Mubadalah.id – Tulisan berperspektif feminis kian banyak mewarnai media digital belakangan ini. Melalui berbagai portal media, gaung keadilan gender di media diulas dengan beragam sudut pandang penulisnya. Ada yang tertarik untuk menyorot berbagai bentuk penindasan dan kekerasan, entah verbal, fisik dan psikis yang dialami perempuan, ada pula yang tertarik dengan diskusi wacana feminis yang mencoba untuk menemukan hal esensial yang menindas perempuan di konteks sosial budaya secara umum.
Singkatnya, tulisan berperspektif feminisme memang sangat penting hadir di era digital karena ada banyak hal dari perempuan yang harus diperjuangkan. Sekurang-kurangnya, cara demikian dapat menjadi kampanye untuk memulihkan martabat dan mendefinisikan identitas perempuan. a
Saya memiliki pertanyaan sederhana misalnya, mengapa janda selalu dicurigai penggoda? Mengapa perempuan dituntut untuk segera menikah? Mengapa pula misalnya perawan tua sering dianggap sebagai perempuan tak laku? Padahal, perempuan sama halnya dengan laki-laki, yang mana mereka berhak menentukan arah hidup dan karirnya agar bisa mencapai kelayakan hidup.
Seolah-olah saja, laki-laki bebas menentukan hidupnya sedangkan perempuan dibatasi oleh standar tertentu. Bahkan, tuntutan puan menikah muda mungkin sebagian besarnya didasari oleh persepsi awam bahwa perempuan muda jauh lebih subur sehingga bisa menghasilkan anak dan masih memiliki kecantikan.
Menyoal kecantikan saja, perempuan seperti tidak memiliki kuasa untuk mendefinisikan apa itu cantik. Kebanyakan orang akan menyebut bahwa cantik itu mestilah berkulit putih, mulus, langsing dll. Definisi kecantikan dimonopoli dan berpijak dari sudut pandang laki-laki.
Kemudian muncullah kritik atas kecantikan yang ditulis oleh Saraswati, Dosen di Departemen Kajian Perempuan, Universitas Hawaii, yang membedah mitos kecantikan di Indonesia. Melalui bukunya, Seeing Beauty, Sensing Race In Transnational Indonesia, ia mengotopsi sejarah pikiran masyarakat tentang konsepsi menjadi cantik adalah menjadi putih.
Saraswati mengamati bahwa ‘putih’ itu cantik, telah hadir jauh sebelum kolonialisme. Mitos kecantikan, mula-mula dapat ditemukan dari Epos Ramayana dari India. Karakteristik Sinta misalnya, digambarkan seperti rembulan yang terang dan putih.
Ini pada akhirnya membentuk suatu idealitas tertentu tentang cantik haruslah putih. Dengan demikian, Saraswati mengatakan bahwa konsep warna kulit putih sebagai standar kecantikan lebih merupakan efek dari sejarah transnasional bangsa kita. Hasrat kecantikan itu kemudian dimanfaatkan oleh industri kapital untuk membuat berbagai produk kecantikan.
Selain itu, fitur-fitur filter pemberi efek putih yang disuguhkan oleh berbagai platform media sosial, mengkristalkan definisi kulit putih sebagai standar kecantikan.
Oleh karenanya, sangat jelas bahwa praktik pewacanaan kecantikan ‘kulit putih’ harus dilihat sebagai alienasi atas perempuan di jagad maya, karena suprastruktur atau kesadaran perempuan distimulus oleh paltform media yang di satu sisi menguntungkan kapitalisme, di sisi lain juga menindas mereka para puan yang tidak memiliki warna putih di kulitnya.
Menurut saya kecantikan bukan hanya melulu persoalan tentang tampilan tubuh, melainkan juga fashion dan moral. Aspek-aspek ini pada akhirnya mampu mendefinisikan kehadiran perempuan di ruang publik, baik itu di ruang nyata ataupun maya.
Masyarakat Jawa umumnya mengaitkan kecantikan dengan segenap norma sosial. Ramah tamah dan kesantunan misalnya, merupakan satu ciri dari konsep kecantikan itu sendiri. Namun selain itu, bagi saya yang terpenting lagi adalah persoalan tentang bagaimana perempuan hadir di ruang sosial dengan identitasnya dan sadar akan pilihannya.
Jelas persoalan yang dihadapi perempuan tidak terbatas pada satu ihwal saja seperti kecantikan. Tema lain yang layak diangkat pula adalah bagaimana membuat perempuan berdaya di ruang sosial-budaya untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan gender.
Beberapa teman saya, menggunakan perspektif feminis dalam tulisan yang dipublikasikanya misalnya, dinamika dukun bayi di Jawa dan satunya lagi soal dhalang perempuan. Kedua topik ini ditulis oleh kolega saya di IJIR IAIN Tulungagung, sekaligus aktivis perempuan di FPF (Forum Perempuan Filsafat) IAIN Tulungagung.
Perbincangan pertama menyoal fenomena dukun bayi. Dalam alur sejarah sejak kolonial hingga hari ini, dukun bayi yang notabene-nya perempuan, dipinggirkan oleh sistem pemerintahan dan rezim pengetahuan modern.
Dukun bayi dianggap sebagai sifat ketak-rasionalitasan dan keterbelakangan pribumi. Sehingga, ilmu biomedis modern menyingkirkannya atas nama modernitas. Berbagai stigma dilayangkan untuk merendahkan dukun bayi, seperti anggapan para militer Pemerintahan Hindia-Belanda bahwa mereka (dukun bayi perempuan) adalah tukang sihir.
Dengan berbagai regulasi yang sistematis, dukun bayi akhirnya digantikan perannya oleh apa yang kita kenal hari ini sebagai bidan. Di bawah payung kolonialisme, bahkan melintasi zaman Orba hingga hari ini, dukun bayi sebagai representasi perempuan dan tradisi pengetahuan lokalnya telah disingkirkan dalam sejarah dan sosial.
Bila dalam tulisan pertama, perempuan pribumi disingkirkan oleh sistem regulasi dan pengetahuan modern, maka tulisan kedua lebih meninjau penyingkiran perempuan di ranah seni yang berhadapan dengan nalar patriarki agama. Di dunia kesenian, dominasi laki-laki atas perempuan rupanya juga sangat signifikan. Dhalang wayang, seolah-olah hanya berhak dipakari laki-laki.
Di Blitar, ada seorang dhalang perempuan yang mahir memainkan wayang. Namun apa? Sebuah norma masyarakat dan agama rupanya memiliki standar normatif tertentu yang meninggikan posisi laki-laki di ruang publik. Sehingga, perempuan dilemahkan dalam status profesi ini dan laki-laki menempati kemapanan.
Setelah membaca uraian tentang PUG (Pengarusutamaan Gender) yang ditulis oleh founder Perempuan Berkisah, Alimah Fauzan, saya sedikit paham bagaimana langkah strategis untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan gender. Gender Equality, orang menyebutnya, harus dimulai dengan gender equity.
Alimah menjelaskan bahwa gender equality lebih merupakan visi yang hendak dicapai, sedangkan gender equity merupakan tinjauan atas kondisi awal perempuan yang hendak diperjuangkan.
Ia kemudian menyebut bahwa langkah strategis untuk memberdayakan perempuan adalah dengan mengamati dengan lebih baik mengenai latar belakang, dan beban yang dihadapi perempuan untuk terbentuknya gender equality.
Kalau kita refleksikan paparan di atas, kita akan tahu bahwa strategi kebudayaan untuk mewujudkan masyarakat berkeadilan gender, haruslah berangkat dari persoalan yang mereka hadapi. Jika dikaitkan dengan diskursus kecantikan, strategi yang diambil misalnya adalah kampanye tentang kecantikan yang diwakili oleh berbagai perempuan Nusantara.
Biarkan setiap perempuan mendefinisikan cantiknya. Semakin kita inklusif , maka semakin membuktikan bahwa cantik itu tidak dibatasi oleh standar tertentu, karena setiap perempuan adalah cantik.
Kemudian, apabila dikaitkan dengan kearifan lokal, seperti tulisan kolega saya, maka kita dapat mengambil langkah membuat ruang ekspresi bagi para seniman misalnya, dalam kasus dhalang perempuan yang semakin tersingkirkan. Adapun jika terkait dukun bayi, saya rasa langkah kerjasama dengan para tenaga medis seperti bidan menjadi sangat penting karena dukun bayi sebagai profesi semakin tersingkir dan hilang.
Saya rasa, hadirnya berbagai platform feminis seperti Perempuan Berkisah, JalaStoria, Konde, Empuan, Magdalene adalah hal penting yang menandai emansipasi perempuan untuk mewujudkan gender equality.
Memang kampanye seperti ini tidak hanya terbatas pada kampanye berbasis tulisan saja, melainkan melalui penyuluhan, pembinaan dan advokasi yang panjang. Akan tetapi, menurut saya, tulisan berperspektif feminis atau berkaitan dengan emansipasi perempuan adalah hal yang punya kontribusi besar emasipasi perempuan di era digital saat ini.
Oleh sebab itu, narasi perempuan yang hadir di berbagai platform media, menjadi sangat bagus, karena ini membuktikan bahwa kita sedang berbicara dan berdiskusi untuk mewujudkan keadilan gender. Jadi, para puan tetaplah menulis. Syukur juga kalau laki-laki menulis feminis, sebab kita tahu bahwa cita-cita keadilan gender akan lebih cepat berhasil jika laki-laki juga melek gender.
Demikian penjelasan terkait membincang narasi keadilan gender di media. Semoga narasi gender di media bermanfaat. [Baca juga: Pentingnya Literasi Digital bagi Keadilan Gender Bagian Kedua]