Mubadalah.id – Ulama menempati strata sosial yang tinggi pada masyarakat muslim. Hal ini lantaran perannya dalam teks teologis yang dinyatakan sebagai pewaris Nabi. Maka otoritas keagamannya menjadi sesuatu yang mutlak sekaligus menjadi penjaga tataran masyarakat agar sesuai dengan perintah agama. Peran keulamaan ini melekat pada laki-laki, karena pemimpin terlebih pemimpin agama dalam pandangan fikih literalis ada dalam kekuasaan lelaki.
Dalam lingkup pesantren, peran keulamaan terpegang oleh kyai. Lembaga Pendidikan Islam tertua di Indonesia ini menempatkan kyai sebagai aktor utama berjalannya sistem pendidikan pesantren. Menurut (Azra, 2007), kepemimpinan kyai dalam pesantren ini memperteguh legacy patriarki. Salah satunya karena pemilihan kitab dan bahan belajar santri yang memang bernuansa patriarki bahkan mendiskriminasi perempuan.
Di tengah kondisi ini, tepat pada tahun 2006, sosok ulama perempuan muncul sebagai pimpinan tertinggi pada sebuah pesantren. Ialah pondok pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon, pimpinan Nyai Hj Masriyah Amva hingga saat ini. Lokasinya terletak di lingkungan pesantren yang masih kuat memegang tradisi patriarki, kemunculan Nyai Hj Masriyah Amva sebagai pemimpin sebuah pesantren tentu menimbulkan banyak pro dan kontra.
Latar Belakang Pendidikan Nyai Masriyah Amva
Nyai Masriyah Amva lahir di Cirebon, 13 Oktober 1961. Semenjak kecil, Nyai Masriyah Amva tumbuh di pesantren milik kedua orang tuanya yang sekaligus tokoh agama yang disegani di wilayah Babakan. Yaitu Kyai Amrin Hanan dan Nyai Fariatul Aini, pendiri pondok pesantren Asy-Syuhada Babakan Cirebon.
Pembagian peran dalam keluarga yang bernilai kesetaraan sudah Nyai Masriyah Amva rasakan semenjak kecil. Nyai Fariatul Aini tak hanya berperan sebagai pendamping Kyai Hanan. Namun beliau ikut terlibat dalam mendidik para santri, dan juga aktif menyampaikan ceramah di masyarakat. Kyai Hanan juga melibatkan Nyai Fariatul Aini dalam pengambilan kebijakan di pesantren Asy-Syuhada.
Nyai Masriyah Amva memiliki 6 bersaudara yang semuanya perempuan. Kyai Amrin Hanan dan Nyai Fariatul Aini membekali keenam putrinya dengan pemahaman dan Pendidikan berbasis agama. Nyai Masriyah Amva sendiri menempuh Pendidikan di pesantren al-Muayyad Solo selama tiga tahun. Lalu berlanjut ke pesantren al-Badi’iyah Pati, kemudian melanjutkan ke pesantren Dar al-Lughah wa d-Da’wah di Bangil. Pilihan pesantren yang terakhir ini murni keinginan Nyai Masriyah Amva untuk memperdalam Bahasa Arab langsung pada Habib Hasan Baharun.
Saat sedang menempuh Pendidikan di pesantren Dar al-Lughah wa Ad-Da’wah di Bangil, Nyai Masriyah diminta untuk kembali ke pesantren Asy-Syuhada. Ternyata pihak keluarga menjodohkannya dengan Kyai Syakur Yasin. Setelah menikah, Nyai Masriyah tinggal di Tunisia dan dikaruniai dua anak. Selama 8 tahun mendampingi Kyai Syakur Yasin, pernikahan Nyai Masriyah berakhir di meja hijau dengan cerai gugat.
Mengajukan Cerai Gugat
Cerai gugat adalah perceraian yang diajukan oleh pihak perempuan. Meskipun diperbolehkan dalam hukum keluarga di Indonesia. Namun dalam lingkungan pesantren tentunya bukan sesuatu hal yang wajar. Di mana seorang perempuan justru melayangkan surat perceraian kepada suami. Perbedaan prinsip dalam menjalankan rumah tangga menjadi pemicu utama perceraian Nyai Masriyah dengan Kyai Syakur Yasin.
Setelah memutuskan bercerai dengan Kyai Syakur, Nyai Masriyah kembali ke pangkuan Kyai Amrin Hanan dan Nyai Fariatul Aini. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, Nyai Masriyah berdagang dan menjalankan beberapa bisnis. Hingga pada tahun 1993, Kyai Muhammad mempersunting Nyai Masriyah Amva. Tokoh agama di wilayah Babakan Cirebon sekaligus pengasuh pesantren Kebon Melati. Saat itu, Kyai Muhammad berstatus duda dengan 6 anak.
Di sinilah awal mula Nyai Masriyah dan Kyai Muhammad merintis pesantren Pondok Jambu, di atas lahan wakaf Kyai Hanan. Sesuai dengan latar pendidikan Nyai Masriyah dan Kyai Muhammad yang merupakan santri salaf, maka pesantren Kebon Jambu juga mereka berdua citakan untuk berkembang menjadi pesantren salaf yang besar. Tanpa pendidikan formal, dan fokus pada kajian terhadap kitab kuning.
Nyai Masriyah berperan sebagai pendamping Kyai Muhammad, dan lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan domestik pesantren. Menjadi support system dan menjalankan perniagaan untuk membantu memenuhi kebutuhan pesantren. Karena menyibukkan diri di belakang layar, maka ketokohan Nyai Masriyah selama menjadi istri Kyai Muhammad tidak banyak masyarakat ketahui.
Lantas seperti apa cara Nyai Masriyah bangkit pasca meninggalnya Kyai Muhammad?
Meyakinkan diri dan Menggantungkan Segalanya pada Allah
Guna melawan rasa inferioritas yang terus menjangkiti pikiran, beliau memulai dengan menanamkan self love. Dalam goretan pena dan narasi puisi yang indah, beliau berkomunikasi dengan Allah. Beliau meminta kekuatan kepada Allah agar bisa menjadi pribadi yang baik. Nyai Masruyah Amva mensugesti diri sendiri bahwa beliau adalah pemilik kehidupan. Dirinya memiliki otoritas penuh untuk menentukan sampai di mana kemampuan dia untuk mengembangkan potensinya sebagai manusia. Sedangkan Allah yang akan menuntun dan menunjukkan jalan terbaik yang harus beliau lalui.
Ketika seseorang sudah bisa menanamkan kecintaan pada diri sendiri atau memiliki self love yang kuat maka segala potensi akan bisa tersalurkan dengan sempurna. Karena self love mampu menumpas segala keraguan dan ketidakpercayaan diri. Seseorang akan merasa bangga dengan segala capaiannya, tidak pusing dengan perkataan orang yang meragukan dia. Karena yakin dirinya kuat dan mampu.
Meyakini bahwa Laki-Laki dan Perempuan Sama-Sama Khalifatullah
Nyai Hj. Masriyah Amva meyakini bahwa Islam memberikan akses yang sama kepada seluruh manusia untuk berperan di ranah publik. Tak ada satupun ayat dalam al-Quran yang mendiskreditkan peran perempuan. Pemahaman ini melahirkan kebijakan pesantren yang ramah terhadap gender.
Seperti tidak membeda-bedakan kemampuan kepemimpinan santri berdasarkan jenis kelamin, memberikan akses pendidikan dan kurikulum yang sama, dan banyak kegiatan yang menggabungkan antara santri putra dan santri putri berdasarkan kebutuhan. Seperti dalam majelis kajian nahwu. Kurikulum yang berlaku memadukan antara sistem pendidikan umum dan diniyah. Sedangkan sistem mengaji mereka lakukan setelah sekolah diniyah.
Dengan keyakinan yang terbangun itulah, dan dengan terus memohon petunjuk dari Allah SWT, Nyai Masriyah mampu memimpin pesantren dengan baik. Meyakini bahwa perjuangan melalui jalur pendidikan sebagaimana yang beliau jalani saat ini tidak akan sia-sia. Ada keyakinan beliau mampu memimpin sebagaimana K.H Muhammad ataupun kyai-kyai lain melakukannya. Yakin bahwa berjuang di jalan Allah tidak melihat jenis kelamin. Dan beliau yakin semua manusia baik laki-laki dan perempuan memperoleh potensi yang sama untuk berjuang di jalan kebaikan semaksimal mungkin, sebanyak mungkin, Lii’laai kalimatillah.
Demikianlah latar belakang Pendidikan dan juga keluarga Nyai Masriyah Amva. Pengalaman dan perjalanan panjang dalam kehidupan Nyai Masriyah inilah yang menjadi bekal berharga bagi Nyai Masriyah untuk melanjutkan kepemimpinan pesantren Kebon Jambu pasca meninggalnya Kyai Muhammad. []