Mubadalah.id – Crowdfunding dalam bahasa Indonesia berarti urun dana. Secara umum crowdfunding merupakan penggalangan dana suatu usaha, proyek, atau donasi yang melibatkan masyarakat di jejaring internet. Tidak heran, konten-konten crowdfunding bisa kita temukan di berbagai platform, instagram, TikTok, Youtube, X, hingga di website.
Crowdfunding biasanya dilakukan oleh seseorang atau platform untuk menyalurkan bantuan dari masyarakat yang tertarik dengan ide atau usaha yang sedang mereka jalankan. Inilah pengaruh media sosial yang memudahkan menjangkau dan membantu satu sama lain.
Jenis-Jenis Crowdfunding
Secara umum tadi crowdfunding adalah kegiatan penggalangan dana di jejaring internet. Nah, ada empat jenis crowdfunding yang bisa kita ketahui, yaitu :
Pertama, Equity crowdfunding. Yaitu jenis pendanaan dengan memberikan saham kepada investor, biasanya terjadi ketika memulai bisnis dan membutuhkan suntikan dana yang banyak. Kedua, Donation Crowdfunding. Penggalangan dana untuk kebutuhan sosial, misalnya membantu orang sakit, korban bencana, pembangunan rumah sakit, termasuk bantuan pada difabel.
Ketiga, Reward Crowdfunding. Mirip dengan equity crowdfunding tetapi beserta penawaran uji coba produk dan penawaran khusus lainnya. Keempat, Debt Crowdfunding. Sejenis dengan peminjaman dana terbuka, melibatkan pebisnis, investor, dan platform. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa penggalangan dana untuk difabel masuk pada donation crowdfunding,
Kalau Narasinya Dramatis, Pasti Cepet Ramai
Kita pasti juga sering terbawa suasana dengan narasi yang dramatis, sedih, penuh perjuangan yang muncul di sosial media. Karena melibatkan emosional audience, konten-konten seperti itu cenderung ramai dan cepat viral. Apakah bagus? oh, tentu saja itu bagus; menunjukkan strategi konten akun tersebut berhasil berhasil.
Kalau kita geser ke topik difabel, kita bisa temukan tiga jenis utama konten melibatkan difabel; terutama instagram dan TikTok. Pertama, Difabel sebagai subjek konten di platform media sosial sendiri. Contohnya mereka sharing seputar difabel, konten menunjukkan skill make up, masak, musik dan lain-lain.
Kedua, konten edukasi dari instansi atau NGO yang menyuarakan isu-isu difabel. Ketiga, Konten crowdfunding (galang dana) atau berbagi kepada difabel.
Mengutip dari keterangan Ibu Ainun Chomsun pada konsolidasi online akademi Mubadalah beberapa waktu lalu, strategi agar konten ramai adalah membuat narasi yang menggugah. Saat ini masyarakat lebih gemar menonton video-video pendek dengan isi konten yang autentik dan menyentuh hati.
Pada konteks difabel, sejak dulu sering kita temukan banyak platform yang menerapkan strategi ini; membuat narasi yang menyentuh hati untuk menggalang donasi. Contohnya ada salah satu platform crowdfunding yang mengunggah video tiktok memperlihatkan difabel dua bersaudara difabel tuna daksa yang sedang berjualan.
Video tersebut juga berisi narasi kehidupan difabel .yang menjadi korban bullying, menceritakan struggle finansial hingga kesusahan untuk makan. Unggahan tersebut menggunakan fitur sponsor yang memungkinkan menjangkau lebih banyak orang untuk terlibat dalam donasi.
Setelah saya amati konten-konten serupa, ramai sekali komentar dari netizen. Konten tersebut tak jarang mendapat engagement yang tinggi sekaligus membuka peluang lebih banyak mereka memperoleh donasi untuk difabel. Hal ini tentu berdampak baik bagi difabel yang mendapatkan bantuan, tetapi apakah cara seperti ini sesuai dengan etika bermedia sosial dengan difabel?
Etika Produksi Konten dengan Difabel yang Sangat Subyektif
Setelah pemaparan materi dari Ibu Ainun, saya sempat mengutarakan keresahan terkait produksi konten-konten donasi yang melibatkan tereksposnya difabel. Wajah, nama, jenis difabel, bahkan hingga kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik dengan untuk meraup donasi; atau setidaknya engagement yang tinggi.
Benar saja, ternyata hal ini menjadi suatu dilema bagi pegiat isu disabilitas. Bagaimana bisa tetap mengkampanyekan isu-isu difabel di media sosial tanpa merugikan satu pihak. Bu Ainun menjelaskan kaitannya dengan produksi konten donasi bahwa perlu story telling yang pintar untuk menggerakkan donasi masyarakat.
Story telling yang bagus yaitu tanpa merendahkan atau melemahkan difabel. Tidak perlu berlebihan dan mendramatisir cerita, apalagi jika kehidupan difabel tersebut sebenarnya tidak separah itu; hanya dilebih-lebihkan.
Jika berbicara tentang etika bermedia sosial dengan difabel, standar utamanya adalah seorang difabel yang kita bagikan kontennya ke media sosial apakah merasa terganggu atau tidak. Ya, batas ini memang sangat subyektif, tapi begitulah seharusnya konten kreator menjaga agar konten yang dia produksi tidak menyinggung atau merugikan satu pihak tertentu.
Bagaimanapun, consent memang sangat penting bahkan tidak hanya pada konten difabel, melainkan secara umum. Ibu Ainun mengingatkan bahwa dalam bermedia sosial, kita harus tetap menjaga moral. Ketika memperjuangkan isu difabel, tidak perlu menghalalkan segala cara hanya demi tercapai tujuan pribadi, bukan tujuan bersama berupa kesejahteraan difabel.
Difabel Bukan Hanya Butuh Bantuan Materi
Setelah mengulas tentang konten crowdfunding berupa penggalangan donasi, kita perlu ingat, bahwa memperjuangkan isu difabel tidak hanya seputar memberikan bantuan materiil yang sangat rawan pada narasi yang melemahkan difabel. Konten kreator atau platform crowdfunding bisa menggunakan strategi lain untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu menyalurkan bantuan kepada difabel.
Misalnya bisa menggunakan strategi memperkenalkan bakat dan skill difabel lewat media sosialnya, sehingga masyarakat tergerak untuk membantu memberdayakan difabel. Di media sosial instagram, TikTok, dan Youtube juga saya temukan beberapa konten kreator difabel dengan jenis konten yang beragam. Konten kreator besar atau crowdfunding bisa melakukan collab dengan mereka untuk bantu menaikkan engagement mereka.
Bantuan materi memang bagus dan tidak ada salahnya. Yang terpenting adalah bagaimana konten kreator seharusnya tidak membuat narasi yang melemahkan difabel, menganggapnya tidak berdaya, mendramatisir demi tercapainya bantuan materi. Hal ini berpotensi memperjauh gap antara difabel dengan non difabel, padahal seharusnya kita bergerak untuk memandang mereka dengan setara. []










































