• Login
  • Register
Rabu, 22 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Ada Apa dengan Permendikbud No. 30 Tahun 2021?

Ramainya bahasan mengenai peraturan tersebut, bukan upaya mereduksi ketidaksetujuan atas peraturan, melainkan cara pandang mengenai isi peraturan yang dinilai multitafsir

Dian Meiningtias Dian Meiningtias
18/11/2021
in Publik
0
Penyalin Cahaya

Penyalin Cahaya

283
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa hari terakhir, kanal media sosial kita diramaikan dengan polemik Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Titik berangkat dari peraturan ini sendiri adalah tingginya data kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi dengan penanganan kasus yang belum mampu berjalan optimal karena tidak adanya regulasi peraturan khusus.

Dengan demikian dapat dimaknai bahwa peraturan ini merupakan peraturan percepatan mengingat semakin masifnya kasus kekerasan seksual. Namun sayangnya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dimaksudkan sebagai regulasi peraturan umum masih menjadi perdebatan di DPR, sehingga belum ada regulasi khusus yang mewadahi.

Maka, secara substansi peraturan ini dapat dinilai sebagai bentuk peraturan yang responsif terhadap korban karena hadir untuk memberi perlindungan bagi civitas akademika dari kejahatan seksual yang mengancam rasa aman bagi martabat kemanusiaan.

Pun demikian, hadirnya peraturan ini membawa polarisasi pandangan, yaitu hadirnya kalangan yang pro dan kontra dalam memandang peraturan. Ramainya bahasan mengenai peraturan tersebut, bukan upaya mereduksi ketidaksetujuan atas peraturan, melainkan cara pandang mengenai isi peraturan yang dinilai multitafsir.

Hadirnya pandangan yang bertendensi multitafsir dititikberatkan pada cara pandang atas bunyi pasal yang memuat frase “tanpa persetujuan korban”. Sehingga kalangan yang kontra menyebut bahwa frase ini adalah sebuah legitimasi yang mengarah pada diperbolehkannya perbuatan zina di lingkungan perguruan tinggi.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Panduan Bimbingan Skripsi Aman dari Kekerasan Seksual
  • Maple Yip, Perempuan di Balik In the Name of God: A Holy Betrayal
  • Female-Blaming, Patriarki dan Kasus-kasus yang Berulang
  • Luka yang Tidak akan Sembuh: Beban Psikis Korban Kekerasan Seksual dalam Novel Scars and Other Beautiful Things

Baca Juga:

Panduan Bimbingan Skripsi Aman dari Kekerasan Seksual

Maple Yip, Perempuan di Balik In the Name of God: A Holy Betrayal

Female-Blaming, Patriarki dan Kasus-kasus yang Berulang

Luka yang Tidak akan Sembuh: Beban Psikis Korban Kekerasan Seksual dalam Novel Scars and Other Beautiful Things

Namun rasanya penarikan kesimpulan bahwa “tanpa persetujuan korban” merupakan legitimasi atas dukungan tindak perzinaan tidaklah tepat. Tentu kita sepakat bahwa pada dasarnya norma agama telah menjelaskan bahwa zina adalah perbuatan dosa, sedangkan kode etik perguruan tinggi maupun peraturan yang lain sudah lebih dulu mengakomodir tindak asusila sebagai bentuk perbuatan amoral, pun dengan sangsi yang mengikat.

Maka Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi, konsen pada kasus kekerasan seksual bukan tindak asusila secara umum. Adapun adanya frase yang memungkinkan multitafsir “tanpa persetujuan korban” adalah bentuk responsif pembuat peraturan, bahwasanya pada kasus kekerasan skorban itu ada dan memiliki suara.

Hadirnya frase “tanpa persetujuan korban” adalah upaya untuk menghindarkan korban dalam celah dipersalahkan sebagaimana dalih kasus asusila lain karena terbentur pernyataan suka sama suka. Lebih jauh, dalam penanganan kasus serupa, korban kerap mengalami intimidasi dengan adanya dalih pencemaran nama baik oleh lingkungan pun dengan pelaku.

Dalam hal ini korban mengalami kondisi dikorbankan kembali karena lemahnya aturan yang mewadahi. Maka perlu dipahami bahwa frase ini hadir untuk memberi penekanan pada konsen peraturan. Artinya pada kasus kekerasan seksual, ada pemilahan korban dan pelaku dalam tindak kejahatan.

Pandangan di atas, menurut hemat penulis justru pendekatan dengan mempertimbangkan sisi kemuliaan karena memberikan pandangan yang berafiliasi pada korban kejahatan. Bagaimana kemudian kita mampu memberikan perlindungan bagi orang-orang lemah, memberikan rasa aman bagi korban kejahatan, pun dengan sangsi pada pelaku kekerasan seksual karena telah menciderai kemanusiaan, menciderai norma sosial.

Hal tersebut dimaksudkan bahwa pada kasus kekerasan seksual memiliki karakteristik pemaksaan dan upaya memperdayai korban melalui berbagai kondisi dan relasi kuasa. Sehingga penting untuk melihat perspektif korban dengan situasi yang dialami, pun daya dukung kita bersama lewat aturan yang lebih universal dan memanusiakan.

***

Relasi kuasa dan ketimpangan gender adalah sebuah gerbang masuk bagi terjadinya kekerasan berbasis gender. Tidak adanya aturan dan pandangan yang responsif terhadap gender menyebabkan penyelesaian kasus selalu terhambat. Pola tersebut yang kemudian memberi ruang bagi adanya anggapan sepele terhadap kasus kekerasan seksual.

Hal tersebut yang menyebabkan sebagian korban yang rata-rata adalah mahasiswi tersebut enggan melaporkan tindak kejahatan yang dialami. Laporan yang datang dari korban masih kerap mengalami stigma berbasis gender, intimidasi dari lingkungan pelaku, pun dengan kendala administrasi yang mengarah pada status akademis. Dapat dimaksudkan bahwa minimnya perlindungan secara regulasi aturan dan kurangnya responsif gender dalam masyarakat patrialkal membuat kasus jenis ini sulit diselesaikan.

Sehingga penerapan Permendikbud Ristek mengenai PPKS dapat memberi penekanan kaitanannya penanganan utamanya pencegahan pada tindak kejahatan seksual di perguruan tinggi. Hal tersebut sebagaimana sifat dari aturan yang menempatkan sangsi sebagai upaya pencegahan atas kesewenang-wenangan, juga bentuk responsif pemerintah dalam memperhatikan masyarakat dalam hal ini civitas akademika, sehingga lingkungan perguruan tinggi dapat menciptakan rasa aman, nyaman dan optimal bagi proses belajar -mengajar tanpa bayang-bayang tindak kekerasan seksual.

***

Perguruan tinggi sebagai ruang akademis dan syarat akan intelektual, seharusnya menempatkan persoalan dengan tradisi berpikir jernih dan terbuka. Dalam kasus kekerasan seksual, integritas perguruan tinggi tidak dicapai dari rendahnya jumlah kasus kekerasan seksual yang ada di kampus tersebut, tapi sejauh mana responsif birokrasi kampus dan seluruh civitas akademika dalam menciptakan lingkungan yang humanis dan melindungi marwah manusia bagi keseluruhan civitas akademika.

Dengan cara pandang tersebut, apabila di kemudian hari ditemukan tindak kejahatan seksual di perguruan tinggi, hal paling bijak dalam nuansa intelektual adalah mendudukkan sebuah perkara dengan independensi pada korban sebagai bentuk regulasi pencegahan, perlindungan, penanganan, pendampingan, dan pemulihan. Sehingga penting adanya sangsi tegas bagi pelaku, agar tidak jatuh korban berikutnya. Dengan begitu nama baik kampus sebagai ruang akademis telah tegak sebagai ruang aman bagi keseluruhan sebagaimana semangat dunia pendidikan.

Dapat dibayangkan jika peraturan ini tidak didukung dan paling buruk pada kondisi pencabutan, maka diakui atau tidak yang paling rugi adalah civitas akademika sendiri. Hal tersebut dikarenakan peraturan ini hadir sebagai bentuk regulasi percepatan perlindungan dalam konsen kasus kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi.

Pun demikian, harus disadari bersama bahwa peraturan ini adalah salah satu bentuk responsif pemerintah dalam memandang krusialnya kasus dan problematisnya penanganan kasus tersebut. Sehingga kehadiran dari peraturan ini sifatnya penting bagi kita bersama, hal tersebut sebagai dukungan dalam menciptakan rasa aman, nyaman, juga menjaga marwah manusia dalam lingkup bernegara.

Di sisi lain, perguruan tinggi merupakan wadah dan tempat bagi generasi penerus bangsa untuk belajar, mencari ilmu, mengembangkan potensi diri, mendapat kesempatan bersosialisasi lewat beragam organisasi, sehingga sangat disayangkan jika nuansa belajar dan berkembang tidak didukung dengan rasa aman dalam regulasi kebijakan. Hal tersebut karena kejahatan ini membawa dampak buruk bagi mental korban, juga masa depan. Maka daya dukung kebijakan ini nantinya juga hadir lewat partisipasi bersama dalam membentuk suasana yang baik. []

Tags: Kekerasan seksualPerlindungan KorbanPermendikbud No.30 Tahun 2021RUU Tindak Pidana Kekeerasan Seksual
Dian Meiningtias

Dian Meiningtias

Aktivis Perempuan yang sedang menyelesaikan studi magister di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

Terkait Posts

Travel Haji dan Umroh

Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

20 Maret 2023
Perempuan Harus Berpolitik

Ini Alasan, Mengapa Perempuan Harus Berpolitik

19 Maret 2023
Pembahasan Childfree

Polemik Pembahasan Childfree Hingga Hari Ini

18 Maret 2023
Bimbingan Skripsi, Kekerasan Seksual

Panduan Bimbingan Skripsi Aman dari Kekerasan Seksual

17 Maret 2023
Kekerasan Simbolik

Bibit Kekerasan Simbolik di Lembaga Pendidikan

16 Maret 2023
Berbuat Baik pada Non Muslim

Meneladani Akhlak Nabi dengan Berbuat Baik pada Non Muslim

16 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kerja Istri

    Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Prinsip Perkawinan Menjadi Norma Dasar Bagi Pasangan Suami Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Juga Wajib Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas
  • Dalam Catatan Sejarah, Perempuan Kerap Dilemahkan
  • Tips Aman Berpuasa untuk Ibu Hamil dan Menyusui
  • Perempuan Juga Wajib Bekerja

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist