Mubadalah.id – Jujur, negara akhir-akhir ini memasuki fase kepercayaan yang punah. Mereka tidak mengurangi atau mencicilnya, tetapi menghabiskannya sampai tak tersisa. Yang runtuh bukan hanya rasa percaya rakyat, melainkan juga keyakinan sederhana bahwa keadilan masih hidup, bukan sekadar dipajang di baliho kebijakan, itu juga kalau masih ingat.
Mungkin pemerintah kini merasa selalu salah langkah. Setiap pernyataan terdengar keliru, semua penjelasan terkesan defensif, dan tindakan apapun memicu masalah baru. Salah melulu, katanya. Pada titik ini, pemerintah menilai kritik sebagai kebisingan, mereka terus memproduksi klarifikasi, namun walhasil justru memperlebar jarak. Pertanyaannya: kenapa? kenapa semuanya bisa sampai sejauh ini?
Mari kita akui, pemerintah tidak sedang menghadapi rakyat yang hobi nyinyir. Negara justru memanen ingatan kolektif yang terus menerima luka. Di negeri ini, pemerintah membabat hutan atas nama pembangunan. Bencana pun datang. Dan ketika rakyat bergerak, mengumpulkan bantuan, membuka donasi, dan menyelamatkan sesama, pemerintah datang belakangan sambil berdehem: negara menuntut izin, ketertiban, dan prosedur.
Hah? Solidaritas disuruh antri?
Untuk Siapa Aturan Itu?
Pada titik ini, wajar kalau kening berkerut. Orang-orang kaget dong. Untuk siapa negara memasang prosedur ini? Untuk mereka yang kehilangan rumah, atau untuk kewenangan agar tetap rapi?
Masalahnya memang bukan donasi. Bukan juga izin. Yang jadi taruhannya adalah urutan empati. Mengapa pemerintah bergerak cepat mengatur kepedulian rakyat, sementara negara membiarkan kerusakan ekologis, konflik agraria, dan kebijakan sembrono berjalan dengan alasan pembenar? Negara mencurigai empati publik, sementara dengan entengnya meloloskan kepentingan besar. Hmmm.. oke, tarik napas dulu.
Secara teori, sebab dan akibat selalu berpasangan. Namun praktik negara menunjukkan pola berbeda. Negara rajin menangani akibat, tetapi malas menyentuh sebab. Negara memperlakukan bencana seolah tamu tak diundang dari langit, tanpa mengaitkannya dengan izin tambang, pembukaan hutan, atau tata ruang yang negara lenturkan demi investasi. Setelah itu, negara kembali meminta rakyat bersabar. Seperti biasa. Lagi. Dan lagi.
Relasi yang Timpang
Relasi kuasa pun rasanya hanya berjalan satu arah. Negara menempatkan diri sebagai pihak paling tahu, sementara negara mendorong rakyat untuk diam, patuh, lalu berterima kasih. Padahal relasi adil tidak pernah lahir dari kepatuhan sepihak. Relasi adil menuntut saling mendengar, bukan sekadar saling mengatur.
Dalam ajaran Islam, persoalan ini bahkan sederhana. Islam memerintahkan amanah dan menuntut keadilan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”
(QS. An-Nisa’: 58).
Amanah bukan hanya kursi jabatan, tetapi juga jejak kebijakan. Keadilan bukan hanya sah di atas kertas, tetapi juga masuk akal dalam hidup manusia.
Ketika Keadilan Hanya Formalitas
Sayangnya, hari ini negara sering mengecilkan keadilan menjadi urusan administrasi. Ketika berkas lengkap, negara menganggap penderitaan sah, legal, dan aman. Padahal keadilan tanpa rasa kemanusiaan hanya melahirkan kerapian tanpa hati, indah di laporan, kejam di lapangan.
Di sinilah ketegangan itu menetap. Kepekaan negara menipis, sementara kepercayaan rakyat menetes habis. Ketika rakyat membicarakan perut, negara hanya menyodorkan grafik. Saat rakyat meminta ruang hidup, negara malah melempar regulasi. Jeritan yang terdengar, negara memaksa kita tenang. Rupanya, negara lebih takut pada kekacauan imajiner daripada pada ketidakadilan nyata.
Dalam keadaan seperti ini, kritik wajar berubah nada. Sinisme pun wajar terjadi. Ingat: semuanya tidak muncul tiba-tiba. Pengalaman membentuknya perlahan: dari rasa yang terus negara abaikan, dari pengalaman hidup sebagai angka, bukan manusia.
Pada titik tertentu, rasa frustrasi pun mendorong kita berhenti membahas persoalan ini dari sudut pandang agama yang normatif. Kita lelah mengingatkan tentang dosa, azab akhirat, atau balasan moral yang entah kapan tiba, sementara ketidakadilan terus bekerja hari ini dan menghancurkan hidup nyata. Oleh karena itu, kita tidak lagi berbicara soal surga dan neraka. Karena ketimpangan yang dibiarkan tumbuh sudah cukup menghukum semua orang di dunia ini.
Ketika negara mengabaikan keadilan, masyarakat retak, solidaritas melemah, dan kepercayaan runtuh. Akhirnya, sistem yang timpang tidak hanya merugikan korban langsung, tetapi juga menyeret semua orang ke dalam kerugian bersama. Yang hancur bukan hanya moral, melainkan tatanan hidup itu sendiri, dan kita semua menanggung akibatnya.
Seharusnya kita semua tahu konsekuensi ini. Apalagi pemerintah dengan SDM terbaiknya? Tapi, jika dampaknya tetap merusak, itu berarti semuanya memilih untuk tahu tetapi tidak peduli. Dah. Titik.
Krisis Etika
Ini bukan sekadar masalah komunikasi atau koordinasi. Ini soal krisis etika dalam mengelola kuasa. Kekuasaan lupa bahwa ia memikul beban moral, bukan menerima hadiah. Saat seseorang mengatur hidup orang lain, ia wajib membawa kerendahan hati, bukan sekadar stempel legalitas.
Ketika negara lebih sibuk mengatur cara rakyat saling menolong daripada memastikan ini tidak menjadi sumber masalah, kerusakan tidak hanya menyentuh citra. Kerusakan itu menggerogoti fondasi hidup bersama. Hukum kehilangan wibawa, solidaritas bergerak sendiri, dan negara berdiri berhadapan langsung dengan rakyatnya.
Disclaimer: Tulisan ini tidak mengajak kebencian maupun mendorong kekacauan. Saya hanya mengajak kita membaca realitas apa adanya. Kita sedang menjalani fase berbahaya: ketika keadilan menjauh dan negara sering menjadikan kemanusiaan sebagai slogan, maka ketika rakyat berhenti berharap, situasi itu bukan kejutan. Dan ini tidak menunjukkan bahwa negara sedang menang. Maknanya justru bocor.
Sekarang, pertanyaan akhirnya bukan soal citra, stabilitas, atau angka elektabilitas. Pertanyaannya jauh lebih sederhana: Apakah kita masih mau merapikan ulang cara berelasi secara adil dan manusiawi, atau tetap memilih bertahan pada kewenangan yang sah tetapi dingin?
Karena negara mungkin masih tetap bisa bertahan tanpa kepercayaan rakyat untuk sementara. Namun keadilan, tidak pernah hidup tanpa kemanusiaan. Iya? []












































https://shorturl.fm/LQBw6
https://shorturl.fm/62w5w