu.

Mereka sangat antusias mengikuti ceramah Kyai Shadiq karena ia satu-satunya tokoh agama di desa itu. Tak heran bila warga sangat menyanjung dan menghormatinya.

Namun sore itu lain. Sebagian jamaah yang masih ngobrol di teras dikejutkan kehadiran sesosok perempuan. Yu Marni namanya. Mereka mempelototi Yu Marni yang mengenakan pakaian kebaya muslimah lengkap. Salah seorang, Bu Karti menghampirinya.

“Sepertinya Yu Marni salah alamat, atau sampean sudah tidak punya malu lagi, lebih baik cepat angkat kaki dari sini!”

“Benar, jangan paksa kami mengusirmu…..,” seorang lagi menimpali.

Baca Juga:

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

“Dasar pelacur…”

“Dasar wanita murahan…”

“Dasar najis….’

“Dasar wanita tak tahu diri…..”

“Dasar laknat, perusak rumah tangga orang lain….”

Segala cibiran yang menyakitkan itu kontan muntah dari mulut mereka. Belum lagi mereka yang ada di dalam, mendengar ada keributan di luar, tak pelak mereka langsung terkejut dan mengeluarkan berbagai cibiran pedas lainnya.

Yu Marni hanya menunduk. Segala caci maki terhadapnya terpaksa diterima, meskipun hati kecilnya meronta sakit. Dengan gugup, ia beranikan diri untuk bicara.

“Biarkan aku bertemu Kyai…”

“Heh, asal tahu saja ya, Kyai kita itu orang suci, bukan lelaki hidung belang yang mudah kau rayu untuk tidur denganmu, “ hardik Bu Harti saking sewotnya.

‘Masyaallah, bukan, bukan itu maksudku, aku…”, sela Yu Marni yang kemudian di potong.

“…Halah pakai nama Tuhan segala pelacur ini. Bagaimana kalau kita usir aja perempuan laknat ini.’

“Ya usir saja…,” gemuruh jamaah menyetujui.

Kini Yu Marni benar-benar terjepit.Tubuhnya gemetar. Keringatnya mulai mengucur. Matanya terlihat mulai menitikkan kristal bening. Dan perlahan mengalir membasahi pipinya yang sepi dari jerawat. Mendengar ada keributan Kyai Shodiq bergegas keluar, memecah keramaian dan sebentar menyulapnya suasana menjadi tenang.

“Tenang ibu-ibu, tenang,” ucapnya penuh karisma seraya mengangkat jari telunjuknya ke arah bibir, isyarat agar semua jamaah diam. Melihat Kyai Shodiq, Yu Marni langsung menghampirinya.

“Assalamu’alaikum, Kyai.”

“Wa’alaikumsalam,” jawab Kyai Shodiq terkejut melihat Yu Marni.

“Saya minta ijin ikut ngaji disini, Kyai,” ucapnya memelas sambil menyeka air matanya yang belum juga mengering. Mendengar hal itu jamaah terheran-heran, saling pandang tak percaya, sambil memonyong-monyongkan bibir mereka.

“Sudah tobat, sudah tobat,” bisik-bisik kecil jamaah. “Kalau Yu Marni punya tekad bulat, ya rumah ini masih terbuka untukmu Yu,” kata Kyai Shodiq meyakinkan.

Para jamaah saling berbisik. Ada nada kecewa dari mereka atas keputuan Kyai. Tempat ini akan tercemari oleh kehadiran pelacur. Jangan-jangan ia hanya ingin buat keributan. Semua hal negatif keluar dari bisik-bisik jamaah.

“Maaf pak Kyai, bukan kami lancang terhadap Kyai, tapi kalau Yu Marni ikut ngaji di sini jelas kami tidak terima,” tegaas Bu Harti memprotes.

“Iya, tapi dia kan sudah bertobat. Apa salahnya jika memberi kesempatan baginya untuk memperbaiki jalannya yang keliru,” sahut Kyai.

“Sudahlah Kyai, saya memang kotor, tak pantas di tempat ini.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Yu Marni bergegas pergi dengan air mata berlinang dan sesenggukan. Kesedihan seorang yang tak berdaya di tengah hinaan dan cercaan. Kyai Shodiq pun hanya menghela nafaas.

Kyai Shodiq jadi serba salah. Krentek hatinya ingin menuntun seorang pelacur pada jalan yang lurus, tapi desakan dari jamaahnya yang menolak Yu Marni terpaksa disetujui.

Kejadian sore itu langsung menjadi buah bibir warga. Di rumah-rumah, warung-warung, masjid maupun musholla. Seperti berita aktual di media massa. Yu Marni ada dalam setiap obrolan mereka. Dan yang pasti, kata-kata tak sedap juga terlontar dari mulut-mulut mereka.

******

Yu Marni,adalah seorang dari sekian banyak perempuan yang terjerembab dalam lereng kegelapan pelampiasan nafsu laki-laki yang hanya sekedar iseng-iseng saja, atau pelarian dari suami yang sudah bosan terhadap istrinya. Ya.. barangkali dianggap tidak cantik lagi, gembrot atau kurang puas dengan pelayanan sang isteri.

Keadaan ekonomilah yang memaksa Yu Marni menyandang status seperti itu. Status yang membawa aib dan luka bagi ia dan anak-anaknya. Memang, semenjak kematian suaminya, ia yang menanggung kebutuhan keluarga sehari-hari. Ia buka warung kecil-kecilan. Tapi Yu Marni tetap tercekik dalam memenuhi kebutuhan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Ya maklum di desa.

“Lalu siapa yang aku mintai pertolongan. Apa hanya dengan doa semuanya akan terselesaikan?” keluhnya dalam hati setiap setiap menjelang tutup warung. Kedua orang tuannya sudah meninggal sejak ia masih kecil, sedangkan sanak familinya kebanyakan mencari nafkah di daerah lainnya.

Katanya ikut transmigrasi. Ada yang menjadi buruh migran di luar negerilah. Tapi entah dimana sekarang mereka. Yang ada hanya ia sendiri dan tanggungan ketiga anaknya. Kemiskinan memang sangat menyakitkan, mempermainkan nasib seorang kapan saja. Dan manusia hanya bisa meratapinya.

Lalu ia mengambil jalan pintas, jalan penuh kegelapan dan bertabur kemaksiatan. Ya, ia serahkan tubuhnya untuk ditukar dengan rupiah. Sebuah perjalanan pahit dalam mengarungi kehidupan.

Senja baru saja berlalu. Kini giliran malam menggelar selimut kegelapan. Perlahan kerlip bintang-gemintang muncul bersamaan dengan bulan merah. Kyai Shodiq terlihat berjalan menyibak keremangan malam. Ia menuju rumah Yu Marni.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam,” jawab Yu Marni dari dalam sambil bergegas meraih pintu. “Kyai!,” ia terkejut. Tak mengira kalau temunya Kyai Shodiq. Lalu ia mempersilakan Kyai masuk.

“Ada apa Kyai, kok sepertinya penting?,” tanya Yu Marni.

“Ah kebetulan saya tadi dari rumah kang Trimo, mau saya suruh memperbaiki pagar belakang, nggak ada salahnya kan Yu, kalau saya mampir ke sini?.”

“Terima kasih Kyai, ternyata Kyai masih peduli dengan kami.”

“Dalam menjaga silaturohmi kita mesti saling mengasihi, tidak perlu mempersoalkan status, kedudukan, pangkat, bahkan agama sekalipun. Karena pada hakekatnya Islam itu mengajarkan perdamaian, silaturohmi, persaudaraan dan kasih sayang .” tandas Kyai.

“Begini Yu, mengenai sikap warga kemarin sore itu, saya juga memakluminya, tapi sampeyan jangan patah semangat dulu. Yakinlah bahwa Allah mengetahui perbuatan setiap hamba-Nya, jika niat kita tulus, pasti Allah akan menunjukkan hidayah-Nya.”

“Saya mengerti, Kyai,” sela Yu Marni seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Syukurlah kalau begitu, tapi maaf lho Yu, bukan maksud saya mengingatkan masa lalu Yu Marni, apa sih sebenarnya yang membuat Yu Marni kembali kepada jalan Agama?” selidik Kyai.

“Eee…begini ceritanya Kyai, ketika pergi ke pasar saya bertemu bekas langganan saya, namanya pak Bronto. Ia seorang duda yang lumayan kaya. Tapi sekarang sudah beristri wanita yang solikhah. Bahkan tahun lalu dia dan istrinya sudah sempat naik Haji.

Dia berusaha menyadarkan saya akan hidup yang terhormat, tidak menjadi sampah masyarakat. Nasihatnya itu yang mengingatkan saya akan masa depan keluarga, maksud saya nasib anak-anak saya. Kemarin ia menawari saya pekerjaan sebagai penjaga tokonya di pasar tersebut.

Dan sekarang malah tokonya itu diserahkan saya. Dari situ, setelah sampai di rumah saya memikirkan kembali ucapannya. Saya pikir mungkin inilah waktu yang tepat untuk merubah kehidupan saya dan keluarga, mencoba kembali hidup layak di masyarakat,” papar Yu Marni.

Kyai Shodiq merasa terharu dengan kisah Yu Marni. Ia berpikir bahwa Yu Marni adalah seorang yang sangat tabah dan berhasil melawan kesesatan yang selama ini menyelimutinya.

“Maha besar Allah atas kuasa-Nya,telah membuka hati hamba-Nya untuk kembali ke jalan-Nya, jalannya orang-orang yang bertaubat dan berserah diri,” ucap Kyai Shodiq lega.

*****

Hati Yu Marni semakin mantap. Meskipun banyak suara sumbang, ia tetap mengikuti pengajian Jum’at sore itu dan pada setiap kesempatan pengajian itu Kyai Shodiq selalu menceramahi jamaahnya agar mau menerima seorang yang sudah taubat . Tapi sikap jamaah tetap sama, menolak kehadiran bekas pelacur.

Sebulan kemudian warga kampung Kajen dikejutkan dengan adanya berita bahwa Jum’at depan Kyai Shadiq, duda tanpa anak itu hendak memperistri Yu Marni. []

Ghufron Ibnu Masud

Ghufron Ibnu Masud

Terkait Posts

Kapan Menikah

Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

29 Juni 2025
Luka Ibu

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir Bagian II

15 Juni 2025
Abah dan Azizah

Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

8 Juni 2025
Luka Ibu

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

1 Juni 2025
Menjadi Perempuan

Menjadi Perempuan dengan Leluka yang Tak Kutukar

25 Mei 2025
Pekerja Rumah Tangga

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

11 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID