Mubadalah.id – “Membangun hubungan atau relasi yang sehat, harus dimulai dengan memahami dulu karakteristik relasi yang tidak sehat dan dampak-dampaknya. Salah satu karakteristik hubungan yang tidak sehat ialah adanya kekerasan,” jelas Anindya Nastiti Restuviani dalam forum diskusi online yang membahas naiknya angka kekerasan terhadap perempuan pada masa pandemi beberapa waktu lalu.
Sayangnya, dalam banyak kasus, masih banyak kaum hawa yang tidak menyadari dirinya sebagai korban. Padahal jenis kekerasan sendiri sangat beragam, tidak hanya sebatas menyakiti secara fisik, tetapi ada juga kekerasan verbal, mental, digital, dan ekonomi.
Perlakuan negatif yang diterima pasangan malah diterima secara mentah-mentah karena salah dipersepsi sebagai tanda sayang atau sekadar bercanda. Dalam pacaran terutama, ketika laki-laki sudah mengatur bagaimana perempuan bersikap, berbusana, hingga lingkar pertemanannya, itu sudah masuk dalam kategori kekerasan.
Bahkan bila tahapnya sudah harus monitoring dan laporan tiap saat, ini menandakan bahwa relasi yang dijalin sudah tidak sehat. Walau si dia menyampaikan bahwa apa yang ia lakukan tersebut berlandaskan cinta dan kasih sayang. Sebenarnya yang terjadi adalah bentuk manipulasi pikiran terhadap korban yang menandakan bahwa ada relasi kuasa yang timpang dalam hubungan kedua individu.
Tak hanya itu, seringkali karena si laki-laki lebih unggul dalam kondisi fisik, materi, atau strata sosial, ia menempatkan dirinya sebagai ‘pemilik’ perempuan. Konsekuensinya, dalam suatu hubungan keduanya tidak berkedudukan setara sebagai subjek yang bahagia dan membahagiakan, namun sebatas pemenuhan kebutuhan semu, dan ego pribadi yang cenderung mendorong ke arah perilaku negatif.
Hal itu lah yang kemudian ketika sudah berlarut-larut membuat si korban terperdaya dan tak berkutik. Bahkan ketika dari pacaran berubah menjadi relasi pernikahan, konsep kepemilikan seperti barang tadi akan terus dipelihara. Sebab, dalam budaya patriarki, perempuan masih dianggap sebagai objek, barang, yang dengan seenak hati bisa diperlakukan oleh si pemilik.
Tak heran, kenapa muncul fenomena insekuritas kaum adam saat ada perempuan yang berpendidikan tinggi, menjabat posisi politik, hingga aktif dalam lingkungan sosial. Semua prestasi tadi sebenarnya dapat mengacaukan pola relasi yang ia bentuk. Makanya, paradoks-paradoks negatif sengaja diciptakan untuk menghalangi perempuan meraih mimpi-mimpinya: jangan terlalu pintar, nanti susah jodoh; jangan terlalu berprestasi, nanti suamimu minder, dan sebagainya.
Seluruh alasan tadi hanyalah kedok laki-laki untuk tetap berkuasa penuh dalam hubungan yang jalin. Sedangkan, secara ideal hubungan yang mubadalah justru melihat potensi yang dimiliki pasangan adalah berkah yang perlu dimaksimalkan untuk meraih kebaikan seluas-luasnya, bukan untuk dijadikan sumber ketakutan yang tidak berdasar.
Jika keduanya sadar tugas manusia sebagai khalifah, justru menikah, menjalin hubungan orientasinya tidak sempit untuk kesenangan pribadi, tapi justru akan berusaha menjadi pribadi dengan penuh potensi yang mampu membuat dirinya sendiri bahagia dan selanjutnya membahagiakan orang lain.
Tapi, masalahnya kultur toksik masih sangat mengakar pada budaya kita. Berdasarkan data LBH Apik Jakarta tahun 2020, kasus kekerasan selama masa pandemi bertambah hingga 3 kali lipat dan yang paling tinggi ialah kasus kekerasan di dalam rumah tangga (32%), kekerasan digital (29%), serta adanya 7 laporan kasus kekerasan dalam pacaran.
Pun ketika kasus demi kasus kekerasan terus terjadi, kebijakan yang diambil tak mengatasi akar problem: pemberlakuan jam malam, razia Satpol PP, dan sebagainya, sedangkan pengesahan RUU PKS malah tak segera dilakukan. Tak ayal, program-program tadi tak sepenuhnya efektif. Kita justru menemukan bagaimana aparat lah yang kemudian menjadi pelaku kekerasan. Kalau sudah begitu, pihak mana yang bisa diandalkan oleh korban?
Merujuk Fiona Vera Gray, sosiolog dari Durham University, untuk memutus budaya kekerasan pada perempuan, semua pihak harus melihat perempuan sebagai subjek, bukan lagi warga kelas dua. Perlakukan mereka sebagai individu yang punya otoritas penuh terhadap tubuhnya, komunikasikan dua arah, bukan melakukan tindakan paksa berdasar hawa nafsu semata.
Selama ini terlampau sering dunia hanya melihat perempuan sebagai komoditas. Cek saja dunia hiburan kita, bagaimana konten-konten kekerasan seksual terhadap perempuan terus diproduksi. Belum lagi industri pornografi yang mendulang banyak kapital dengan memposisikan perempuan hanya sebagai pemuas nafsu lelaki.
Yang miris, riset di Inggris menunjukkan bahwa konten porno mayoritas ditonton oleh laki-laki sejak ia berada pada masa remaja awal. Kondisi tadi secara tidak langsung turut berkontribusi pada pelanggengan serta normalisasi kekerasan seksual di seluruh penjuru dunia. []