Kesetaraan gender bukanlah gagasan baru dalam dunia Islam, meski baru gencar dikampanyekan beberapa dekade terakhir. Alquran sebagai kitab suci agama Islam yang turun di masyarakat bias gender, dalam banyak ayatnya baik secara eksplisit maupun implisit mendukung kesetaraan. Salah satu ayat yang dapat disebut sebagai simbol kesetaraan gender dalam Alquran adalah QS. Al-Ahzab: 35 yang berbunyi:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Konteks turunnya ayat di atas berkenaan dengan ‘protes’ Ummu Salamah, salah seorang istri Nabi. Riwayat dari Abu Salamah menceritakan, sebagaimana dikutip Ibn kasir dalam tafsirnya, bahwa Ummu Salamah bertanya, “Wahai Nabiyullah, mengapa saya hanya mendengar laki-laki saja yang disebutkan dalam Alquran, sementara perempuan tidak?”. Ayat ini pun turun sebagai respon atasnya.
Pertanyaan Ummu Salamah pada Nabi bagi sebagian orang zaman sekarang mungkin dianggap kurang etis, karena terkesan ada unsur protes di sana. Bahwa Alquran seakan-akan tidak ‘adil’ karena hanya mengajak bicara pada laki-laki, sedangkan ia merupakan hidayah universal tanpa terbatas pada jenis kelamin tertentu. Akan tetapi pertanyaan di atas sebenarnya cukup beralasan bila kita melihat karakteristik bahasa yang digunakan Alquran.
Alquran turun dalam bahasa Arab, maka secara otomatis mengikuti struktur bahasa Arab. Amina Wadud dalam bukunya, Qur’an and Women menyebut bahasa Arab sebagai bahasa spesifik gender (gender-specific language), sebab segala hal dilihat dengan kacamata gender. Baik makhluk hidup yang memang memiliki jenis kelamin, maupun benda mati disematkan gender tertentu padanya. Ini juga berlaku pada semua komponen bahasa yang merujuk kata tersebut seperti kata kerja, kata ganti dan kata isyarat.
Permasalahannya muncul ketika dua jenis gender ingin disebut, karena akan membuat kalimat menjadi lebih panjang seperti yang terlihat pada ayat di atas. Maka demi efisiensi, ditetapkanlah bahwa gender laki-laki dapat mewakili gender perempuan (taghlib), namun tidak sebaliknya.
Misalnya pada kutipan ayat, “inna Allah ma’a al-sabirin” (Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar). Kata al-sabirin berbentuk jamak muzakkar salim yang sedianya untuk merujuk pada laki-laki, tetapi dalam hal ini juga dapat mengandung makna perempuan, yakni al-sabirat.
Selain itu dalam bahasa Arab, kata Allah dan malaikat yang kita yakini tidak berjenis kelamin apapun, juga terpaksa dikategorikan muzakkar (laki-laki), bukan muannas (perempuan) dengan alasan gender maskulin dianggap lebih layak mewakili segi kemuliaan dan keagungan Allah dan malaikat.
Oleh karenanya apabila diperhatikan, Alquran dipenuhi dengan kata-kata yang merujuk pada gender laki-laki, meskipun sebagian besarnya dimaksudkan pula gender perempuan. Dari sinilah Ummu Salamah sebagai representasi dari kaum Hawa mempertanyakan kenetralan Alquran yang langsung dijawab melalui QS. Al-Ahzab: 35.
Ayat tersebut dengan sangat jelas memosisikan laki-laki dan perempuan setara dengan menyebutkan sifat masing-masing secara bergandengan. Menunjukkan bahwa siapapun yang beragama Islam, beriman, lagi taat beramal dijanjikan ampunan dan pahala yang besar oleh Allah tanpa dibeda-bedakan jenis kelaminnya. Begitu pula sebaliknya.
Baik laki-laki maupun perempuan dalam Islam dipandang sama. Tidak ada golongan yang lebih superior maupun inferior dibanding yang lain. Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin atau status sosialnya, melainkan kadar ketakwaan yang ia usahakan.
Sebagaimana nilai moral dari ajaran tauhid bahwa hanya Allah yang patut disembah dan diagungkan. Adapun selain Allah, sama-sama berstatus hamba yang sederajat serta tidak sepatutnya merasa lebih mulia dibanding orang lain. Budaya patriarki yang menganggap laki-laki superior atas perempuan menurut Amina Wadud merupakan bentuk kesyirikan, kesombongan dan bertentangan dengan ajaran tauhid.
Penyebutan laki-laki dan perempuan secara adil pada ayat di atas sangat penting untuk turut mempertahankan nilai-nilai kesetaraan dalam Alquran. Al-Ahzab: 35 mengisyaratkan kepada kita bahwasanya ketika Alquran tidak menyebut perempuan, tidak berarti ia tidak dianggap atau dimarginalkan. Ajaran universal Alquran yang ditujukan pada laki-laki juga ditujukan pada perempuan.
Dari sini Faqihuddin Abdul Kodir menjadikan Al-Ahzab: 35 sebagai salah satu landasan teologisnya dalam menawarkan metode Qiraah Mubadalah. Qiraah Mubadalah sendiri adalah model pembacaan secara resiprokal atas teks keagamaan yang berkenaan dengan relasi laki-laki dan perempuan, sehingga menghasilkan interpretasi yang egaliter dan ramah gender. []