Mubadalah.id – Beberapa hari lalu ketika mengikuti webinar bertajuk Quo Vadis Disabilitas Taktampak Akibat Penyakit Kronis dalam Undang-Undang Disabilitas Kita? saya merasa seperti mendapatkan angin segar pengetahuan. Belajar mengenai isu disabilitas dengan sudut pandang penyandang disabilitas itu sendiri seolah membuka cakrawala baru pada pemahaman saya.
Banyak sekali hal-hal baru, istilah-istilah baru, dan wawasan baru untuk mengembangkan perspektif yang lebih holistik. Dan jujur saja, ketika mengikuti webinar tersebut saya baru pertama kali mendengar adanya istilah hidden disability (disabilitas taktampak) atau invisible disability (disabilitas tidak terlihat).
Dalam webinar tersebut narasumber menjelaskan bahwa 70-80% disabilitas adalah disabilitas taktampak. Misalnya neurodivergence (disabilitas mental), low vision dan hard of hearing (disabilitas sensorik), lambat belajar (disabilitas intelektual), dan disabilitas fisik akibat penyakit kronis.
Apa sih Disabilitas Taktampak itu?
Hidden disability (disabilitas taktampak) atau invisible disability (disabilitas tidak terlihat) merupakan kondisi disabilitas yang tidak kasat mata secara fisik dari penampilan luar seseorang, tetapi tetap mempengaruhi kemampuan mereka untuk menjalani aktivitas sehari-hari.
Invisible Disability Association mendefinisikan disabilitas tidak terlihat sebagai suatu kondisi fisik, mental, maupun neurologis yang tidak terlihat atau tidak tampak dari luar. Namun kondisi ini menimbulkan rasa sakit yang dapat membatasi pergerakan, indra, atau aktivitas. Karena kondisi disabilitas yang tidak terlihat inilah orang dengan disabilitas taktampak sering kali tidak mendapatkan perhatian atau dukungan yang memadai dari lingkungan sekitar.
Kondisi yang tidak terlihat tersebut membuat disabilitas tak tampak harus menghadapi tantangan berlapis. Beberapa di antaranya adalah lingkungan sosial yang menganggap “baik-baik saja”. Karena kondisi yang tak kasat mata, menimbulkan anggapan bahwa penyandang disabilitas taktampak tidak memiliki keterbatasan yang nyata.
Kemudian anggapan baik-baik saja ini memunculkan tantangan yang kedua, yaitu stigma negatif. Kerap kali masyarakat menuduhnya pura-pura, terutama ketika memanfaatkan tempat prioritas dalam fasilitas publik.
Maka, keadaan tersebut menjadi tantangan ketiga, yakni kesulitan akomodasi di tempat kerja, sekolah atau ruang publik karena kurangnya pemahaman dan kesadaran lingkungan sekitar. Dari ketiga tantangan tersebut penyandang disabilitas taktampak acap “tertuntut” untuk sehat dan beraktivitas secara “normal”.
Gambaran Tantangan Penyandang Disabilitas Taktampak
Raissa Fathikha, penyandang disabilitas taktampak yang sekaligus narasumber webinar Quo Vadis Disabilitas Taktampak Akibat Penyakit Kronis dalam Undang-Undang Disabilitas Kita? menjabarkan gambaran tantangan yang dia hadapi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Raissa terlebih dahulu mengajak audiens untuk kembali mengingat bahwa disabilitas adalah sebuah konsep yang lahir akibat interaksi antara penyandang disabilitas dan hambatan sikap masyarakat serta lingkungan sosial. Adanya hambatan ini kemudian menjadi kendala bagi mereka untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam berkehidupan.
Lalu dia menjelaskan kondisi yang ia alami, apa saja gangguan fungsi tubuhnya (impairment), hambatan yang dihadapi (activity limitation), dan hambatannya untuk berpartisipasi (participation restriction) penuh dan efektif dalam kehidupan, serta sikap lingkungan sosial yang menghambatnya.
Raissa memiliki kondisi penyakit kronis yaitu saraf Thoracic Outlet Syndrome (TOS), kondisi medis yang terjadi ketika saraf atau pembuluh darah di antara tulang selangka dan tulang rusuk pertama mengalami tekanan. Selain itu dia juga mengalami autoimun mixed Connective Tissue Disorder (MCTD) Mononeuritis, yaitu gangguan di mana sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang jaringan tubuh sendiri.
Sebab kondisi tersebut, Raissa mengalami gangguan fungsi tubuh. Antara lain nyeri terus menerus, terganggunya fungsi saraf, terganggunya sistem imun, dan kelelahan kronis. Bahkan ketika menjadi narasumber dalam webinar tersebut Raissa sedang dalam keadaan lelah dan menahan rasa sakit di tubuhnya.
Gangguan ini kemudian memunculkan hambatan. Yakni sulit menggunakan tangan dan pundak, sulit beraktivitas berat, sulit berjalan jauh atau bepergian, bahkan sulit merawat diri secara mandiri. Karena hambatan tersebut, Raissa tidak bisa berpartisipasi penuh dalam kehidupan sehari-hari.
Belum lagi dengan keadaan lingkungan sosial yang juga belum mendukung. Minimnya dokter, fasilitas publik tidak aksesibel, persyaratan kerja yang diskriminatif, hingga minimnya perlindungan hukum untuk disabilitas taktampak akibat penyakit kronis.
Bagaimana menyuarakannya?
Dalam UU No. 08 Tahun 2016 Pasal 4 ayat (1) Tentang Penyandang Disabilitas, yang dimaksud “Penyandang Disabilitas Fisik” adalah terganggunya fungsi gerak. Yaitu amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil, yang merupakan jenis disabilitas fisik tampak.
Saat ini, Raissa bersama kuasa hukumnya, Nur Fauzi, sedang melakukan permohonan uji materiil UU Tentang Disabilitas ke Mahkamah Konstitusi. Petitumnya adalah memperluas pemaknaan dari Disabilitas Fisik pada penjelasan Pasal 4 ayat (1). Perluasan makna tersebut, selain menjelaskan tentang disabilitas fisik tampak harus menjelaskan pula disabilitas fisik taktampak. Seperti akibat penyakit kronis autoimun, nyeri kronis, kanker dan penyakit pada organ/sistem organ lainnya.
Judicial review atau uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) perlu dilakukan agar penyandang disabilitas taktampak mendapat pengakuan dalam Undang-undang. Pengakuan sebagai penyandang disabilitas tersebut dapat meminimalisir hambatan bagi orang dengan penyandang disabilitas fisik taktampak untuk mengakses haknya.
MK memiliki wewenang untuk memberikan perintah terhadap pemerintah agar segera membentuk aturan untuk menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas fisik taktampak. Terutama dalam penyediaan akomodasi yang aksesibel, aturan dalam pendidikan inklusif dan pekerjaan, hingga aturan teknis.
Raissa telah memulai perjuangan untuk mewujudkan cita-cita kesetaraan dan keadilan, maka tugas kita harus mendukungnya secara penuh dan melanjutkannya. Kita dapat memulainya dari membangun kesadaran dan pembelajaran diri dengan memahami kondisi hingga tantangan yang dialami penyandang disabilitas taktampak.
Kemudian memberikan ruang bagi mereka untuk memunculkan suara aspirasinya. Lalu yang terakhir, ikut serta menyebarluaskan suara tersebut untuk mewujudkan lingkungan yang lebih inklusif bagi keragaman yang ada. []