Mubadalah.id – Konsep makruf dalam pendekatan mubadalah menempatan laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang setara. Jika makruf dimaknai sebagai kebaikan yang diterima oleh masyarakat, maka penerimaan tersebut harus mencerminkan pengalaman baik laki-laki maupun perempuan.
Karena kebaikan tidak boleh hanya dinilai dari perspektif laki-laki semata, tetapi harus melibatkan suara, pengalaman, dan penerimaan perempuan secara utuh.
Demikian pula ketika makruf yang kita pahami sebagai tradisi dan kebiasaan baik. Maka tradisi itu mesti lahir dari keseharian dan pengalaman hidup perempuan, sebagaimana juga dari laki-laki. Ini penting, agar nilai-nilai kebaikan tidak timpang dan bias gender.
Dalam konteks ini, pendekatan mubadalah juga merefleksikan pentingnya kerangka maqâshid syarî‘ah—tujuan-tujuan dasar syariah—yang terdiri dari lima prinsip perlindungan: jiwa (hifz an-nafs), akal (hifz al-‘aql), harta (hifz al-mâl), keturunan/kehormatan (hifz an-nasl), dan agama (hifz ad-dîn).
Kelima prinsip ini dalam kerangka mubadalah harus benar-benar menyentuh dan melindungi perempuan, bukan hanya laki-laki. Artinya, perlindungan itu harus berdasarkan pada pengalaman riil perempuan, bukan sekadar asumsi atau tafsir dari sudut pandang laki-laki.
Salah satu ayat yang menunjukkan konsep makruf adalah QS. an-Nisâ’ (4):19. Dalam pendekatan mubadalah, ayat ini tidak hanya memerintahkan suami untuk memperlakukan istrinya secara baik. Tetapi juga sebaliknya istri pun harus memperlakukan suaminya dengan kebaikan yang setara.
Lebih dari itu, ayat ini bisa kita maknai sebagai ajakan kepada pasangan suami istri untuk membangun relasi yang saling memperhatikan, saling memahami, dan saling berbuat baik berdasarkan perasaan, harapan, serta pengalaman masing-masing.
Dengan pendekatan seperti ini, makruf tidak menjadi konsep yang maskulin. Tetapi hidup dan terus berkembang bersama kesalingan yang adil antara laki-laki dan perempuan. []