Di sana tempat lahir beta. Dibuai dibesarkan bunda. Tempat berlindung di hari tua. Tempat akhir menutup mata. -Indonesia Pusaka-
Mubadalah.id – Berkali-kali mendengarkan atau menyanyikan lagu Indonesia Pusaka, terutama di bagian reff, terasa hingga ke relung hati yang paling dalam. Cinta kita pada negeri ini, tak pernah terbantahkan. Meski berkali-kali dikhianati para pejabat tinggi, harus kita akui cinta tanah air selalu di hati.
Ya, refleksi itu yang akhirnya aku dapatkan selepas mengikuti kegiatan lomba Agustusan dalam rangka memeriahkan Hari Kemerdekaan ke-80 tahun Indonesia di latar Fahmina pada Selasa, 19 Agustus 2025. Lomba tersebut diiikuti oleh empat lembaga, antara lain Yayasan Fahmina, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), SD Holistik Awliya Fahmina (SHAF) dan Mubadalah.id.
Ada lima kategori lomba, antara lain sebrang sungai, estafet sarung, voli air, bola terong dan paku botol. Keseruan lomba nampak dalam setiap sesi, masing-masing lembaga menunjukkan performa terbaiknya.
Kepanitian yang dikomandoi oleh Abdulloh, atau yang akrab aku sapa Bang Dul telah berhasil menyatukan kebersamaan empat lembaga, di mana sebelumnya hanya sebatas wacana. Dalam momentum lomba Agustusan ini menjadi titik awal bagaimana menguatkan mimpi-mimpi Fahmina di tahun-tahun mendatang.
Saatnya Anak Muda Memimpin!
Menarik jika kita mengaitkan lomba Agustusan di Fahmina dengan usianya yang kini jelang 25 tahun. Usia yang cukup matang bagi sebuah lembaga NGO dan non profit di salah satu kota di Jawa Barat. Ya, Fahmina tidak lahir di ibu kota Jakarta, atau ibu kota provinsi seperti Bandung. Meski demikian, hingga 25 tahun usianya kini, Fahmina tetap eksist menunjukkan kiprahnya di masyarakat. Tak hanya di Indonesia, tetapi juga dunia.
Memahami realitas itu, aku jadi teringat saat menonton serial One Piece di saluran berbayar Netflix. Di mana terjadi dialog antara kepala koki restoran terapung Zeff dengan kakek Monkey D. Luffy yakni Monkey D. Garp, seorang Wakil Laksamana Angkatan Laut. “Masa kita sudah lewat, sekarang giliran anak-anak muda.”
Aku sendiri tidak menafikan figur para pendiri Yayasan Fahmina, yang selama ini begitu kuat patronasenya. Sering aku menyebut beliau dengan julukan trio Fahmina, yaitu KH Husein Muhammad, KH Faqihuddin Abdul Kodir dan KH Marzuki Wahid, yang saat lomba Agustusan berlangsung beliau-beliau tidak nampak hadir.
Namun aku juga percaya kiblat pemikiran mereka masih belum tergantikan, dan sampai kapanpun kita semua masih membutuhkannya. Mungkin perlu proses yang panjang untuk transformasi pengetahuan dari para perintis kepada para pewaris peradaban agar terus berkelanjutan.
Menurutku, tidak hanya semangat beliau-beliau dalam menyalakan lentera kemanusiaan, tetapi juga ghirah dalam ilmu pengetahuan dan keagamaan untuk merawat tradisi dan konsistensi gerakan bersama komunitas.
Perubahan Zaman
Indonesia telah merdeka 80 tahun, dan usia Fahmina di tahun ini juga telah menginjak 25 tahun. Perubahan itu niscaya, meski di hari-hari terakhir kita seakan resah dan gelisah dengan fenomena sosial, politik serta ekonnomi yang terus menggerus kepercayaan kita terhadap para pemimpin negeri ini.
Konon ada yang dinamakan zaman edan Ronggowarsito, yakni zaman Kalabendu yang muram yang menunjukkan kehancuran kualitas manusia itu sendiri. Sebagaimana yang Goenawan Mohamad tuliskan dalam buku “Setelah Revolusi Tak Ada Lagi.”
Beberapa kali orang yang alim dan suci, menurut Goenawan Mohamad atau yang kerap kita sapa GM, mengeluh tentang proses pembusukan di sekitarnya. Namun beberapa kali pula sudah sejarah menunjukkan kebangkitan kembali manusia, tanpa ia menjadi sesuatu yang lebih dari dirinya.
Semoga harapanku tak berlebihan, kelak Fahmina pun akan mampu menorehkan sejarahnya sendiri di paska usia 25 tahun mendatang.
Lomba Agustusan sebagai Pemantik Kemajuan
Mungkin nampak berlebihan menjadikan momen lomba Agustusan Fahmina kemarin sebagai pemantik kemajuan lembaga, tapi aku optimis. Apalagi jika menilik penjelasan GM, masih dalam buku yang sama, bahwa progres atau kemajuan memang tak selalu nampak tapi juga bukan suatu omong kosong.
Salah satu kesimpulan yang arif, meskipun tidak cemerlang dari Will dan Ariel Durant, ketika mereka memberi epilog bagi kesebelas jilid karyanya mengenai sejarah peradaban. “Kita tak boleh menuntut kemajuan sebagai sesuatu yang terus menerus dan berlaku universal.”
Seperti halnya individu yang mengalami kegagalan, sakit dan kemunduran, juga sebagai sebuah bangsa, sebuah kelompok, dan atau satu kaum sebagaimana Fahmina. Sementara itu, berbagai perbaikan bisa kita tampilkan, yang berlaku tidak hanya di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.
Jadi, betapapun terasanya kesewenang-wenangan di sekitar kita hari ini, dalam konteks berbangsa dan bernegara, kita tetap akan menampik bila harus kembali hidup misalnya di zaman zalim Amangkurat Mataram. Tentu situasi dan kondisi Indonesia hari ini jauh lebih baik dibandingkan masa itu.
Akan tetapi, bolehlah kita terus menggantang harap, dan memanjangkan asa. Sepelik apapun tantangan di depan mata, Fahmina dan seluruh lembaganya akan terus mengada dan jaya. Semoga! []