Mubadalah.id – Peristiwa terorisme di Lembantongoa, Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) pada November 2020 menyisakan banyak luka dan trauma mendalam bagi para korban, masyarakat umum, dan secara spesifik perempuan. Tragedi kemanusiaan ini bukan kali pertamanya terjadi di wilayah Sulteng. Dalam kurun waktu delapan tahun, kelompok teroris yang dipimpin Santoso – Ali Kalora melakukan berbagai aksi teror, tak terkecuali di Desa Lembantongoa.
Dalam sejarahnya, Sulteng mengalami sejumlah konflik politik yang terjadi pada rentang tahun 1999 – 2002. Oleh sebab itu, Sulteng belum bisa dinyatakan sebagai provinsi yang aman. Berbagai gesekan masih terjadi akibat peristiwa teror di masa lalu. Akibatnya, timbul kebencian dan saling curiga yang begitu kuat dan mendorong mobilisasi kelompok agama, khususnya Islam dan Kristen.
Konflik ini pun menyisakan trust issue, prasangka, dan segregasi komunitas berbasis agama. Residu konflik ini bisa saja dipolitisasi oleh oknum dengan alasan kepentingan agama maupun suku. Sampai saat ini, masyarakat di Sulteng pun masih berjuang dalam mengembalikan hubungan antara muslim dan kristiani serta memperkuat kerjasama lintas iman.
Konflik politik yang pernah terjadi ini ternyata memengaruhi interaksi dan konflik lokal yang semakin rentan. Seperti terjadinya konflik antar kampung, konflik sumber daya alam, hingga konflik pemilu yang dikaitkan dengan basis agama dan suku.
Tidak terkelolanya rekonsiliasi konflik ini mendorong terjadinya konflik lain. Juga, faktor masih tingginya budaya patriarki yang menimbulkan ketidak-adilan dan ketidak-setaraan gender bisa menjadi penyubur kembalinya aksi-aksi teror dan pemikiran ekstremisme kekerasan semakin berkembang.
Begitupun dengan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Lembantongoa, jika penanganannya tidak dikemas dengan baik, sangat mungkin melahirkan pola konflik yang sama. Mungkin mereka mengadu domba, menyebarkan kebencian, hingga berkonflik mengatasnamakan agama. Mengingat korban terorisme yang terjadi di Lembangtongoa lebih benyak menimpa teman-teman Kristiani.
Aksi Teror di Lembantongoa
Kelompok teroris di bawah kepemimpinan Ali Kalora pada November 2020 telah menyerang satu rumah yang dihuni satu keluarga (terdiri dari empat orang) hingga meninggal dunia. Tidak hanya itu, mereka juga membakar tujuh rumah warga dan Pos Pelayanan Gereja Bala Keselamatan.
Insiden ini menimbulkan kekecewaan, keresahan, dan kecemasan yang sangat tinggi dari masyarakat. Pasalnya operasi keamanan dianggap kecolongan dalam merespons insiden tersebut. Maka tidak heran kalau aksi teror ini menimbulkan ketakutan yang berlapis dengan radius yang luas. Artinya, perasaan trauma ini tidak hanya timbul dari korban yang diserang secara langsung, tapi merambah juga pada seluruh masyarakat di Desa Lembantongoa.
Apalagi ketika aksi teror ini telah menghancurkan simbol-simbol budaya lokal. Para teroris telah menyerang ketua adat, membakar rumahnya, dan membakar semua barang yang biasa digunakan untuk ritual budaya. Kita mungkin bisa membayangkan bagaimana mereka sangat terluka dan merasa kehilangan akan identitas dan budaya yang telah mereka jaga dalam kurun waktu yang sangat lama. Apalagi yang ditugaskan dalam menjaga warisan budaya tersebut adalah perempuan.
Dampak dari aksi teror ini meninggalkan luka yang sangat dalam dari berbagai ranah. Mulai dari hal-hal yang sifatnya kolektif (komunitas) hingga personal. Untuk trauma personal ini tidak hanya sebatas mereka merasa takut akan diserang kembali, tapi juga merasa khawatir dengan sumber kehidupan selanjutnya.
Menurut penelitian yang dilakukan AMAN Indonesia melalui kegiatan diskusi kelompok terarah pada Februari 2021 lalu di Lembantongoa, tindak lanjut dari dampak tragedi ini ialah masyarakat memerlukan ruang pemulihan untuk memulihkan rasa aman dan mengembalikan ruang hidup, pemulihan psikososial, rumah, dan lahan garapan, serta membangun deteksi dini dan sistem keamanan yang integratif.
Ketika mereka mendapatkan jaminan rasa aman, mereka meyakini proses pemulihan itu akan berlangsung lebih cepat. Selain itu, warga juga akan merasa sangat aman ketika harus meneruskan sumber kehidupan, daya hidup, hingga mobilitas mereka akan kembali seperti sedia kala.
Mereka juga dapat berkebun kembali ketika pengadaan rumah dan tanah garapan telah dibangun. Salah seorang korban pun mengungkapkan kalau mereka membutuhkan lahan untuk menanam ubi dan sayur untuk makanan sehari-hari. Ini dikarenakan kalau membeli beras, mereka tidak punya uang akibat dari tragedi teroris yang berdampak pada sulitnya mencari sumber mata pencaharian.
Untuk itu, peran pemerintah setempat dalam menangani dampak dari tragedi terorisme ini sangat diperlukan. Bukan hanya sebatas bantuan materil saja, tapi mereka juga membutuhkan hal lain yang tidak kalah penting, yaitu pemulihan pasca tragedi.
Namun, warga merasa peran pemerintah belum signifikan dalam membantu proses pemulihan tersebut, sehingga perempuan-perempuan yang tinggal di Lembantongoa secara tidak langsung mengambil alih peran tersebut. Mereka melakukan berbagai resistensi dengan pendekatan kultural dan spiritual untuk menghadapi terorisme dan dampak yang ditimbulkan.
Peran Kepemimpinan Perempuan dalam Membangun Damai di Desa Lembantongoa
Komunitas perempuan di Lembantongoa termasuk sosok perempuan yang penuh keyakinan dan memancarkan kepemimpinan dengan penuh kharisma. Bagaimana tidak, residu konflik yang pernah terjadi sebelumnya mampu mereka atasi sedikit demi sedikit dengan pendekatan kultural dan spiritual. Begitupun ketika mereka melakukan resistensi pasca tragedi terorisme di Lembantongoa.
Perjumpaan para peneliti dari AMAN Indonesia dengan komunitas perempuan di Lembantongoa memberikan pesan yang kuat. Apalagi ketika mereka menuturkan bagaimana situasi perempuan pasca tragedi hingga proses mereka bertahan melindungi komunitasnya saat ini.
Sesaat setelah tragedi, pada malam hari (27 November 2020), para perempuan di desa merasa kaget mendengar kabar penyerangan tersebut hingga tidak bisa menutup mata meski di waktu tidur. Di saat itu juga mereka berperan sebagai detektor dini.
Mereka secara sukarela mendatangi tetangga lainnya dan menyampaikan pesan-pesan penting untuk tetap waspada, berdoa bersama di luar rumah, dan saling mengingatkan antara sesama, terutama anak-anak. Selain itu, mereka juga saling memberikan isyarat untuk menyimpan barang-barang penting, setidaknya untuk berjaga-jaga kalau ada kemungkinan terburuk. []