• Login
  • Register
Sabtu, 5 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Sastra

Kisah Di Balik Perjodohan Seorang Gadis Bernama Aila

Pernikahan bukanlah pintu gerbang untuk saling menghalangi impian. Lelaki menikah bukan dengan bidadari, layaknya perempuan pun juga tidak menikah dengan seorang malaikat

Khoiriyasih Khoiriyasih
08/08/2021
in Sastra
0
Hamil adalah Kodrat Perempuan

Hamil

305
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Tidak Ayah, Aila tidak ingin menikah, Aila mau kuliah!!!” terdengar isak tangis Aila dari bilik kamar.

“Aila! berani membangkang Ayah ya kamu, ha?!” Sontak ayahnya kaget mendengar jawaban Aila.

Aila, perempuan yang enggan bergantung kehidupannya pada keberadaan ayahnya. Ia memilih mandiri meski harus berjuang kuat untuk jualan online sambil menjalani sekolah. Bercita-cita menjadi seorang jurnalistik layaknya Najwa Shihab, tokoh hebat di balik siaran Mata Najwa, langkah demi langkah ia lalui dengan perasaan penuh harap. Kelak jika sudah lulus SMA, Aila bisa melanjutkan kuliah di Universitas.

Tidak biasanya Aila membantah perintah ayahnya. Hanya saja saat ini ia merasa sesak dan tidak bisa membayangkan jika harus menikah di usia muda, terlebih cita-cita saat ini adalah kuliah. Aila tidak memiliki tempat curhat di rumah, anak terakhir dari tiga bersaudara ini sudah ditinggal ibunya sejak duduk di kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah.

“Ibuuuu, Aila rindu ibu, Aila tidak ingin menikah dengan orang yang Aila tidak kenal sama sekali bu, Aila kepingin kuliah…” isak masih menderai di pipi Aila. Ruangan hening dan turut berduka dengan sendunya Aila. Teringat teman dia bernama Najma, mahasiswi jurusan Hukum Islan di UIN Sunan Kalijaga, Aila langsung meraih handphonenya.

Baca Juga:

Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Aila mengirim pesan pada Najma “Mbak, Aila mau ketemu, mbak ada waktu ?” centang dua membuat Aila sedikit tersenyum meski pipi masih sembab air mata.

“Heeii Aila, boleh yuk, dimana?”

“Cafein aja ya mbak, nanti jam tiga.” Balas Aila cepat.

“Oke La.”

Detik jam berlalu cepat, menyegerakan Aila bersiap menuju tempat bertemu ia dengan Mbak Najma. Selesai merapikan jilbab dan menutupi sembab pipi dengan bedak tipis, Aila beranjak keluar melewati ruang tamu. Deg, sesak kembali datang ketika Aila melihat sosok ayah sedang duduk di kursi ruang tamu.

“Ayah, Aila mau ketemu Mbak Najma sebentar.”

“Loh, ngapain ?”

“Ada urusan yah, soal madrasah.”

“Ohh, yaudah, mantapkan hatimu untuk segera menikah dengan Zuhrul, dia ini Gus lo, masak kamu nggak mau.”

Aila mengambil nafas panjang “Nanti Aila pikirkan kembali ayah, sekarang pamit dulu, assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Terik matahari mengernyitkan tenggorokan, mempertemukan dua perempuan dengan harapannya masing-masing. Terlihat dibalik meja bernomor 14 dan dua gelas kopi esspreso, sesosok perempuan berjilbab hitam duduk bersandar memandangi ponsel. Aila tersenyum melihat Mbak Najma sudah lebih dulu tiba, alih-alih malu karena ia datang terlambat.

“Assalamu’alaikum Mbak.”

“Walaikumsalam, duduk Aila, mbak sudah pesankan minum untukmu, silahkan.”

“Makasih lo mbak, merepotkan.”

“Ah tidak Aila, jadi gimana? sudah selesai MA?”

“Sudah mbak, aku juga sudah mukim dari Al Falah.”

“Masyaallah, berkah-berkah. Lalu, jadi kuliah kan?”

“Itulah mbak. Aila mau dijodohkan dengan orang yang belum pernah ketemu sama sekali. Aila bingung mbak, Aila masih pingin melanjutkan kuliah seperti mbak.”

Najma mendadak kedip berkali-kali diikuti kerongkongan sesak, serasa ada yang mengganjal untuk berucap. “Aila sudah matur ke Ayah kalau mau kuliah?”

“Sudah mbak, tapi Ayah tetap mau menjodohkan Aila mbak. Aila nggak mau, Aila mau kuliah saja.”

“Iya Aila, mbak paham, sebelum semuanya terlambat, coba Aila minta bertemu dengan orang yang dijodohkan sama Aila, nanti mbak temenin.”

“Jadi nanti Aila minta Ayah buat bertemu orang itu.”

“Bener La, nanti kalau sudah bertemu, sampaikan maksud kalau Aila masih ingin kuliah, barangkali orang itu mau memahami, syukur-syukur ngasih solusi.”

“Baik mbak, Aila coba, makasih ya mba sudah ngasih saran, malah jadi merepotkan, hehe.” Terlihat ada senyum di wajah Aila, Najma turut menunjukkan aura bahagia melihat Aila tersenyum.

“Mbak, memangnya kalau batas umur menikah minimal berapa?”

“Menurut Undang Undang Perkawinan No.16 Tahun 2019, batas minimal menikah itu 19 tahun, Aila umur berapa?” Tanya Najma penasaran.

“Hihi, Aila kan belum ada 19 mbak, baru juga 18.” Jawab Aila sedikit murung, tentu umur 18 masih usia anak, bisa meraih impian dan kehidupan dengan baik.

“Ya sudah, coba besok Aila ketemu orangnya itu dulu ya, nanti mbak bantu, semoga Aila tetap bisa kuliah, kabarin Mbak Najma terus ya.”

“Iya Mbak.”

“Hei sudah, diminum dulu, malah dianggurin.” Spontan Najma mengajak Aila kembali semangat.

Tidak terasa, jam dinding menunjukkan panah manisnya tepat di angka lima, waktu begitu cepat berlalu. Aila dan Najma berpisah menuju tempat singgah masing-masing. Menenteng tas selempang, Aila sepanjang jalan memikirkan bagaimana nanti bilang ke Ayahnya untuk bertemu orang yang dijodohkan dengan dia. Sampai di rumah, Aila menunggu waktu lepas maghrib untuk mengutarakan maksud Aila. Baginya habis maghrib adalah waktu yang tepat untuk bicara ke Ayahnya.

“Yah…”

“Hmmm.”

“Aila mau bertemu dengan orang itu.”

“Zuhrul maksudmu? kamu mau menikah dengan dia? bener Aila?” Jawab Ayahnya tersenyum dan kaget mendengar permintaan Aila.

“Biarkan Aila bertemu dulu Ayah.”

“Boleh-boleh, silahkan, ajak siapa teman kamu untuk mendampingi.”

“Makasih Ayah.” Aila menutup percakapan itu dengan diam dan langsung kembali menuju kamar. Sudah ia dapati nomor ponsel Zuhrul dan meminta untuk segera bertemu. Tepat pukul 13.00 mereka akan bertemu di Filsofi Kopi Jogja, letaknya di Ngaglik, Kabupaten Sleman.

Jogja, 2013

“Assalamualaikum.” Sapa Aila yang diikuti jauh oleh Najma. Najma diminta untuk menemani Aila bertemu Zuhrul, meskipun dari jarak kejauhan.

“Waaikumsalam, Aila. Silahkan duduk.” Jawab Zuhrul gugup melihat kedatangan Aila.

Tanpa basa-basi Aila bertanya “Maaf kak. Bukan maksud menentang kehendak Ayah, apa alasan Kak Zuhrul mau menerima perjodohan ini?”

“Hmmm, Ayah kita berdua dulunya sahabat karib semasa mondok di Sarang La, Ayahmu merupakan senior Abah. Awal tahun kemarin, Ayahmu rawuh ke rumah Abah. Saya hanya tahu kalau mereka memiliki kesepakatan untuk menikahkan kita, salah satu alasannya karena aku sudah mau selesai kuliah dan Aila sudah pungkas Madrasah, terlebih Abah sakit-sakitan La, beliau berkehendak melihat putranya menikah.” Jawab Zuhrul pelan, sama hal dengan hati kecilnya yang memiliki rasa jika perempuan di bawah umur belum cukup siap untuk menikah. Namun apa daya Zuhrul yang lebih memilih sendhiko dhawuh Abahnya.

“Tapi kak, bukankah pernikahan adalah kesepakatan calon mempelai? harus siap secara mental, finansial, belum lagi kalau punya anak, dan resiko lainnya.”

Zuhrul kaget jika Aila memiliki pemikiran cerdas macam itu. “Iya Aila, namun saya tidak bisa menentang dhawuh Abah, tidak berani Aila.”

“Jadi, begitu juga dengan Aila? Aila harus menuruti keadaan kakak sedang Aila masih pingin kuliah, masih pingin keliling dunia dengan jerih payah Aila.” Jawab Aila sedikit bernada tinggi.

“Aila, benar sangat pemikiranmu. Saya mendukung penuh ketika Aila masih memiliki cita-cita tinggi, menjadi perempuan cerdas dan membangun peradaban. Tapi Aila, saya hanya bisa mengusahakan untuk matur ke Abah. Coba saya pikirkan dulu nanti.”

Setelah diam sejenak, Aila beranjak dari kursi dan berucap “Terimakasih kak. Aila pamit dulu, assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam.” Zuhrul termenung memandangi dua cangkir kopi yang sengaja dipesan untuknya sekaligus Aila, namun tidak dapat dipaksa, Aila berpamitan terlebih dahulu sebelum kopi tersebut tandas di tetes terakhir.

Bandung, 2019

Sinar matahari menembus batas ventilasi perlahan, memberikan tanda jika pagi tiba menghampiri. Aila selesai memasak nasi dan berberes untuk segera ke kantor redaksi. Ia hari ini memiliki jadwal rapat bersama karyawannya. Aila Sa’adah, perempuan lulusan terbaik Universitas Negeri Jakarta, direktur perusahaan koran terkenal di Bandung. Baginya mimpi adalah kunci bertahan hidup, perempuan berhak untuk mendapatkan pendidikan tinggi dan meraih cita-cita.

“Selamat pagi semua.”

“Pagiii…..” Jawab karyawan serentak.

“Hari ini akan mulai meeting membahas proyek minggu depan, nanti akan disampaikan oleh sekretaris, karena saya ada keperluan meeting di luar. Tetap semangat dan saling menguatkan, kalau ada kendala segera kabari saya. Begitu ya, terimakasih.”

Sudah hampir 30 menit Zuhrul menanti Aila di sebuah rumah makan, ia berencana mengajak Aila bertemu dan sarapan pagi. Setelah kepergian Abahnya, kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh adik kandung Abahnya. Hari ini, ditemani adik perempuan, Zuhrul meminta waktu untuk bertemu Aila setelah sekian tahun tidak berjumpa.

“Assalamualaikum kak.” Sapa Aila tersenyum.

“Waalaikumsalam, silahkan duduk.” Jawab Zuhrul sumringah.

“Maaf ya kak, terlambat. Tadi ada meeting sebentar dengan karyawan.” Ucap Aila meringis.

“Nggak papa bu manager, hehe. Sehat kan kabarnya ?.”

“Wah bisa aja kak. Alhamdulillah sehat. Kak Zuhrul gimana ? sehat juga tho ?.”

“Alhamdulillah.”

“Emmm bagaimana mungkin Kak Zuhrul bisa kesini? bukannya Abah meminta Kak Zuhrul segera menikah, lantas tidak ada kabar dan ayah juga diam tidak memberi alasan mengapa Kak Zuhrul tidak ke rumah.”

“Jadi, selepas kita bertemu, saya ditimbali pulang ke rumah. Abah kambuh dari sakit jantung dan segera dilarikan ke rumah sakit, namun saat di perjalanan menuju ke rumah sakit, Abah menghembuskan nafas yang terakhir. Abah meninggal dan saya memilih untuk melanjutkan perkebunan milik Abah di Cirebon.”

“Innalillahiwainnailihiroji’un, kenapa Kakak diam tidak memberi kabar? Ayah juga diam.”

“Bukan maksud menghilang Aila. Setelah kepergian Abah, saya sowan ke rumah Ayahmu. Mengutarakan jika saya amat mencintaimu dan akan menikahimu, tapi saya matur biarlah Aila kuliah dan menggapai cita-citanya, kelak jika saya dan Aila berjodoh, tentu akan bertemu dengan waktu dan rasa yang tepat.”

Hati Aila berdegup kencang, seakan kabar yang terkubur lama kembali hidup membawakan aroma sejuk dan menenangkan. Pikirnya dalam hati, jadi selama ini Kak Zuhrul memiliki keseriusan dan mendukung segenap harapan Aila diam-diam, ya Allah. Setelah membicarakan banyak hal dan merencanakan sebuah tanggal, Aila meminta ijin kepada rekan kerja untuk kembali ke kampung halaman di Jogja. Aila menyerahkan perusahaan kepada sekretaris sekaligus sahabat semasa kuliah, Nanda.

Jogja, 2020

“Ayah, terimakasih telah menjadi orang hebat di kehidupan Aila. Aila sayang sama Ayah.” Peluk Aila setelah keduanya shalat maghrib berjama’ah.

“Jadi perempuan yang shalihah dan bermanfaat ya nak, Ayah juga sayang sama kakak-kakakmu dan kamu.”

“Iya Ayah.”

Malam itu bintang bersinar saling bertebaran, sambutan datang dari cerahnya rembulan di malam pertengahan. Langit menyaksikan dua mahluk yang esoknya akan segera diakadkan. Ufuk fajar tidak sabar menanti, perlahan malampun tenggelam dalam keheningan yang menentramkan.

“Yaa Zuhrul Arif.” Salam tangan Ayah Aila menyertai keyakinan penuh harap jika putrinya sebentar lagi menjadi istri lelaki baik dan bisa memberikan dukungan bagi kehidupan Aila.

“Labbaik!”

Seluruh ruangan menyertakan bahagia untuk kedua pengantin setelah sah menjadi suami istri. Hidangan ala rumahan dibalut dengan desain restoran membuat masakan khas Jogja lahap di setiap lidah tamu undangan. Acara akad sekaligus syukuran ini selesai hingga waktu dhuhur tiba. Tidak langsung menuju tempat singgah Zuhrul, melainkan ayah Aila meminta pengantin untuk tinggal sejenak di Jogja.

“Kak, eh, duh…” Aila tersipu malu di depan suaminya.

Zuhrul yang selesai merapikan sajadah pun memandangi Aila demikian “Sayang, aku bukan lagi orang lain di hadapanmu, panggil sayang dong.”

“Alaahh, malu.”

“Eh kok malu, kan nggak papa wong sudah sah, atau mas deh, penting jangan kakak, huuu.” Zuhrul mencubit istrinya yang kerap ia pikirkan selama berada di Cirebon. Sekalipun tidak pernah bertemu, Aila tetap saja menjadi perempuan yang dicintai  Zuhrul.

“Ya sudah mas sayang.” Jawab Aila meringis bahagia.

“Cie, sayang.”

“Husss mas ki.”

“Sayang, kalau lapar nanti bilang ya, kita masak bareng.”  Ucap Zuhrul Arif.

“Mas, tapi Aila belum mahir memasak, kan biasa beli kalau di Bandung.”

“Ya nggak papa, macam mana istriku yang cantik ini harus bisa masak dan di dapur terus, sayang ah. Mas yang masak nggak papa, nanti kamu racik-racik. Kita jalani hidup ini dengan saling melengkapi dan mendukung.”

“Siap Mas, hihihi.” Wajah Aila menampakkan bahagia sangat.

Pernikahan bukanlah pintu gerbang untuk saling menghalangi impian. Lelaki menikah bukan dengan bidadari, layaknya perempuan pun juga tidak menikah dengan seorang malaikat. Maka demikian keduanya harus merasa sama-sama sebagai manusia untuk saling mendukung dan menjalani keluarga yang maslahah bagi seluruhnya. []

Tags: CintaGenderhukumIndonesiaJodohkeadilankeluargaKesalinganKesetaraanperempuanperkawinanSastra MubadalahUU perkawinan
Khoiriyasih

Khoiriyasih

Alumni Akademi Mubadalah Muda tahun 2023. Suka membaca dan menulis.

Terkait Posts

Kapan Menikah

Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

29 Juni 2025
Luka Ibu

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir Bagian II

15 Juni 2025
Abah dan Azizah

Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

8 Juni 2025
Luka Ibu

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

1 Juni 2025
Menjadi Perempuan

Menjadi Perempuan dengan Leluka yang Tak Kutukar

25 Mei 2025
Pekerja Rumah Tangga

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

11 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rumah Tak

    Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID