• Login
  • Register
Jumat, 9 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Antara Kim Ji Yeoung, Kartini, dan Aktivis Permadi

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
25/04/2020
in Personal
0
27
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Beberapa waktu lalu, saya sempat mengkritik RUU Ketahanan Keluarga dan mengaitkannya dengan film realita perempuan asal Korea ‘Kim Ji Yeoung’ lewat status WhatsApp. Garis besarnya, saya tidak setuju bagaimana pasal-pasal dalam draft regulasi tersebut membatasi secara ketat peran perempuan.

Terlebih, di sana tertulis bahwa tugas pokok seorang wanita, terutama bagi yang sudah menikah hanya berkutat pada tiga hal: dapur, sumur, dan kasur. Lucunya, yang menggagas RUU ini justru seorang perempuan yang bekerja sebagai anggota legislatif, yang saya yakin beliau tidak menghabiskan waktunya untuk menaikkan timba dari sumur untuk keperluan cuci baju dan piring.

Sebab, hampir setiap hari ia memiliki jadwal ketat terkait tupoksinya di parlemen. Kalau sudah begitu, apa tidak blunder? Menyuruh orang mengelola urusan domestik penuh, kok beliau sendiri belum mengundurkan diri?!

Kemudian apa kaitannya dengan Kim Ji Yeoung? Film ini menceritakan pengalaman depresi pasca melahirkan seseorang wanita yang pernah bekerja. Pada satu titik ia merasa sangat jenuh dan ia ingin mengaktualisasikan kembali potensinya di masa muda.  

Dari film tersebut, saya belajar bahwa membatasi gerak perempuan dan menjustifikasi perempuan bekerja sebagai ibu yang tidak baik hanyalah dalih dari pemerintah yang tidak sanggup menerapkan kebijakan jaminan sosial secara paripurna.

Baca Juga:

Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

Aurat dalam Islam

Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

Benarkah Menikah Menjadi Bagian dari Separuh Agama?

Daripada melarang-larang perempuan bekerja, tolonglah diwajibkan tiap organisasi, kantor, hingga sekolah memiliki fasilitas daycare serta kalau perlu semua layanan tadi digratiskan. Bukan malah muncul dengan omnibus law dan peraturan lain yang semakin menindas buruh dengan menghapuskan cuti ini itu. Kalau begini, negara maunya apa? Mana yang mau didahulukan? Keluarga apa investor? Mau negara maju dan sejahtera kok setengah-tengah?!

Lucunya, status saya yang marah kepada negara tersebut justru ditanggapi sinis oleh seorang kawan laki-laki. Ia merasa bahwa, saya mengkerdilkan peran ibu rumah tangga. Dan, apa yang saya sampaikan bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan ayat-ayat dalam Al-Quran.

Reaksi saya ketika membaca responnya cuma, “He?! Dia ini ngaji ke siapa ya? Kiai dan Ulama Googeleyaa?”

Setelah menghela napas panjang, jari-jari saya kemudian luwes mengetik respon ceteknya. Saya tidak ada melarang perempuan untuk memilih full menjadi ibu rumah tangga. Menurut saya, sama halnya dengan laki-laki, perempuan juga memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri.

Ketika ia memilih bekerja, tentu tujuannya adalah memenuhi kebutuhan bersama. Bahkan menurut riset, perempuan (terutama yang berpenghasilan) jauh lebih dermawan dan lebih banyak memikirkan keperluan rumah tangga dibandingkan laki-laki.

Dorongan saya agar perempuan berpenghasilan juga tidak terlepas dari berbagai prahara yang dialami para istri. Contohnya saja, bila menjadi korban KDRT, atau ditinggal selingkuh kemudian tidak dinafkahi.

Bila ia tidak berpenghasilan, ia tentu akan mengalami dilema perasaan yang berkepanjangan karena khawatir ketika meminta cerai ia akan kehilangan sandaran keuangan. Belum lagi bayangan stigma buruk yang dilekatkan pada janda, sudah tentu ia bakal hidup dalam kekangan derita.

Merefleksi dan mengingat hal itu kembali, membuat saya membayangkan bagaimana Kartini tentu akan sedih sekali bila kondisi masyarakat kita untuk soal keadilan gender dan emansipasi kok sepertinya masih jauh panggang dari api.

Sudah tahun 2020, yang mana negara lain sudah mulai bergerak memberikan posisi politik tertinggi kepada para perempuan bertalenta seperti Jacinda Ardern dan Angela Merkel. Kita dari dulu masih saja meributkan pilihan peran sosial perempuan.

Pantaslah sempat viral guyonan bahwa orang Amerika sudah menginjakkan kaki di bulan, sedangkan kita masih berusaha hidup dari bulan ke bulan, dan hal ini memang menggambarkan sesungguh-sungguhnya keadaan.

Jangankan membicarakan bagaimana membangun peradaban, pilihan berbusana saja antara kebaya atau cadaran saja harus dibanding-bandingkan oleh Permadi Arya, hingga menyulutkan perdebatan massal.

Padahal banyak masyarakat muslim kita sering mengutip ‘Al-Ummu madrasah al-ula’, ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya dan tak lupa pula kisah-kisah Khadijah serta sahabiyah lainnya dalam perannya di kehidupan bermasyarakat.

Lah kok justru semakin ke sini banyak orang yang salah kaprah memaknai peran dan emansipasi perempuan. Perempuan banyak potensi ditakut-takuti tidak perlu sekolah tinggi, nanti susah dapat suami. Yang sudah bersuami, jangan banyak beraktivitas sosial, nanti takutnya suami tidak lagi loyal.

‘Duh, lama-lama pecah kepala Barbie…’

Gaung dan perempuan salehah yang berkontribusi dalam memajukan umat hanya dilekatkan pada ia yang sudah bersuami dan berhasil memiliki anak yang ia didik secara mandiri. Menurut saya hal ini terlalu sempit, bagaimana kemudian kita menyikapi realita perempuan yang lebih beragam di dunia ini?

Seperti seorang perempuan yang ditakdirkan suaminya meninggal dan ia sendiri kondisinya mandul? Apakah ia kemudian dapat kita cap gagal total menjadi muslimah, jika tolak ukurnya dapat melahirkan dan mendidik generasi qurani?

Oleh karena itu, marilah kita hentikan debat kusir remeh yang tak berkesudahan tentang peran sosial muslimah di masyarakat kita. Mau dia jadi ibu rumah tangga penuh atau memilih bekerja sesuai koridor kebaikan dan potensinya, mari kita hargai bersama pilihan keduanya. Karena tidak semua orang lahir dan mengalami kondisi pribadi yang sama. Begitu pula jalan yang ditempuh untuk menuju surgaNya.

Jika kita mau mengembalikan peradaban yang diwarnai kejayaan Islam yang juga dicita-citakan oleh Kartini, tentu yang perlu kita serap dan terapkan bukan bagaimana membatasi peran dan impian mulia para perempuan seperti di masa Jahiliyah.

Tetapi seharusnya kita terus mendorong dan memberikan peluang serta kesempatan para perempuan untuk menebarkan amal kebaikan kepada diri sendiri dan lingkungan apapun itu bentuknya. Sebab dengan semakin banyak berbagi manfaat, ia tentu akan menjadi sebaik-baik insan yang dilahirkan. []

Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Kisah Luna Maya

Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

9 Mei 2025
Waktu Berlalu Cepat

Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

9 Mei 2025
Memilih Pasangan

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

8 Mei 2025
Keheningan

Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

8 Mei 2025
Separuh Mahar

Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

7 Mei 2025
Aktivitas Digital

Menelaah Konsep Makruf dalam Aktivitas Digital

7 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Kesaksian Perempuan

    Kritik Syaikh Al-Ghazali atas Diskriminasi Kesaksian Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saksi Perempuan Menurut Abu Hanifah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai
  • Aurat dalam Islam
  • Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?
  • Benarkah Menikah Menjadi Bagian dari Separuh Agama?
  • Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version