• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

9 Nilai Pondasi Sunnah Monogami

Dalam pernikahan monogami, masing-masing bisa maksimal untuk memperlakukan pasangannya secara patut dan baik, serta memperoleh kebaikan darinya semaksimal yang diharapkan darinya

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
20/11/2021
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Monogami

Monogami

460
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Berikut ini adalah 9 pondasi bahwa pernikahan monogami itu sunnah Nabi sesuai Perspektif al-Qur’an dan Hadits.

  1. Dalam Surat ar-Rum (QS. 30: 21), pernikahan adalah jalan untuk menghadirkan sakinah (kebahagiaan, ketentraman, dan kebahagiaan), antara suami dan istri.

Merujuk pada ayat ini, jika subyek dari pernikahan ini adalah dua individu, suami (laki-laki) dan istri (perempuan), maka, saat ini, hanya pernikahan monogami yang memungkinkan keduanya bisa mewujudkan (dan memperoleh) kebahagiaan dan keharmonisan, bersama-sama. Mereka berdua juga bisa memaksimalkan bekal cinta (mawaddah) dan kasih (rahmah), untuk saling mencintai dan mengasihi secara paripurna, dalam menciptakan (dan merasakan) kondisi sakinah dan kehidupan surgawi (baiti jannati).

  1. Dalam surat al-Baqarah (QS. 2: 187), perempuan diibaratkan sebagai pakaian bagi suaminya, dan laki-laki diibaratkan pakaian bagi istrinya.

Jika pakaian dalam ayat tersebut di atas dimaknai sebagai sesuatu yang membuat citra sosial yang baik, menghangatkan, dan menguatkan, maka relasi suami dan istri, dalam semangat ayat tersebut di atas, adalah saling melengkapi citra baik satu sama lain, saling menghangatkan dan saliang menguatkan. Dan ini, saat sekarang ini, hanya mungkin dalam pernikahan monogami, dimana masing-masing benar-benar memiliki (dan menjadi) pakain yang utuh bagi yang lain.

  1. Dalam surat an-Nisa (QS. 4: 19), suami dan istri diperintahkan untuk saling memperlakukan satu sama lain, secara baik dan patut (mu’asyarah bi al-ma’ruf).

Dalam pernikahan monogami, masing-masing bisa maksimal untuk memperlakukan pasangannya secara patut dan baik, serta memperoleh kebaikan darinya semaksimal yang diharapkan darinya. Keduanya jauh lebih mudah untuk saling menjaga perasaan, saling memahami dan memenuhi kebutuhan masing-masing, saling mencintai, dan saling melayani. Saat ini, akhlaq mu’asyarah bi al-ma’ruf ini, yang ditegaskan ayat di atas, hanya mungkin dan bisa maksimal dipraktikkan dalam perkawinan monogami.

  1. Dalam surat al-Baqarah (QS. 2: 233), sebuah keluarga dianjurkan untuk mempraktikkan akhlaq saling merelakan (taradhin) dan saling bermusyawarah (tasyawuin) dalam mengelola rumah tangga.

Saat ini, akhlaq taradhin (saling rela) dan tasyawurin (saling berkomunikasi) hanya mungkin dalam pernikahan monogami, dimana masing-masing bisa mengekspresikan harapanya agar dipenuhi pasangannya. Pada saat yang sama, masing-masing, juga bisa mendengar harapan pasangannya dan memenuhi kebutuhannya. Komunikasi dua arah secara aktif, yang hanya mungkin pada perkawinan monogami, adalah ekspresi dari akhlaq taradhin dan tasyawurin ini.

Baca Juga:

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

Tafsir Sakinah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

  1. Dalam surat an-Nisa (QS. 4: 3), diungkapkan bahwa seseorang yang khawatir tidak mampu berbuat adil diminta menikahi satu perempuan saja (fa wahidatan), bahkan disebut hal ini lebih mudah baginya untuk tidak berbuat aniaya (dzalika adna alla ta’ulu).

Ayat ini paling tepat untuk diimplementasikan pada saat sekarang ini, ketika semua orang mengharapkan memiliki pasangan hidup untuk bersama-sama membangun sebuah rumah tangga yang penuh kebaikan, tanpa ada kekerasan dan kezaliman. Atas nama keadilan relasi pasutri dan kebebasan dari praktik kezaliman ini, ayat di atas dengan gamblang menyarankan umat Islam, terutama kita pada saat ini, untuk memilih monogami.

  1. Dalam surat an-Nisa (QS. 4: 129 dan 130), diungkapkan bahwa keadilan itu sulit dilakukan dalam pernikahan poligami, karena itu, laki-laki diminta untuk tidak pilih kasih, maksimal memberi kebaikan, dan menjaga diri. Karena sulit ini, ayat 130 mempersilahkan keduanya untuk bercerai dari poligami, jika ingin lebih mandiri dan tercukupi dari kekayaan Allah Swt.

Memang demikian. Pada saat ini, persis seperti ayat 130 surat an-Nisa, pilihan yang tepat daripada perkawinan poligami yang penuh resiko akan ketidak-adilan dan keburukan, adalah bercerai, atau keluar darinya. Bukan bersabar dan berharap surga. Bahkan, kata ayat ini, bagi yang bercerai dari poligami justru akan dilapangkan rizkinya oleh Allah Swt.

  1. Dalam surat an-Nisa (QS. 4: 121), pernikahan diibaratkan sebagai ikatan berat dan kokoh (mitsaqan ghalizan), yang harus dihormati, dijaga, dan dipelihara bersama.

Jika pernikahan dipandang sebagai tanggung-jawab yang harus dirawat bersama, persis seperti yang diminta ayat di atas, monogami saja akan berat dan perlu stamina kuat. Namun, dengan kebersamaan, kesalingan, kerjasama, akhlaq mulia, dan doa-doa, semua bisa menjadi lebih mudah. Yang jelas, pada saat ini, dengan berbagai tantangan hidup yang begitu kompleks, tanggung-jawab yang sejati untuk merawat ikatan kokoh pernikahan itu hanya mungkin pada perkawinan monogami.

  1. Dalam hadits Bukhari (no. 5285), diungkapkan bahwa perkawinan poligami itu menyakiti hati Fathimah ra, putri Nabi Muhammad Saw. Beliau menolak dipoligami dan baginda Nabi Saw membelanya.

Teladan Fathima ra, sangat relevan pada masa kita, saat sekarang ini. Ketika banyak sekali perempuan yang mau mendengar perasaan hatinya dan memenuhi harapannya untuk hidup dalam rumah tangga yang penuh ketentraman, tanpa kesakitan, dan kekerasan. Memilih hidup dalam ikatan pernikahan yang sehat dan membahagiakan adalah hak setiap orang, tak terkecuali perempuan. Persis seperti teladan Sayyidah Fathimah radhiyallahu ’anha.

  1. Banyak sekali hadits yang meminta umat Islam, laki-laki dan perempuan, selalu berperilaku akhlaq mulia, jujur, amanah, bertanggung-jawab, dan selalu berbuat yang terbaik untuk keluarganya (Diantaranya, Musnad Ahmad, no. 10247).

Pada saat sekarang ini, apalagi jika ingin memprosesnya secara maksimal, perilaku mulia di atas hanya mungkin dalam perkawinan monogami. Suami dan istri, dalam perkawinan monogami, bisa sama-sama memproses diri masing-masing, dalam relasi dengan pasangannya, secara lebih leluasa, untuk terus berperilaku mulia, jujur, amanah, bertanggung-jawab, dan selalu berbuat yang terbaik, untuk diri, pasangan, anak-anak, dan seluruh anggota keluarga. []

 

Tags: istrikeluargaMonogamipernikahanpoligamisuami
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID