Mubadalah.id – Sebagai Negara yang menganut sistem demokrasi maka kita patut berbangga dan berbahagia akan diadakannya pesta demokrasi dan kontestasi politik dengan Pemilu di awal tahun 2024 tepatnya tanggal 14 Februari nanti.
Acara lima tahunan ini hendaklah dirayakan dengan suka cita dan bahagia karena Pemilu 2024 menjadi bukti berjalannya sistem demokrasi yang sesuai dengan amanat UU 1. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.”
Negara demokrasi memberikan ruang dan kedaulatan penuh kepada rakyat untuk ikut berpartisispasi dan memberi kontribusi bagi negeri tidak membedakan ras, bahasa, etnis dan suku, tidak memandang siapapun baik laki-laki atau perempuan.
Namun, dalam kenyataannya dilihat dari perkembangan sejarah politik Indonesia, kita harus menerima fakta bahwa keterwakilan perempuan dalam panggung politik harus terus kita perjuangan dengan semaksimal mungkin.
Seperti melansir dari laman dpr.go.id yang menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Salah satu indikatornya adalah tren peningkatan keterwakilan perempuan di Legislatif terutama sejak pemilihan umum (Pemilu) 1999. Hingga Pemilu terakhir pada 2009. Pada Pemilu 1999 (9%), Pemilu 2004 (11,8%), dan Pemilu 2009 (18%).
Bahkan hingga saat ini, pemerintah telah memberikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Hal ini bisa kita lihat dalam Pasal 10 Ayat (7) dan Pasal 92 Ayat (11) UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Tiga Hambatan Peran Perempuan di Ranah Politik di Pemilu 2024
Namun sayangnya, kuota 30% yang digagaskan pemerintah masih jauh dari target yang diinginkan. Hal ini dikarenakan perempuan masih mengalami berbagai hambatan saat ia ingin bergabung dalam politik. Berikut tiga hambatan peran perempuan di ranah politik:
Pertama, stereotip gender. Budaya yang selalu menempatkan laki-laki sebagai peran pertama dan menomor duakan perempuan telah melahirkan cara pandang bahwa politik itu identik dengan laki-laki. Sehingga muncul anggapan bahwa laki-laki lebih layak.
Budaya ini secara tidak langsung memberikan stereotip gender akan ketidakmampuan perempuan dalam politik dan memberi batasan bagi perempuan di lingkungan publik dan domestik.
Kedua, adanya hambatan yang hadir dari faktor internal Perempuan itu sendiri. Karena budaya patriarki, stereotip gender yang akibat konstruksi budaya di tengah masyarakat.
Hal inilah yang membuat banyak perempuan tidak percaya diri atas kemampuan diri mereka sendiri. Rasa percaya diri yang rendah hendaklah segala kita atasi dengan kemudahan akses pendidikan yang sama dengan laki-laki. Hal ini agar keterwakilan perempuan dalam perumusan kebijakan bukan sekedar impian. Namun bisa kita wujudkan secara penuh.
Ketiga, minimnya dukungan baik dari masyarakat sendiri atau pun dari partai politik saat ini. Perempuan seringkali kesulitan dalam meraih dukungan dan mendapatkan akses serta jaringan untuk meningkatkan karir politik mereka.
Mengutip dari Kompas.com untuk pemilu 2024 berdasarkan penelusuran Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) terhadap daftar calon tetap (DCT) yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), daftar calon anggota DPR dari 17 partai politik tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan (Dapil) yang diikuti.
Hal ini menjadi bukti bahwa masih rendahnya dukungan politik bagi perempuan sehingga memang pemenuhan kuota 30 % sulit terealisasikan.
Sebenarnya ini hanyalah sedikit gambaran akan banyaknya faktor yang menjadi hambatan perempuan dalam berpolitik. Karena masih banyak sekali faktor lain baik internal atau eksternal yang menghambat perempuan untuk berpolitik.
Dukungan Perempuan untuk Masuk Politik
Dengan beberapa hambatan di atas, sebaiknya mari kita selesaikan dan berikan dukungan kepada mereka agar para perempuan bisa masuk dalam politik. Karena perempuan juga memiliki peran penting dalam dunia politik.
Bahkan perempuan memiliki keterlibatan penting dalam merumuskan kebijakan negara agar sesuai dengan apa yang ia cita-citakan. Perempuan dengan segala keistimewaan dan pengalaman biologisnya akan memberikan pandangan berbeda dengan laki-laki yang akan memudahkan perumusan kebijakan yang berkeadilan.
Bahkan Islam mendukung perempuan dalam berpolitik Seperti dijelaskan dalam QS. at-Taubah ayat 71, bahwa laki-laki dan perempuan didorong untuk berkiprah dalam kerja-kerja yang dapat menghadirkan kebaikan (amar ma’ruf) dan menghindarkan keburukan (nahi munkar) dalam kehidupan, termasuk kehidupan berpolitik.
Sejalan dengan Islam, Jaringan Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengeluarkan Maklumat Ulama Perempuan Indonesia.
Dalam maklumat tersebut KUPI menegaskan bahwa perempuan sebagai warga negara yang mencakup separuh penduduk Indonesia merupakan subjek penuh dalam membangun kehidupan bangsa dan negara. Perempuan selalu hadir pada saat-saat genting untuk ikut menjaga dan merawat tanah air, warga dan anak bangsa.
Oleh karena itu, perspektif, kepentingan, kemaslahatan, dan keterwakilan perempuan merupakan keniscayaan yang tidak dapat diabaikan dalam seluruh aspek penyelenggaraan Pemilu, agar bermartabat dan berintegritas, sehingga dapat mewujudkan peradaban yang berkeadilan.
Dengan begitu, mari kita dukung karena melihat betapa pentingnya keterwakilan perempuan dalam ranah politik bukan saja untuk pengisi kursi kosong pemerintahan. Melainkan pengalaman biologis perempuan dapat menjadi perantara terwujudnya perumusan kebijakan yang berkeadilan. []