Mubadalah.id – Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri (UIN) Siber Syekh Nurjati Cirebon (SSC) Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan bahwa Fiqh al-Murunah berdiri di atas empat fondasi utama: Manhajī, Murūnah, Takyīf, dan Tamkīn.
Empat fondasi utama Fiqh al-Murunah ini membentuk kerangka konseptual yang bukan hanya memperluas horizon hukum Islam. Tetapi juga menegaskan posisi penyandang disabilitas sebagai subjek penuh dalam kehidupan beragama.
1. Level Manhajī (Epistemologis-Metodologis)
Pada level ini, fiqh perlu direkonstruksi sejak dari akar cara pandangnya. Penyandang disabilitas harus diakui sebagai manusia utuh yang memiliki kapasitas spiritual dan intelektual untuk menafsirkan dan bahkan merumuskan hukum berdasarkan pengalaman mereka sendiri.
Pengalaman difabel tidak lagi ditempatkan sebagai ilustrasi pinggiran atau furū‘, tetapi sebagai sumber pengetahuan teologis yang sah. Dengan begitu, otoritas keagamaan menjadi lebih terbuka dan tidak lagi bersifat tunggal.
“Ketika pengalaman difabel diakui sebagai sumber pengetahuan, maka fiqh tidak hanya memihak mereka, tetapi lahir dari mereka,” tegasnya.
2. Level Murūnah (Fleksibilitas Fiqh)
Fiqh yang hidup harus lentur dan adaptif terhadap keragaman kondisi tubuh manusia. Prinsip fleksibilitas ini mencakup bidang ṭahārah, ‘ibādah, hingga mu‘āmalah.
Namun, kelenturan ini bukan berarti sekadar memberi “keringanan” hukum. Melainkan menata ulang ukuran keadilan agar sesuai dengan realitas dan pengalaman setiap individu.
Dalam pandangan Fiqh al-Murūnah, ibadah tidak boleh menjadi beban bagi mereka yang tubuhnya berbeda. Fiqh seharusnya menuntun manusia untuk tetap bertakwa dalam batas kemampuan, tanpa kehilangan martabat.
3. Level Takyīf (Adaptasi Teknologi)
Fiqh yang lentur, kata Kiai Faqih, harus berjalan seiring dengan kemajuan teknologi yang memungkinkan partisipasi penuh penyandang disabilitas dalam kehidupan sosial dan keagamaan.
Alat bantu dan perangkat teknologi tidak boleh dipandang hanya sebagai instrumen tambahan. Melainkan bagian dari eksistensi manusia itu sendiri.
“Bagi penyandang daksa, kursi roda bukan sekadar alat bantu, tapi bagian dari tubuhnya. Maka posisi tubuh dalam salat, cara bersuci, dan interaksi ritual harus kita tinjau ulang dengan perspektif penghormatan terhadap eksistensi jasmani mereka,” ujar Kiai Faqih.
Pendekatan ini, lanjutnya, akan melahirkan tafsir fiqh yang lebih empatik dan kontekstual. Sebuah fiqh yang tidak memaksa tubuh untuk menyesuaikan hukum. Tetapi hukumlah yang menyesuaikan tubuh.
4. Level Tamkīn (Aksesibilitas dan Pemberdayaan)
Fiqh al-Murunah tidak berhenti di ruang personal, tetapi juga menyentuh level struktural. Prinsip tamkīn menegaskan bahwa negara, masyarakat, dan lembaga keagamaan memiliki tanggung jawab moral dan syar‘i untuk menciptakan sistem sosial yang enabling, bukan disabling.
Aksesibilitas terhadap fasilitas ibadah, pendidikan agama, dan pelayanan publik adalah bagian dari keadilan sosial yang wajib diperjuangkan. Dalam pandangan Kiai Faqih, inilah bentuk nyata ijtihād dan jihād Islami — menegakkan keadilan struktural dan kemaslahatan universal. []






































