Mubadalah.id – Indonesia adalah negeri yang kaya dengan tanah dan sumber daya alamnya. Namun, ironisnya kasus agraria menjadi kasus serius yang cukup menghantui di Indonesia. Fakta ini menjadi luka yang tak kunjung sembuh. Dari Jawa hingga tanah Papua, kesuburan tanahnya terjarah, dirusak kemudian ditinggal begitu saja tanpa memberi kejelasan dan menyisakan pertanyaan. “Siapa yang bertanggungjawab akan kerusakan alam ini?”.
Bahkan, petani hingga masyarakat adat sudah menjelma menjadi suara-suara yang melawan. Namun, hasil nyatanya adalah suara perlawanan tersebut menyisakan senyap karena terbungkam. Ruang hidup mereka terampas dan kita saat ini hidup di tengah konflik agraria yang semakin memanjang dan memanas.
Data konflik agraria di Indonesia, menunjukkan angka yang terus naik tiap tahunnya. Hal ini diperkuat dengan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mencatat bahwa terdapat 241 kasus pada tahun 2023. Lalu pada tahun 2024 meningkat menjadi 295 kasus. Sektor yang paling banyak memicu konflik adalah perkebunan (terutama sawit), pertambangan, dan proyek pembangunan infrastruktur nasional (PSN).
Dampaknya sangat luas, melibatkan jutaan hektare lahan dan ratusan ribu kepala keluarga. Selain itu sering disertai dengan kekerasan, kriminalisasi, dan bahkan pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat. Salah satu pelanggaran hak asasi manusia terbesar dalam konflik agraria di sejarah Indonesia berasal dari kota kecil di Jawa Timur, Lumajang. Kasus tersebut dikenal dengan nama kasus Salim Kancil yang terjadi pada tahun 2015 silam.
Kasus Salim Kancil dan Simbol Perlawananan Warga
Tahun 2015, nama Salim Kancil mencuat di media nasional, bahkan hingga media internasional juga turut meliputnya. Ia bukanlah seorang politikus, bukan pula aktivis besar. Ia tidak punya pengikut, tidak punya panggung politik, tidak bersenjata, tidak pula memegang jabatan dan kekuasaan di pemerintahan. Ia hanya seorang petani kecil yang hidupnya bergantung pada tanah dan sawah. Ia terbunuh karena dua hal, pertama terlalu berani dan kedua, benar. Ia terbunuh karena benar.
Salim Kancil meregang nyawa di tangan para suruhan kepala desanya sendiri, karena ia menolak adanya pertambangan pasir ilegal di desanya. Keyakinan bahwa tanah adalah sebuah kehidupan, yang berarti membela tanah adalah sebuah upaya membela masa depan anak cucu.
Kronologi kejadian yang memilukan tersebut terjadi pada 26 September 2015 pada pagi hari. Bertempat di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Sebelum Salim Kancil terbungkam dengan dibunuh, dia terkenal sebagai sosok yang keras dan tak kenal menyerah. Perjuangannya baru berhenti saat dia terbunuh oleh sekelompok orang di Balai Desa Selok Awar-Awar.
Aksi Salim sebenarnya sudah terhalangi termasuk oleh istrinya sendiri, tetapi dia bersikeras menentang penambangan pasir yang ia khawatirkan merusak kelestarian alam. Sehari-hari, Salim adalah petani yang sekaligus menjadi pemilik lahan sekitar lokasi penambangan di pesisir pantai selatan Watu Pecak.
Hingga pada suatu hari, Salim mendapati 8 petak lahannya hancur akibat tambang pasir ilegal. Salim menduga tambang tersebut terkelola oleh tim 12 yang merupakan mantan tim kampanye kepala desa mereka, Haryono, yang di kemudian hari terseret dalam perkara ini.
Beralih Profesi Menjadi Nelayan
Salim yang menjadi tulang punggung keluarga kebingungan. Ia bingung lantaran lahan pertanian sebagai mata pencaharian sudah tidak dapat ia harapkan kembali untuk menghidupi keluarganya. Sehingga penghasilannya semakin menurun drastis. Untuk memenuhi kebutuhan, akhirnya Salim memutuskan beralih profesi menjadi nelayan.
Sadar bahwa ia tak mungkin bertahan hanya dengan menjadi nelayan dadakan, Salim pun mulai mengunjungi rumah teman-temannya di malam hari. Dia berhasil merekrut lima orang warga. Dari situlah perlawanan ia mulai secara diam-diam karena khawatir aktivitas mereka diketahui oleh Tim 12.
Salim mulai aktif, dan rajin surat-menyurat dengan pihak keamanan, pemerintah kabupaten, provinsi, sampai ke Jakarta. Tujuannya bulat, dia memperjuangan hak hidup sebagai warga negara Indonesia, apalagi apa yang menimpa dia juga sama dengan warga pemilih lahan di lokasi tambang ilegal.
Perlawanan Salim yang semakin nyata membuat penambang ilegal yang ‘diamankan’ oleh tim 12 mulai gusar. Ancaman dan intimidasi pada Salim pun mulai berdatangan. Bahkan di pertengahan bulan Ramadan tahun itu, salah satu pimpinan mantan tim 12 yang juga Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan, Desir, mendatangi rumah Salim.
Khawatir dengan keselamatan suaminya, istrinya kemudian meminta Salim untuk berhenti memperjuangkan lahan pertanian yang dirusak tambang. Namun, semangat untuk memperjuangkan hak hidup dan menolak tambang justru semakin membesar. Kemudian Salim Kancil melaporkan intimidasi dan ancaman pada petani yang menolak tambang ke Kepolisian Sektor Pasirian. Kemudian ia teruskan ke Kepolisian Resor Lumajang, tetapi tidak ada tindakan.
Gerakan Advokasi
Melansir dari Wikipedia, kronologi lengkap peristiwa tragis tersebut bermula dari nihilnya tanggapan aparat Kepolisian Resor Lumajang yang kemudian mendorong Salim untuk membentuk sebuah Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-awar yang terdiri dari 12 warga. Yakni Salim Kancil, Tosan, Iksan Sumar, Ansori, Sapari, Abdul Hamid, Turiman, Muhammad Hariyadi, Rosyid, Mohammad Imam, Ridwan dan Cokrowidodo.
Mereka mulai melakukan gerakan advokasi protes perihal penambangan pasir yang mengakibatkan rusaknya lingkungan di desa Selok Awar-awar. Yaitu dengan cara bersurat kepada Pemerintahan Desa Selok Awar-Awar, Pemerintahan Kecamatan Pasirian bahkan kepada Pemerintahan Kabupaten Lumajang. Kemudian, pada Juni, kelompok ini menyurati Bupati Lumajang As’at Malik untuk meminta audiensi tentang penolakan tambang pasir, tapi tidak mendapatkan tanggapan.
Pada 9 September 2015, FORUM melakukan aksi damai dengan cara memberhentikan aktivitas penambangan pasir dan truk muatan pasir di Balai Desa Selok Awar-Awar. Lalu menghasilkan surat pernyataan dari Kepala desa Selok Awar-Awar untuk menghentikan penambangan pasir.
Pada hari yang sama, Salim dan warga yang menolak tambang pasir tersebut mengaku mendapat ancaman pembunuhan. Menurut mereka pengirimnya adalah tim 12 yang diketuai Desir. Warga melaporkannya kepada aparat, tapi sekali lagi, tidak mendapatkan tanggapan.
Kemudian pada 25 September 2015, FORUM merencanakan aksi penolakan tambang pasir di hari Sabtu, 26 September pukul 07:30 pagi. Pada 26 September 2015, Tosan, rekan Salim, mulai aksi pada pukul 07:00 dengan menyebar selebaran aksi damai tolak tambang di depan rumahnya bersama Imam.
Kemudian ada satu orang yang melintas dan membaca selebaran tersebut sambil memarahi Tosan dan Imam. Enam puluh menit kemudian, banyak orang mendatangi rumahnya. Salim diseret ke Balai Desa dan teraniaya hingga meninggal dunia.
Vonis Pembunuhan Salim Kancil
Dua orang pelaku utama pembunuhan Salim Kancil telah divonis bersalah dengan hukuman 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis 23 Juni 2016. Mantan Kepala Desa Selok Awar-awar, kecamatan Pasirian, kabupaten Lumajang, Jatim, Hariyono dan Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) setempat, Mat Dasir dinyatakan terbukti bersalah melakukan pembunuhan secara berencana.
Atas putusan tersebut, tim kuasa hukum dari Salim Kancil menilai ada upaya untuk menyederhanakan kasus pembunuhan terhadap Salim dan penganiayaan terhadap rekannya, Tosan. Hal ini terbukti melalui dakwaan yang dikenakan terhadap para tersangka hanya terjerat dengan pembunuhan biasa, bukan pembunuhan berencana.
Padahal pembunuhan terhadap Salim dan penganiayaan terhadap Tosan harus dilihat sebagai rangkaian panjang perlawanan keduanya terhadap praktik mafia tambang pasir ilegal di Lumajang. Selain itu, jika terlihat dari jumlah terdakwa yang Polda Jawa Timur tetapkan hanya 35 orang yang terbagi dalam 15 berkas perkara sidang. Pihak tim kuasa hukum juga sudah melaporkan keterlibatan 13 orang yang masih bebas kepada Polda Jawa Timur bahkan ke Mabes Polri.
Peristiwa Salim Kancil tersebut berhasil melahirkan banyak gerakan solidaritas yang hingga kini mengatasnamakan keadilan untuk Salim Kancil, melalui petisi, gerakan massa, dan penyebaran poster melalui berbagai media. Mereka menuntut diadilinya orang-orang yang harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Salim Kancil. Namun, sayangnya peristiwa tragis Salim Kancil tidak cukup berhasil membangun ketakutan untuk merusak dan menjarah alam.
Hari ini di tempat yang kita juluki sebagai surga terakhir dunia milik Indonesia, Raja Ampat, yang bertempat di Papua Barat, masyarakat adatnya tengah terancam oleh ekspansi tambang, perkebunan, dan proyek-proyek yang sering kali datang tanpa persetujuan masyarakat lokal.
Wilayah yang seharusnya kita jaga karena nilai ekologis dan kulturalnya, justru diincar untuk tereksploitasi. Bahkan, masyarakat adat Papua kerap menghadapi kriminalisasi saat mereka menolak ekspansi tambang yang merusak tanah kelahiran mereka.
Darurat Konflik Agraria hingga Dalih Upaya Perluasan Lahan Pertanian
Konflik Agraria di Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir terus meningkat. Sejumlah konflik pertanahan tersebut berkaitan erat dengan upaya perluasan lahan pertanian. Indonesia yang berangan-angan menjadi negara berdaulat di sektor pangan nyatanya tidak luput dari masalah yang justru dinilai merugikan bagi sebagian masyarakatnya.
Reforma agraria yang kita gadang menjadi alat pendorong kesejahteraan masyarakat serta menumpaskan ketimpangan penguasaan sumber daya alam tampaknya belum sejalan dengan yang direncanakan. Indikasinya terlihat dari jumlah kasus konflik agraria justru terus meningkat. Selain itu masih banyak kasus yang belum menemukan ujung jalan penyelesaiannya.
Hasil pemantauan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan terdapat kenaikan jumlah kasus konflik agraria selama lima tahun terakhir. Tahun 2024 menjadi tahun dengan jumlah konflik terbanyak, yaitu mencapai 295 kasus atau naik 21,9 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan jumlah kasus ini juga mencakup tentang tindak kekerasan dan kriminalitas di wilayah konflik.
Meskipun jumlah konflik agraria sempat menurun saat wabah pandemi melanda, sayangnya pada periode berikutnya terjadi lonjakan kasus yang cukup signifikan. Alih-alih proses kepemilikan tanah dapat diredistribusikan dan pemberian pengakuan hak atas tanah bagi masyarakat, perampasan hak tanah justru meningkat pada masa pascapandemi.
Muncul sejumlah konflik terkait perebutan hak tanah atau pengelolaan sumber daya alam, baik oleh pemerintah maupun swasta terhadap masyarakat lokal. Peningkatan kasus sengketa lahan ini sejalan dengan mulainya program-program Proyek Strategis Nasional, salah satunya program food estate yang mulai pada tahun 2020-2024.
Sepanjang tahun 2024, konflik agraria di Indonesia mengalami peningkatan signifikan, terutama yang terpicu oleh sengketa di sektor pertanian secara luas—terutama dalam kegiatan budidaya perkebunan. Jumlah kasus yang tercatat melonjak dari 74 kasus pada 2021 menjadi 111 kasus pada 2024.
Lonjakan ini patut kita waspadai karena berpotensi kembali mencapai level tertinggi seperti yang pernah terjadi pada tahun 2016 dan 2017, di mana konflik agraria mencapai 163 kasus pada 2016 dan bahkan melonjak menjadi 208 kasus pada 2017.
Data Konflik Agraria
Berdasarkan pemantauan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dari total 111 konflik agraria di sektor perkebunan selama 2024, sekitar 67 persen di antaranya berkaitan langsung dengan industri perkebunan kelapa sawit.
Akibat konflik ini, sebanyak 127.280 hektare lahan yang 14.696 keluarga miliki terdampak secara langsung. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, sektor perkebunan secara konsisten menjadi penyumbang terbesar konflik agraria di Indonesia.
Kelapa sawit hingga kini tetap menjadi sektor yang paling rentan menimbulkan konflik agraria. Menurut laporan dari Auriga Nusantara, selain industri hutan tanaman, ekspansi bisnis sawit juga mengancam kelestarian kawasan hutan dan hak-hak masyarakat adat. Sepanjang 2024, deforestasi tercatat mencapai 37.483 hektare, dan sekitar 14 persen dari luasan tersebut teralokasikan untuk konsesi perkebunan sawit.
Selain sektor perkebunan, pembangunan infrastruktur juga menjadi penyumbang besar dalam statistik konflik agraria tahun 2024. KPA mencatat ada 79 kasus konflik lahan yang terpicu oleh proyek infrastruktur, menyumbang sekitar 26,8 persen dari total keseluruhan konflik agraria.
Banyak dari konflik ini berkaitan dengan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Setidaknya tercatat 36 kasus sengketa yang terjadi dalam kerangka program PSN tahun lalu. Umumnya berkaitan dengan pengadaan tanah untuk proyek-proyek seperti kawasan industri, kota baru, destinasi wisata, bendungan, bandara, hingga kawasan energi terbarukan.
Keterlibatan Aparat Negara
Ironisnya, dalam setiap konflik itu terdapat keterlibatan aparat negara yang dinilai lebih condong membela investor ataupun kepentingan pemerintah. Akibatnya, menimbulkan rasa takut bagi masyarakat sehingga lahan yang mereka tempati atau miliki tak lagi mereka kuasai.
Bahkan, secara legalitas, masyarakat rentan kehilangan status kepemilikannya karena tak mampu menandingi tekanan kekuatan yang sangat besar dari pihak luar, termasuk dari pihak aparat seperti Kepolisian dan TNI.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memantau banyak terjadi keterlibatan aparat dalam upaya meredam atau menyelesaikan konflik-konflik agraria. Melalui pantauan YLBHI, ada keterlibatan aparat dalam proyek-proyek pemerintah selama 10 tahun terakhir. Di antaranya dalam program food estate hingga sejumlah proyek yang diambil perusahaan swasta. Misalnya, pengamanan PT Duta Palma di Kalimantan Barat (2024), PSN Smelter Nikel CNI Group, Sulawesi Tenggara (2022), dan pembangunan Eco City di Rempang.
Hal ini membuktikan bahwa negara belum kompeten dalam mengambil peran parental bagi warganya. Dalam teori politik dan sosial, peran parental negara berarti meliputi tindakan melindungi dan mengayomi warganya, serta kehadiran negara dalam menjamin hak hidup, tanah, lingkungan dan budaya rakyat terutama kelompok rentan seperti masyarakat adat.
Tragedi Salim Kancil berhasil menjadi salah satu bukti kegagalan negara dalam menjamin hak hidup rakyatnya. Namun, selama konflik agraria masih ada dan masih menghantui rakyat akan kekhawatiran terampasnya hak-hak sebagai warga negara, maka sosok Salim Kancil tidak akan pernah mati.
Ia akan terus hidup dan menjelma dalam keberanian warga dan masyarakat adat yang menolak sawit di Papua, petani yang terancam food estate di Kalimantan, nelayan yang melawan reklamasi di Jakarta, atau keluarga yang kehilangan tanahnya karena tambang di Sulawesi.
Mereka semua adalah wajah-wajah baru dari perlawanan yang sama: menjaga tanah, laut, dan hutan dari rakusnya modal. Sesuai dengan kutipan dalam novel Leila Chudori, yang berjudul Laut Bercerita.
“Matilah engkau, mati. Kau akan lahir berkali-kali.” []