Hukum agama yang sahih dan pikiran yang sehat mengakui pernikahan sebagai suatu hal yang suci. Jika diukur dengan neraca keagamaan, pernikahan menjadi dinding yang kuat untuk menjaga manusia dari dosa-dosa yang disebabkan oleh nafsu seksual di jalan yang haram.
Islam juga menganjurkan agar pernikahan mengandung manfaat, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat pada umumnya. Adapun di antara manfaat tersebut adalah untuk menentramkan jiwa dan menjaga kasih sayang antara suami istri.
Untuk menjaga ikatan akad tersebut tetap utuh dan meminimalisir masalah di kemudian hari, adakalanya calon mempelai melakukan perjanjian pernikahan atau nikah bersyarat, yakni ada syarat-syarat yang disepakati oleh kedua mempelai atau dari pihak keluarganya, yang bertujuan untuk kebaikan keduanya dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Yang dimaksud dengan ‘syarat’ disini adalah syarat-syarat yang berkaitan dengan ijab dan qabul. Maksudnya ijab akan terjadi, namun harus dibarengi dengan sebuah syarat. Dalam kitab Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq dijelaskan bahwa para ulama ahli fikih memberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Mereka berbeda pendapat mengenai adanya syarat yang digantungkan pada ijab kabul.
Menurut mayoritas mazhab menyebutkan bahwa, jika syaratnya benar dan sesuai dengan akad, serta tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat maka wajib dipenuhi. Namun sebaliknya, jika syaratnya rusak, tidak sesuai dengan akad, dan tidak dibolehkan oleh hukum syariat, maka akad nikahnya sah dan syaratnya batal dengan sendirinya.
Lantas bagaimana jika sebelum pernikahan berlangsung terdapat syarat yang diminta oleh salah satu pihak, misal syarat untuk tidak dipoligami. Kasus ini pernah populer dinarasikan oleh Habiburrahman el-Shirazy dalam novel dan filmnya ‘Ketika Cinta Bertasbih’ bahkan mungkin juga terjadi di masyarakat.
Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat para ulama. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa nikahnya sah, dan syarat ini ditiadakan dan suami tidak mesti memenuhinya. Ada juga yang berpendapat bahwa suami wajib untuk memenuhi janjinya kepada sang istri, dan jika tidak dilaksanakan maka terjadi fasakh dalam nikahnya.
Pendapat pertama dikemukakan oleh mayoritas mazhab, sedangkan pendapat kedua dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni. Ia berpendapat bahwa pernikahan yang memiliki syarat yang manfaatnya kepada istri, maka syarat itu harus dipenuhi oleh suami.
Seperti syarat istri tidak akan diusir dari kampungnya atau negaranya, tidak akan kawin lagi, dan tidak akan menyakitinya. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, maka istri dapat meminta fasakh terhadap suami. Hal ini juga sependapat dengan beberapa ulama lainnya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taymiyah, Sayid Sabiq, dan Wahbah az-Zuhaili.
Pendapat ini berdasarkan dalil Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 1 tentang kewajiban menepati janji. Juga terdapat pada surat Al-Isra Ayat 34, Surat An-Nahl ayat 91-92, dan hadist shahih yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir yang merupakan dalil khusus. Semuanya memiliki ‘illat sama, yakni menepati janji sebagai wujud tuntutan syara’.
Pendapat ini juga merupakan ijma’ yang tidak bertentangan dengan para sahabat. Ulama yang berpendapat wajib dipenuhi apa yang sudah disyaratkan kepada istrinya, diantaranya adalah Umar bin Khatab, Saad bin Waqqas, Muawiyah, Amru bin Ash, pendapat dari Syuraih, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Tawas, Al Auzai, Ishaq, dan golongan Hambali.
Adapun perbedaan pendapat dengan mayoritas madzhab disebabkan karena pertentangan dalil yang umum dengan yang khusus. Seperti pada hadist yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir yang merupakan dalil khusus sedangkan hadist Aisyah bersifat umum, dan keduanya merupakan hadits shahih riwayat Bukhârî Muslim.
Namun menurut paham yang masyhur dalam kalangan ulama ushul fiqh, dalam pertentangan tersebut seharusnya mempergunakan khusus dan mengalahkan yang umum, yakni memenuhi perjanjian yang disyaratkan itu.
Pada pernyataan jumhur ulama yang menolak dan mengatakan bahwa syarat ini mengharamkan yang halal, Ibnu Qudamah merespon bahwa syarat tersebut tidak mengharamkan yang halal. Namun syarat tersebut sebagai sebuah penetapan bagi perempuan untuk memiliki hak berpisah apabila syarat tersebut tidak dipenuhi.
Begitupun pada pernyataan mazhab Syafií: “Syarat tersebut bukanlah bagian dari kemaslahatan perkawinan.” Ibnu Qudamah menjawab bahwa pada dasarnya hal yang merupakan bagian dari kemaslahatan perempuan, bukan hanya kemaslahatan bagi yang berakad saja, akan tetapi kemaslahatan bagi akad itu sendiri.
Dari pemaparan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa seorang istri boleh dan sah saja mengajukan syarat untuk tidak dipoligami selama suami menyetujui syaratnya. Sepanjang tidak adanya pemasalahan, maka suami harus menepati syarat yang sudah disepakatinya, dan istri memiliki hak fasakh jika suami melanggar syaratnya.
Pernyataan tersebut juga dipahami bahwa suami mempunyai tanggung jawab kepada istrinya. Artinya, jika istri telah mensyaratkan kepada suami untuk menepati janji yang telah diucapkan pada waktu akad nikah, bila tidak ditepati, maka suami telah melanggar hak istri atau suami meninggalkan kewajibannya.
Syarat untuk tidak dipoligami juga sebenarnya sejalan dengan asas perkawinan di Indonesia yang monogami terbuka, yakni suami dianjurkan memiliki satu istri saja, kecuali jika diperbolehkan oleh istri pertama dan sesuai hukum agama serta memenuhi persyaratan tertentu yang disahkan oleh pengadilan agama.
Kembali ke hukum asal perjanjian perkawinan adalah mubah, maka perjanjian seperti ini sah saja dilakukan sepanjang disepakati bersama, juga bisa dibatalkan atas kesepakatan bersama. Dan ini dijadikan sebagai tindakan preventif untuk mengatasi terjadinya konflik sebelum melakukan pernikahan, sarana untuk meminimalkan (mempersulit) perceraian, menjamin hak-hak suami istri, dan melindungi mereka dari perlakuan diskriminatif dan sewenang-wenang laki-laki.[]