Mubadalah.id– Dalam salah satu diskusi kelas, salah seorang mahasiswi mendapat pertanyaan, “Bagaimana pendapat kalian, jika seorang laki-laki dalam rumah tangga tidak bekerja?”. Si mahasiswi pun menjawab, “ya, kodrat laki-laki itu harus bekerja. Dia kan kepala keluarga. Jadi, haruslah dia bekerja”.
Penanya bertanya lagi,”bagimana kalau kondisinya tidak memungkinkan? Misal nih dia sakit, sehingga dia tidak bisa menjalankan kodratnya tersebut?.
Si presentator, lantas diam sejenak. Ia lalu menjawab, “Kalau begitu ya tidak apa-apa jika si istri lah yang bekerja. Tapi ya tetap. Bekerja adalah kodrat laki-laki. Kan di al-Qur’an sudah jelas, “al-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’”.
Laki-laki itu pemimpin bagi perempuan. Kalau istri mau bekerja, berarti ia dianggap telah membantu suami dan harta yang diberikan bisa dianggap sedekah.
Diskusi di atas mencerminkan bagaimana pandangan kewajiban bekerja dalam rangka menjamin nafkah keluarga sangat lekat dengan laki-laki. Bahkan mereka yakini sebagai kodrat bagi laki-laki.
Hal ini –salah satunya- didasarkan pada dalil agama yang mereka yakini bahwa laki-laki dalam keluarga adalah pemimpin. Mereka dilebihkan oleh Allah.
Makna yang seperti ini-lah yang lekat dalam pikiran mereka. Bahkan, ketika hal itu berbenturan dengan kenyataan yang mereka jumpai.
Padahal, ada sejumlah kondisi di mana seorang laki-laki dalam keluarga tidak bisa bekerja karena faktor tertentu. Ada kalanya karena sakit, PHK, lain sebagainya. Di sisi lain,ada pula yang memilih tidak bekerja karena memang tidak mau bekerja.
Apa sih Kodrat itu?
Menurut KBBI, kodrat memiliki arti: kekuasan (Tuhan), hukum alam, dan sifat asli/bawaan. Kodrat pada dasarnya adalah hal-hal yang melekat pada diri seseorang sejak lahir.
Ia merupakan sesuatu yang bersifat alamiah, given, atau pemberian Tuhan, misalkan jenis kelamin manusia. Kodrat laki-laki memiliki jakun, dan perempuan memiliki rahim. Maka, tidaklah tepat mengatakan bahwa bekerja sebagai kodrat. Karena pada hari ini, kita bisa melihat bekerja dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Kodrat Laki-Laki dan Tafsir QS. al-Nisa’: 34
Di kalangan muslim, pandangan ini erat kaitannya dengan tafsir agama dan budaya yang masih patriarki. Salah satunya bagaimana penerimaan atas tafsir QS. Al-Nisa’: 34 di masyarakat. Ayat ini begitu populer dan cukup berpengaruh.
Banyak tokoh agama sering menyampaikan ayat ini untuk mengingatkan agar istri harus patuh kepada suami. Kepatuhan tersebut menjadi konsekuensi dari pemenuhan nafkah suami.
Jika merunut ke belakang, pandangan masyarakat dan tokoh agama tidak terlepas dari konstruksi tafsir ayat tersebut dalam kitab-kitab tafsir. Misal saja, Ibnu Katsir menafsirkan qawwam dengan pemimpin, kepala, yang menguasai, dan yang mendidik jika menyimpang.
Keutamaan ini didasarkan pada keyakinan bahwa laki-laki lebih afdhal (utama) dari perempuan. Kenabian (nubuwwah) pun hanya dikhususkan bagi kaum laki-laki. Mahar, nafkah, dan biaya-biaya lain yang Allah wajibkan, termasuk pula dalam keutamaan ini.
Quraish Shihab, menafsirkan bahwa suami memiliki hak memelihara, melindungi, dan menangani urusan istri. Karena sifat-sifat pemberian Allah yang memungkinkan mereka melakukan hal-hal yang ia lakukan itu. Dan kerja keras yang ia lakukan untuk membiayai keluarga.
Tafsir lengkap kemenag pun menafsirkan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah. Ia bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang menjadi istri dan yang menjadi keluarganya.
Semua tafsir atas ayat ini, secara seragam menegaskan pemenuhan nafkah pada tanggung jawab dan kewajiban laki-laki.
Mengapa Pandangan mengenai Kodrat Laki-Laki Begitu Mengakar Kuat di Masyarakat Kita?
Secara historis, hal ini cukup beralasan. Menurut Amina Wadud, sistem patriarkal bangsa Arab masa lampau memberikan keunggulan bagi laki-laki. Ia memiliki hak istimewa di depan publik, pengalaman, dan keunggulan lainnya. Oleh karena itu, ia menjadi cocok bekerja di arena politik dan finansial.
Secara budaya, peran gender yang terbangun dalam budaya patriarki membentuk laki-laki untuk menjadi makhluk yang logis, kuat, tangguh, dan pemberani. Hal ini sejalan dengan pandangan yang melekat kuat di benak sebagian besar orang tua bahwa kelak ia adalah pemimpin dalam keluarga.
Pandangan yang mengakar kuat dalam sistem patriarki ini semakin diperkuat dengan legitimasi tafsir agama. Terlebih dalam konteks Indonesia, di mana masyarakatnya kita kenal sebagai masyarakat yang religius. Agama –termasuk tafsir atasnya- menjadi kiblat dalam berkehidupan sehari-hari.
Maka tidak mengherankan jika pandangan bahwa “kodrat laki-laki adalah bekerja” begitu mengakar kuat dalam benak masyarakat.
Fleksibilitas Nafkah Keluarga : Bekerja sebagai Tanggung Jawab Bersama
Namun, kita perlu merumuskan ulang pandangan ini. Alimatul Qibtiyah (2019) menyatakan bahwa perubahan peran, tanggung jawab, dan relasi keluarga yang awalnya bersifat rigit dan subordinasi, saat ini lebih bersifat fleksibel dan setara. Akses untuk bekerja pun sama-sama terbuka lebar baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Faqihuddin A.Kodir dalam Qira’ah Mubadalah (2020) menawarkan pembacaan baru atas QS. Al-Nisa: 34. Ayat ini mengisyaratkan perintah untuk memastikan kebutuhan keluarga harus terpenuhi. Siapa yang harus menjamin hal ini? Dalam perspektif mubadalah, pemenuhan nafkah bersifat fleksibel.
Pada mulanya, Islam memang meminta laki-laki untuk menjamin nafkah keluarga. Begitu pula istri wajib mendapatkan nafkah dari laki-laki karena harus menjalankan amanah reproduksi (hamil, melahirkan, menyusui). Hanya saja, jika perempuan tidak sedang mengemban amanah ini, nafkah keluarga menjadi tanggung jawab bersama.
Jika suami yang mendapatkan rezeki lebih, maka ia lah yang punya kewajiban utama. Sebaliknya, istri pun bisa berkewajiban dalam pemenuhan nafkah keluarga, jika memang suami terhalang. Jika keduanya bekerja, maka kewajiban tertuju kepada keduanya. Tentu saja, setelah terlebih dahulu bermusyawarah berdasarkan komitmen bersama. []