Mubadalah.id – Salah satu Ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan terkait pandangan Islam terhadap donor ASI.
Jika merujuk pandangan Ibnu Taimiyah, seorang ahli fikih yang bermazhab pada Hambali terkait donor ASI atau radha’ah (penyusuan) itu hukumnya menjadi boleh dengan syarat seorang bayi yang masih berumur di bawah dua tahun, lalu menyusui sebanyak lima kali dan susuan yang mengenyangkan.
Pendapat ini, menurut Nyai Badriyah, lebih berdasarkan pada hadis Aisyah ra. yang berbunyi,
“Telah turun dalam al-Qur’an bahwa sepuluh susuan itu hukumnya haram, lalu hal itu di -nasakh menjadi lima susuan yang mengetahui itu mengharamkan hingga Rasulullah wafat dan perkara tersebut tetap seperti itu.” (HR. Muslim).
Hadis tersebut, Nyai Badriyah menegaskan bahwa susuan tersebut telah mengharamkan apa yang diharamkan melalui keturunan, termasuk pernikahan.
Sehingga mereka yang menyusu pada orang yang sama telah menjadi saudara susuan dan hukumnya haram untuk menikah.
Sementara itu, Nyai Badriyah menanyakan, bagaimana halnya apabila menyumbangkan ASI pada bayi yang tidak jelas identitasnya seperti bayi para korban bencana alam dan sebagainya? Apakah secara syariat mereka akan menjadi muhrim dari pendonoran tersebut?
Jika merujuk pandangan, Dr. Yusuf al-Qardhawi di dalam bukunya “Fatwa-fatwa Kontemporer” menjelaskan bahwa hukum persaudaraan sesusu tidaklah semudah itu. Beliau menyebutkan beberapa persyaratan.
Pertama, bila bayi tersebut menyusu secara langsung pada ibu susuannya dan bukan ASI peras.
Kedua, memberikan penyusuan maksimal selama lima hari berturut-turut.
Ketiga, anak yang disusui usianya tidak lebih dari dua tahun dan tidak minum apapun selain dari ASI eksklusif.
“ASI peras tidak akan memuhrimkan bayi yang meminumnya,” jelas Dr. Yusuf al-Qardhawi seperti dalam bukunya al-Halal wal-Haram fil Islam. (Rul)