Mubadalah.id – Di tengah padang Arafah, di sebuah tempat bernama Namirah, sejarah mencatat sebuah momen yang sangat penting dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw.
Pada hari itu, di tahun ke-10 Hijriah, tenda besar telah didirikan atas permintaan Nabi sebagai tempat beristirahat sejenak menjelang waktu zuhur. Ketika matahari tergelincir ke arah barat, beliau menaiki kembali untanya dan menuju lembah Uranah.
Di sanalah, di hadapan lebih dari 100 ribu umat Islam yang berkumpul. Beliau menyampaikan khutbah perpisahan, khutbah yang kemudian kita kenal sebagai Khutbah Haji Wada’.
Dalam khutbah yang sarat nilai-nilai kemanusiaan itu, Nabi Saw. menyampaikan pesan-pesan universal yang melintasi zaman.
“Wahai manusia sekalian, perhatikan kata-kataku ini, barangkali sesudah tahun ini dan dalam keadaan seperti aku tidak lagi akan bersama kalian. Ketahuilah bahwa darah dan harta benda kalian adalah suci bagi kalian seperti sucinya hari ini dan di bulan ini sampai masanya kalian menghadap Tuhan,” demikian sabda Nabi Saw.
Namun, di balik pesan-pesan besar tentang keadilan sosial dan penghormatan terhadap nyawa dan harta, ada satu bagian penting yang sering kali terlewat yakni pesan Nabi tentang perempuan. Di hadapan para sahabatnya yang sebagian besar adalah laki-laki, Nabi menegaskan,
“Aku ingatkan kalian, hendaklah kalian perlakukan istri-istri kalian dengan baik, karena kalian menganggap mereka seperti tawanan. Kalian tidak punya hak atas mereka kecuali melakukan kebaikan itu.”
Pesan itu tidak hanya beliau sampaikan saat Haji Wada’. Menurut KH. Husein Muhammad, bahkan menjelang wafatnya, Nabi Saw. mengulangi kembali seruan yang sama. Dalam hadits yang dari sejumlah sahabat, menyebutkan bahwa pada detik-detik terakhir kehidupannya, dengan suara yang pelan dan tersendat, Nabi berkata:
“Perhatikanlah shalat, perhatikanlah shalat, perhatikan hamba sahaya kalian, dan janganlah kalian membebani mereka di atas kesanggupannya. Perhatikan pula dengan sungguh-sungguh istri-istri kalian. Kalian menganggap mereka seperti tawanan. Kalian mengambil mereka berdasarkan amanat Allah dan tubuh mereka menjadi halal atas dasar kalimat Allah.”
Revolusi Sosial
Ini bukan sekadar wasiat. Ini adalah revolusi sosial dalam struktur masyarakat Arab saat itu yang sangat patriarkal, di mana perempuan kerap diposisikan sebagai properti laki-laki. Nabi Saw. hadir justu membalik pandangan itu. Perempuan tidak boleh diperlakukan sebagai budak atau tawanan, mereka adalah amanah dari Allah, yang harus diperlakukan dengan kasih sayang, penghormatan, dan keadilan.
Pesan ini sangat relevan hingga hari ini. Bahkan ketika angka kekerasan dalam rumah tangga masih tinggi, ketika praktik peminggiran terhadap perempuan masih terjadi dalam ruang-ruang domestik maupun publik, seruan Nabi ini layak kita sampaikan kembali: Perlakukanlah istri-istri kalian dengan baik. Mereka adalah amanat Tuhan.
Pesan terakhir seorang Nabi bukan hanya refleksi spiritual, tetapi juga kompas moral bagi peradaban. Dan di dalamnya, perempuan berada pada posisi yang mulia, bukan subordinat. Oleh karena itu, kita, umat yang mengaku mengikuti ajarannya, tentu harus benar-benar mendengarkan dan mengamalkannya. []