• Login
  • Register
Rabu, 9 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

Keberanian generasi muda untuk menegosiasikan ulang peran gender justru menandai harapan baru bagi pernikahan setara yang sakinah.

Dhuha Hadiyansyah Dhuha Hadiyansyah
08/07/2025
in Personal
0
Pernikahan Tradisional

Pernikahan Tradisional

253
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Hadis populer yang berbunyi, “Kalau seandainya aku memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan istri sujud kepada suaminya” (HR. Tirmidzi & al-Hakim), sering dikutip untuk menegaskan otoritas mutlak suami atas istri.

Padahal, konteks kemunculan hadis (asbab al-wurud) itu adalah respons Nabi saw terhadap Mu‘adz bin Jabal yang ingin bersujud kepada beliau. Meniru tradisi umat lain kepada pemuka agamanya. Tafsir yang mengabaikan konteks ini menjadikan hadis tersebut sebagai palu gada untuk melanggengkan relasi kuasa dalam rumah tangga. Apalagi bertambah dengan tafsir surat Annisa ayat 34.

Narasi tersebut bukan hanya ada di Islam. Bibel, misalnya, juga memuat seruan serupa. “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kamu tunduk kepada Tuhan” (Efesus 5:22). Maka tak mengherankan bila gagasan kesetaraan dalam pernikahan sering dianggap menyimpang—sebuah gagasan yang dianggap melawan arus utama dan mengguncang tatanan yang selama ini kita anggap sakral, terutama oleh kelompok konservatif.

Sederet Tantangan

Ketika sudah memiliki kesadaran berbasis gender, pasangan bukan berarti sudah selesai dengan praktik kesetaraan. Setelah akad, masih ada sejumlah tantangan berbasis gender yang bisa menjerumuskan pasangan ke dalam pernikahan tradisional.

Banyak pasangan, terutama istri, akan terseret ke dalam pola relasi yang ditentukan oleh konstruksi gender tradisional ketika tinggal bersama orang tua atau mertua yang masih memegang teguh pola lama.

Baca Juga:

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

Tastefully Yours : Membongkar Konstruksi Sosial dari Dapur

Multitasking itu Keren? Mitos Melelahkan yang Membebani Ibu Rumah Tangga

Keluarga Maslahah Mengemban Fungsi Sosial Lebih Luas

Dalam situasi seperti itu, ruang negosiasi menjadi sempit. Sehingga pasangan sulit berkelit dari nilai-nilai konservatif. Oleh sebab itu, tinggal terpisah dari keluarga asal bisa menjadi pilihan strategis untuk membuka kemandirian dalam pengelolaan rumah tangga.

Keputusan untuk memiliki anak juga sering kali menarik pasangan masuk kembali ke pola lama. Tekanan sosial-kultural, harapan keluarga besar, serta narasi pengasuhan tradisional. Di mana perempuan otomatis mereka anggap lebih siap mengurus anak. Sehingga mengikis peluang untuk membangun peran yang setara. Maka, penting untuk membicarakan visi pengasuhan bahkan sejak sebelum menikah.

Stereotip Gender dalam Keluarga

Budaya populer pun masih akan turut andil memperkuat stereotip gender dalam keluarga. Narasi tentang sifat laki-laki yang rasional dan perempuan yang emosional atau pria kerja di luar dan perempuan di rumah terus direproduksi. Lantas menciptakan pembenaran bahwa kesetaraan bukanlah hal yang alami. Dalam konflik rumah tangga, narasi ini sering menjadi alasan untuk menolak pembagian tugas domestik secara adil.

Bagi sebagian suami, kesetaraan bisa mereka anggap sebagai ancaman terhadap konsep kejantanan/maskulinitas. Aktivitas domestik seperti memasak atau menidurkan bayi dianggap akan menggerogoti kejantanan. Apalagi menyaksikan tetangga yang setiap saat bisa mancing atau main futsal, tanpa terbebani tugas domestik dan parenting.

Selanjutnya, ketika istri mulai mengusulkan relasi yang setara, respons yang muncul kerap berupa penolakan pasif-agresif. Diam, defensif, mengkritik, bahkan merendahkan gagasan itu dengan membawa-bawa dalih agama. Dalam sejumlah kasus, agama menjadi tameng untuk mempertahankan ketimpangan, bukan sebagai jalan menuju keadilan dan kesejahteraan bersama.

Pernikahan yang Setara

Sejumlah tantangan di atas perlu kita mitigasi, terutama sebelum akad terjadi. Pernikahan yang setara berarti menolak dominasi atau otoritarianisme atas nama jenis kelamin. Prinsip kesetaraan berperan melindungi orang dari berbuat zalim sekaligus menjadi korban dari kezaliman. Dengan prinsip ini, suami akan terlindung dari sikap tangan besi seperti Firaun, dan istri akan terlindungi dari kemungkinan menjadi korban KDRT.

Kesetaraan dalam hubungan adalah kebutuhan fitri untuk menjaga kesehatan jiwa kedua belah pihak. Relasi yang setara adalah kunci hubungan yang mesra. Prinsip mubadalah adalah tawaran nyata relasi yang berkeadilan.

Tentu, menggeser paradigma seperti ini berarti menggoyahkan identitas lama tentang maskulinitas dan feminitas. Namun, keberanian generasi muda untuk menegosiasikan ulang peran gender justru menandai harapan baru bagi pernikahan setara yang sakinah. []

Tags: Keluarga MaslahahPeran GenderPernikahan SetaraPernikahan TradisionalStereotip
Dhuha Hadiyansyah

Dhuha Hadiyansyah

Dosen pada Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) dan fasilitator Sekolah Pernikahan

Terkait Posts

Menemani dari Nol

From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

7 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Hidup Tanpa Nikah

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

5 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Nikah Massal

    Menimbang Kebijakan Nikah Massal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menggugat Batas Relasi Laki-Laki dan Perempuan di Era Modern-Industrialis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Ulama Perempuan yang Membisu dalam Bayang-bayang Kolonialisme Ekonomi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perjanjian Pernikahan
  • Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional
  • Kemanusiaan sebagai Fondasi dalam Relasi Sosial Antar Manusia
  • Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak
  • Meruntuhkan Mitos Kodrat Perempuan

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID