Mubadalah.id – Abu al Ala al Ma’arri, seperti cendikiawan, matematikawan dan penyair legendaris dari Persia, Omar al-Khayyam, adalah seorang pesimis sekaligus skeptis sepanjang hidupnya. Ia terombang-ambing dalam ketidakpastian dan kecemasan. Ia percaya pada kekuatan akal pikiran di satu saat, tetapi ia tak berdaya dengan akalnya pada saat yang lain.
Ia menolak Tuhan dengan akalnya sekaligus pasrah kepada keputusan Tuhan. Ia sering ingin segera pulang (mati) tetapi pada saat yang lain ia ingin tetap hidup. Ma’arri lebih banyak menderita atau mungkin lebih tepat disebut sebagai seorang Nihilis. Dalam sebuah puisinya ia mengungkapkan perasaan seperti hidup dalam penjara pada tiga fase dan tanpa harapan keindahan:
Lihatlah, hidupku bagai dalam tiga penjara
Janganlah bertanya mengapa
Mataku tak dapat melihat
Aku selalu berada di dalam rumah
Dan jiwaku terperangkap dalam tubuh yang penuh keburukan
Dalam puisinya yang lain ia mengekspresikan pandangan pesimismenya atas hidup dan kehidupan dunia. Ia menghadapinya dengan gamang :
تأملنا الزمان فما وجدنا الى طيب الحياة به سبيلا
ذر الدنيا إذا لم تحظ منها وكن فيها كثيرا او قليلا
Aku telah merenungkan kehidupan
Aku tak menemukan jalan kehidupan yang menyenangkan
Ayo tinggalkan dunia ini, jika kau tak bahagia
Terimalah ia sedikit atau banyak
Kontroversial
Pikiran-pikiran liberal Al-Ma’arri melahirkan resistensi keras dari para ulama. Ia terlalu sering dituduh sesat, atheis, kafir zindiq dan murtad. Ia adalah salah satu tiga cendikiawan legendaris yang mendapat tuduhan seperti ini. Dua orang lainnya adalah : Ibnu Rawandi (w.864 M) dan Abu Hayyan al-Tauhidi (w. 1009 M). Buku karya Abu Hayyan yang sangat terkenal dan pernah saya baca adalah : “Al-Imta’ wa al-Mu-anasah”. Boleh jadi untuk hari ini ia akan disebut dedengkot “JIL”, kata yang dimaknai secara pejorative dan stigmatic, meski sering tanpa pernah memahami substansi atau isi pikirannya.
Tetapi orang sepakat bahwa Al Ma’arri adalah seorang darwish, seorang zahid, seorang yang bersahaja. Ia tidak suka kemewahan. Ia juga seorang vegetarian. Makanan sehari-harinya adalah sayur-sayuran dan buah-buahan. Ia menolak makan daging binatang apapun, telor, susu dan madu. Boleh jadi hal ini karena ia membayangkan penderitaan hewan dan burung ketika harus disembelih. Dalam “Luzum Ma La Yalzam” atau dikenal dengan judul “Luzumiyyat”, Ma’arri mengatakan :
الحمد لله قد اصبحت فى دعة
أرضى القليل ولا أهتم بالقوت
وشاهد خالقى أن الصلاة له
أجل عندى من درِّى وياقوت
Segala puji bagi Tuhan semata
Aku menjadi menerima saja diberi seberapapun
Aku tak berminat pada makanan
Aku bersaksi kepada Tuhan Pencipta kehidupan
Shalat bagiku lebih agung daripada intan dan permata
Al-Ma’arri ekstrim menolak Menikah
Cendikiawan ini amat terkenal dengan pandangannya yang anti menikah dan mempunyai anak. Baginya kehidupan di dunia ini terlalu banyak kerusakan, terlalu banyak penderitaan. Menikah dan berketurunan menurutnya adalah sebuah tindakan kejahatan. Anak-anak yang dilahirkan akan menjadi korban. Karena itu ia membenci pernikahan.
Bahkan ia juga seperti ketakutan jika melihat perempuan. Ketidaksenangannya menikah bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga ia juga mengajak orang lain untuk tidak menikah. Ia mengatakan : “Da’ al-Nasl. Inna al-Nasla ‘uqbahu Mayyitatun” (Tinggalkan berketurunan. Berketurunan akan menimbulkan kematian).
Di tempat lain ia mengatakan :
نصحتك لا تنكح فإن خفت مأثما
فاعرس ولا تنسل فذلك احزم
Dari puisi-puisi di atas, tampak sekali bahwa sesungghnya ketidakinginannya untuk menikah lebih karena ia tidak ingin mumpunyai keturunan yang menyebabkan anak-anaknya akan menderita, seperti dirinya. Dan ia sama sekali tak menginginkan menjadi penyebab penderitaan anak-anaknya atau orang lain. Ia menyesali ayahnya telah melahirkan dirinya.
Oleh karena itu sebelum meninggal dunia ia menulis sebuah puisi dan berwasiat agar puisi ini diletakkan di atas pusaranya kelak. Inilah puisinya yang sangat terkenal itu :
هذا جناه أبى علي وما جنيت على احد
Ini adalah tindakan buruk ayahku atasku
Dan aku tidak melakukan keburukan kepada siapapun
Tetapi ia juga berkali-kali pesan kepada saudara-saudara dan sahabat-sahabatnya agar tidak mengutuki dan mencaci-maki orang-orang yang sudah wafat. Katanya dalam sebuah puisi lain yang juga amat populer :
لا تظلموا الموتى وإن طال المدى
وإنى أخاف عليكمو ان تلتقوا
Janganlah kalian caci-maki mereka yang telah mati
sejak kapanpun ia mati
Aku kawatir kalian akan menjumpai hal yang sama
Karya-karya al-Ma’arri
Al-Ma’arri menulis cukup banyak buku, terutama dalam bentuk antologi puisi. Antara lain yang terkenal : Siqth al-Zindi (Percikan api), terdiri dari 3000 bait puisi, “Luzum Ma La Yalzam” (Keharusan yang tidak harus) : 120 halaman, “Rahah al-Luzum”, Syarh Kitab Luzum Ma La Yalzam (ulasan kitab Luzumiyyat) : 100 halaman, “Istaghfir Wa Istaghfiri” : 10.000 bait. Buku ini berisi permenungan-permenungan al-Ma’arri tentang hidup dan kehidupan sesudah mati, “Risalah al-Ghufran” (Surat Pengampunan) dan lain-lain.
Buku yang terakhir ini (Risalah al-Ghufran) adalah karya sastra filsafat yang sangat terkenal di dunia. Buku ini berkisah tentang kehidupan manusia di neraka dan di sorga. Dialog-dialog imajinatif pengarangnya yang demikian indah dan hidup, di antara para penghuni sorga dengan para penghuni neraka yang penuh dengan nada-nada satiris.
Buku ini sangat menarik, mengingatkan kita pada cerpen “Langit Makin Mendung” karya Ki Panji Kusmin yang menghebohkan para ulama dan institusi-institusi agama di negeri ini. Karya filsafat ini telah memengaruhi Dante Alighieri (1265 M), dalam karyanya “Divine comedy” (Komedia Ilahiyah) yang sangat terkenal itu. []