Mubadalah.id – Fenomena pernikahan beda usia baik pihak laki-laki yang terlalu tua atau pihak perempuan yang jauh lebih tua selalu ada. Sebab cinta memang tidak mengenal batas dan sekat apapun. Namun harus diakui pernikahan dengan perbedaan usia yang terlalu jauh, memiliki permasalahnya sendiri.
Belajar Dari Kasus
Suatu hari seorang ibu muda dari Lampung dengan sedih menceritakan dilemanya. Di satu sisi ia ingin membahagiakan ayah yang berusia 78 tahun, yang begitu murung menjalani hari-harinya setelah ibu tercintanya wafat. Namun disisi lain ia ragu dengan pilihan sang ayah, seorang gadis yang usianya 29 tahun. Ia khawatir benarkah sang gadis mencintai ayahnya yang sudah tua dengan tulus? Atau jangan-jangan karena mengincar warisan sang ayah yang telah lanjut usia?
Kekhawatiran ini tampaknya tidak berlebihan. Sebab, ibu muda tadi tidak ingin nasibnya seperti temannya. Sang teman adalah anak pengusaha perempuan yang berusia 57 tahun yang menikah dengan karyawannya yang berusia 25 tahun. Setalah 4 tahun menikah, pengusaha perempuan itu meninggal. Duda 29 tahun itu pun kemudian menjadi sumber masalah karena menguasai harta almarhumah, lalu menikah lagi, mengalihnamakan harta almarhumah kepada dirinya dan istri barunya, sementara anak-anak almarhumah tidak diperdulikan. Konflik warisan pun memanjang.
[baca: https://mubaadalahnews.com/2016/12/hubungan-suami-istri-bukan-hubungan-majikan-budak/ ]
Pertengahan dekade 2000-an kasus pernikahan Syeh Puji dengan Lutfiana Ulfa, gadis belia siswi SLTP di Semarang menyentak publik. Pernikahan ini menjadi kontroversial karena menikahi gadis di bawah umur selain membahayakan kesehatan reproduksi, merampas hak anak untuk memperoleh pendidikan dan pergaulan dengan teman sebaya, juga menjadi preseden buruk perlindungan hak perempuan dan anak di Indonesia serta melanggar UU No 1/1974 tentang Perkawinan maupun UU No 23/2002 tentang perlindungan Anak. Pernikahan itu sendiri akhirnya dibatalkan oleh Pengadilan (ditangguhkan menurut pelaku).
Beberapa kejadian di atas merupakan problem khas nikah beda usia yang terlalu jauh. Dalam kasus ibu dari Lampung, pernikahan beda usia dikhawatirkan membuka jalan eksploitasi ekonomi terhadap suami yang sudah uzur. Dalam kasus kedua, suami memanfaatkan posisinya untuk menzalimi anak-anak istrinya yang meninggal. Dalam kasus Syekh Puji, masa kanak-kanak Ulfa terganggu akibat peristiwa itu berikut pemberitaannya. Di luar kasus-kasus ini tentu banyak lagi kasus lain.
Meski demikian tidak bisa disimpulkan bahwa nikah beda usia pasti bermasalah. Sebab banyak juga yang berhasil membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Tentu dengan perjuangan yang tidak gampang. Pernikahan Rasulullah dengan Khadijah di era Makkah dan dengan ‘Aisyah di era Madinah menunjukkan hal itu. Namun menarik juga untuk diketahui bahwa pada saat yang sama Rasulullah Saw. juga tidak menginginkan nikah beda usia dilakukan jika ada indikasi ketidakharmonisan dan ketidakbahagiaan.
Dua Sisi Rasulullah
Dalam soal nikah beda usia, Rasulullah Saw. adalah suami yang mampu dengan sukses. Namun di sisi lain adalah sebagai ayah Rasulullah ternyata menghindarkan putri-putrinya untuk dipersunting calon yang beda usianya terlalu jauh. Sekilas tampaknya hal ini paradoks. Namun sesungguhnya Rasulullah sedang memberikan gambaran akan realitas kehidupan yang memang seringkali tidak tunggal.
Kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw. Dengan Ummul mukminin Khadijah ra. di Mekah telah menorehkan sejarah bahagia keluarga beda usia. Itu karena soal Rasulullah yang berusia 25 tahun menikah dengan Khodijah yang berusia 40 tahun atas dasar cinta yang tulus dan kekaguman akan akhlak dan karakter satu sama lain. Begitu besar cinta Rasulullah kepada Khadijah, sampai-sampai Rasulullah selama beberapa tahun tidak menikah lagi setelah Khadijah wafat. Perkawinan harmonis itu sendiri berlangsung selama 25 tahun secara monogami dan dikaruniai 6 orang anak. Alhasil, sejarah pernikahan Rasulullah Saw. dengan Khodijah telah membuktikan bahwa nikah beda usia bisa membawa kebahagiaan hingga akhir hayat jika dilandasi cinta kasih, keimanan dan ketulusan.
Pernikahan Rasulullah dengan Ummul mukminin ‘Aisyah ra. di Madinah juga pernikahan beda usia yang jauh. Namun kematangan pribadi Rasulullah dan kecerdasan adaptasi ‘Aisyah telah menjadi kunci kebahagiaan perkawinan itu hingga ajal memisahkan. Memang ada cobaan besar dalam pernikahan itu karena ‘Aisyah digosipkan oleh kaum munafik berselingkuh dengan sahabat yang muda, gagah dan rupawan, Safwan bin Mu’aththal. Sebuah gosip fitnah, namun sudah membuat umat Islam terbelah menjadi dua; ada yang yakin ‘Aisyah bersih tidak seperti yang dituduhkan; namun ada yang berpikir bahwa mungkin saja gosip itu benar mengingat ‘Aisyah dan Sofwan sama-sama muda, ‘Aisyah cantik dan Shofwan tampan. Ketegangan dalam keluarga Rasulullah pun terjadi, sampai akhirnya Allah SWT membebaskan Aisyah ra. dari segala tuduhan kaum munafik melalui wahyu yang disampaikan Jibril dalam surat An-Nur ayat 11 s/d 20. Peristiwa itu menjadi cobaan besar buat Nabi dan Aisyah yang masih belia. Namun, dengan cinta, kepercayaan keimanan dan komitmen yang kuat, prahara besar itu tak membuat perahu rumah tangga Rasulullah dengan ‘Aisyah karam.
Langgengnya pernikahan beda usia Rasulullah tentu sangat dipengaruhi oleh kekuatan pribadi, akhlak, dan niat beliau. Di jaman sekarang bisa saja pernikahan beda usia berjalan di atas landasan cinta kasih dan ketulusan. Namun tidak menyaksikan sebagian besar ternyata tidak demikian .
[ baca: https://mubaadalahnews.com/2016/11/memaknai-kembali-arti-setara-dalam-rumah-tangga/ ]
Dan ternyata, sejarah juga membuktikan bahwa Rasulullah sendiri tidak memberlakukan hal yang sama untuk putri-putrinya. Beliau tahu, tak mudah menjalani pernikahan beda usia yang terpaut jauh. Sebagai ayah Rasulullah ternyata tidak berkenan menikahkan putrinya sendiri dengan orang yang beda usia jauh. Fatimah ra. putri tercinta Nabi telah dilamar banyak orang dari berbagai kalangan terhormat sebelum dinikahkan dengan Ali ra. Di antara pelamar itu termasuk sahabat Rasulullah Abu Bakar ra. dan Umar ra. secara halus lamaran kedua sahabat dekat ini ditolak. Usia Abu Bakar (lahir 573 M) dan Fatimah (lahir 605 M) terpaut 32 tahun, sedangkan Umar (lahir 581 M) dan Fatimah terpaut 24 tahun. Sebagai ayah Rasulullah mengambil keputusan yang terbaik untuk putrinya dengan memilih calon suami yang paling pas dan menjadi pendamping hidup Fatimah, maka sejarah pun mencatat bahwa yang dinikahkan dengan Fatimah adalah Ali bin Abi Tholib (lahir 603 M), kala itu Fatimah berusia 19 tahun dan Ali 20 tahun. Perkawinan ini dikenal sebagai perkawinan yang penuh teladan meski hidup dalam kesederhanaan. Perkawinan ini pun langgeng sampai Fatimah dipanggil ke haribaan Allah SWT Tak lama setelah Rasulullah Saw. wafat. Putri Rasulullah yang lain pun menikah dengan orang yang tidak terpaut jauh usianya.
Pembatasan Usia Menikah di Dunia Islam
Banyaknya fenomena eksploitasi terhadap pasangan yang jauh lebih tua atau yang jauh lebih muda membuat masyarakat dunia, termasuk masyarakat Muslim merasa perlu memberlakukan pembatasan pembatasan untuk mencegah atau minimal mengurangi kemungkinan ekploitasi itu.
Keputusan Rasulullah Saw. Untuk menikahkan Fatimah kepada Ali yang usianya hanya terpaut 2 tahun dan menolak secara halus pelamar yang usianya terpaut terlalu jauh telah menjadi referensi sejarah bahwa perbedaan usia menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan agar pernikahan yang pernikahan tidak kandas di tengah jalan. Atas dasar referensi sejarah tersebut dan adanya fakta-fakta eksploitasi, saat ini telah terjadi kesadaran masif di dunia Islam bahwa upaya untuk mewujudkan cita-cita perkawinan yang sakinah mawadah warohmah sebagaimana pesan Al-Qur’an perlu dukungan negara. Sebab perkawinan yang melibatkan dua keluarga terkait langsung dengan keteraturan sosial dan ketertiban masyarakat. Maka, langkah-langkah yang menimalisir resiko perceraian, memperkecil peluang eksploitasi, KDRT, dan disharmoni lainnya pun dilakukan negara dengan menuangkannya dalam undang-undang hukum keluarga. Pada umumnya negara-negara Muslim memberlakukan batas minimal usia menikah. Sebagian di antaranya melangkah lebih jauh, yakni memberlakukan batas maksimal beda usia.
Batas Minimal Usia Menikah
Salah satu aturan yang sudah umum diterapkan di dunia Islam adalah batas minimal usia menikah. Aturan rinci tentang batas minimal usia menikah atau batas maksimal beda usia memang tidak terdapat secara eksplisit dalam Al-quran maupun Al Hadits. Namun kesadaran masih akan perlunya kedewasaan mempelai secara fisik, mental, ekonomi dan sosial agar perkawinan bisa lebih dekat mencapai tujuan telah melahirkan ijtihad perlunya batas usia minimal calon mempelai. Meskipun batasannya sendiri berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya, namun intinya ada kesadaran kolektif bahwa demi kemaslahatan perlu aturan yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban. Batas minimal usia menikah yang berlaku di berbagai negara mayoritas muslim adalah sebagai berikut:
NEGARA | LAKI-LAKI | PEREMPUAN |
Aljazair Bangladesh Irak Indonesia Lybia Malaysia Mesir Maroko Pakistan Syria Tunisia Turki somalia | 21 21 18 19 18 18 18 18 18 18 19 17 18 | 18 18 18 16 16 16 16 15 16 17 17 15 18
|
Melihat tabel di atas, batasan usia minimal 16 tahun untuk calon mempelai perempuan di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan Aljazair, Irak, Bangladesh, dan Somalia yang menetapkan minimal usia 18 tahun atau sama dengan konvensi internasional usia anak. Anak perempuan usia 16 tahun Pada saat UU Perkawinan disahkan tahun 1974 mungkin sudah dipandang pantas menikah. Namun kini, jika pada usia 16 tahun anak perempuan menikah, kesempatan memperoleh pendidikan menengahnya bisa hilang. Kematangan biologis, psikologis, mental, dan sosial pun belum terjadi. Tidak heran saat ini upaya konstitusional untuk memperjuangkan naiknya batas usia minimal calon mempelai perempuan sesuai UU Perlindungan anak, Yakni 18 tahun, terus berjalan. Semua itu dilakukan demi kemaslahatan jangka panjang bagi perempuan yang akan menjadi ibu di kemudian hari di mana tantangan kehidupan semakin kompleks.
Batas Maksimal Beda Usia
Jika usia minimal pernikahan sudah demikian banyak diberlakukan di berbagai negara berpenduduk mayoritas Muslim, beberapa negara berpenduduk Muslim juga telah mengatur batas maksimal beda usia. Yaman menetapkan beda usia antara kedua mempelai maksimal 20 tahun, kecuali jika calon perempuannya sudah berusia 35 tahun. Syria memberlakukan kewajiban izin khusus dari pengadilan jika beda usia antara dua calon mempelai terlalu jauh. Di Yordania aturannya lebih rinci lagi. Dalam undang-undang hukum keluarga Yordania tahun 1977 terdapat ketentuan jika perbedaan usia lebih 20 tahun dan pihak perempuan belum berumur 18 tahun maka perkawinan itu tegas dilarang kecuali ada izin khusus dari hakim yang menjelaskan bahwa perkawinan itu demi kepentingan pihak perempuan. Di Indonesia sendiri aturan tentang batas maksimal beda usia memang belum ada. Namun wacana mengenai hal itu sudah mulai menggelinding seiring dengan wacana amandemen UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hal yang paling penting untuk digarisbawahi disini adalah semua aturan ini lahir dari keinginan untuk melindungi perempuan, membebaskannya dari eksploitasi demi mewujudkan tujuan perkawinan yang membahagiakan kedua belah pihak. Boleh jadi suatu saat masyarakat Indonesia memandang perlu ada aturan tentang batasan maksimal beda usia. Semua itu dimungkinkan jika argumentasi kemaslahatan benar-benar ada dan fakta-fakta kemudharatan juga riil terjadi dan semua pihak merasa perlu aturan itu. Wallahu a’lam.