Mubadalah.id – Pada acara Silaturahmi dengan Perempuan Arus Bawah di Istana Negara, Rabu 6 Maret 2019, saya ikut hadir bersama 500 penggiat, aktivis perempuan, dan lelaki yang peduli dengan isu perempuan. Banyak hal yang ingin saya catat. Namun sayang sekali, begitu masuk ke lingkungan Istana Negara, tidak boleh membawa apa-apa. Jikapun ada kamera, harus atas izin khusus dari panitia.
Saya datang bersama kawan-kawan dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Wilayah Jawa Barat. Mendampingi penyintas perkawinan anak dari Indramayu, Rasminah. Yang bahkan karena perjuangannya menjadi penyintas, hingga mengakibatkan ia menjadi penyandang disabilitas.
Rasminah yang di usia 30an tahun sudah memiliki 5 anak, dengan 4 perkawinan yang berbeda. Perkawinan yang terpaksa dijalani karena faktor ekonomi, yang menyebabkan ia rela menjalani kehidupan seperti itu. Dikawinkan pertama kali ketika usianya masih belia, belum genap 14 tahun.
Namun kondisi fisik yang terbatas itu tak menyurutkan semangatnya untuk terus bergerak. Sehingga melalui suaranya, Rasminah tak ingin anak-anak perempuan lain di Indonesia mengalami nasib yang serupa dengan dirinya.
Pada kesempatan itu juga, Rasminah ingin menyampaikan pesan secara langsung pada Presiden Jokowi, agar berkenan mendengarkan suaranya itu. Tentang upayanya bersama Koalisi 18+ yang melakukan Judicial Review (JR) Undang-Undang (UU) Perkawinan No. 1 tahun 1974 terkait dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan.
Rasminah menjadi salah satu pemohon dalam JR tersebut, bersama 3 perempuan lainnya, dan berharap Presiden mempercepat batas waktu 3 tahun yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), untuk melakukan amandemen pada UU tersebut. Dan kami akan terus bersama Rasminah, untuk mencegah serta menghentikan perkawinan anak di Indonesia.
Sementara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise dalam sambutannya menjelasakan jika suatu negara belum bisa dikatakan maju, kalau perempuan di dalamnya belum berada di garis aman. Perjuangan perempuan dalam mewujudkan kesetaraan gender masih panjang, terutama dalam mencapai target SDGs.
Perempuan dan laki-laki sudah harus berjalan bersama, atau setara. Menteri Yohana menambahkan, sebagai perempuan harus bangkit menggunakan potensinya, dan harus membangkitkan semangat perempuan lain untuk membangun bersama memperkuat bangsa.
Selanjutnya Menteri Yohana berseloroh jika Presiden Jokowi telah didaulat menjadi duta lelaki untuk perempuan. Betapa tidak, dalam kabinet kerja, Presiden memiliki sejumlah menteri perempuan yang kompeten di bidangnya masing-masing. Sehingga ruang yang terbuka dan ramah, perempuan telah mendapat tempat serta apresiasi, bahkan dalam posisi pengambil kebijakan yang strategis.
Saya pribadi berharap, akan semakin banyak duta lelaki untuk perempuan. Sebagaimana saya meminjam kalimat sambutan Menteri Yohana, tak hanya afirmasi 30 persen perempuan di ruang publik, tetapi juga harus mencapai 50 berbanding 50. Sehingga kesetaraan antara lelaki dan perempuan tak hanya sebatas teori, tetapi juga aksi nyata yang dirasakan manfaatnya bagi seluruh perempuan di Indonesia.
Maka tepat dalam momentum Hari Perempuan Internasional, yang diperingati setiap tanggal 8 Maret ini, menjadi tonggak penting bagi perempuan untuk terus menyuarakan hak-haknya, bahkan yang terrampas sekalipun, karena sistem yang kerap masih belum berpihak pada perempuan.
Karena itu, suara dari para perempuan arus bawah ini, mencerminkan wajah Indonesia yang sebenarnya. Bagaimana sistem, yang berkelindan erat dengan budaya, adat, agama dan kebijakan negara menjadi ruang yang lebih adil bagi perempuan.
Ruang ini akan memberikan perempuan kesempatan untuk berkembang dan maju. Tanpa diskriminasi. Tanpa kekerasan. Tanpa pelabelan. Tanpa peminggiran. Tanpa dinomorduakan, dan tanpa menyandang beban tugas ganda. Selamat Hari Perempuan Internasional.[]