• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Apakah Perempuan Haid Boleh Berpuasa Ramadan?

Jika dicermati, Bayindir tampaknya ingin menjadikan haid sebagai udzur (عذر) puasa dan bukan sebagai penghalang (مانع) puasa . Kalau haid dijadikan sebagai udzur puasa, maka perempuan haid boleh memilih antara berpuasa dan tak berpuasa.

Abdul Moqsith Ghazali Abdul Moqsith Ghazali
03/05/2021
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Apakah Perempuan Haid Boleh Berpuasa

Apakah Perempuan Haid Boleh Berpuasa

1.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa hari terakhir ini saya ditanya sebagian ustadz tentang boleh dan tidaknya perempuan haid menjalankan puasa Ramadan. Para penanya tersebut seperti hendak mencari kepastian hukum tentang bolehnya perempuan haid menjalankan puasa Ramadan.

Kepada para penanya itu, saya memulai dengan penjelasan demikian. Dalam soal shalat, para ulama sudah menyepakati bahwa haid merupakan penghalang (mani’) bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan shalat. Karena itu, perempuan haid bukan hanya boleh meninggalkan shalat (جائز الترك) tapi juga tak boleh melaksanakan shalat (ممتنع الفعل).

Lalu pertanyaannya, apakah haid juga menjadi penghalang (مانع) bagi perempuan untuk menjalankan puasa Ramadan? Para fuqaha memang menyatakan demikian, sehingga perempuan haid bukan hanya boleh meninggalkan puasa Ramadan melainkan juga tak boleh melaksanakan puasa Ramadan. Pendapat fikih ini menjadi pegangan kita semua di Indonesia dari dulu hingga sekarang

Namun, pendapat para ahli fikih itu belakangan dibantah sejumlah intelektual Islam kontemporer seperti Dr. Ahmad Imarah dari Mesir dan Prof. Dr. Abdul Aziz Bayindir dari Universitas Istanbul Turki.

Imarah menegaskan, tidak ada dalil baik dalam al-Qur’an maupun Hadits yang melarang perempuan haid berpuasa. Bahkan, bagi Imarah, sebuah kekeliruan jika seorang perempuan membatalkan puasanya karena haid (لم يرد فى تلك المسألة أمر ولا نهى قرأنى أو نبوى وأن النساء المسلمات يخطئن بإفطار رمضان خلال أيام الحيض). Artinya, perempuan tetap menjalankan ibadah puasa Ramadan sekalipun darah haid masih mengucur di tubuhnya.

Baca Juga:

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Sudah bisa diduga, pendapat Imarah ini mendapat tentangan keras dari para ulama yang tergabung dalam Darul Ifta al-Mishriyah.

Pendapat yang lebih lunak dikemukakan oleh Prof Abdul Aziz Bayindir  dalam bukunya, “مفاهيم ينبغى أن تصحح فى ضوء القرأن الكريم” setebal 271 halaman yang terbit tahun 2009. Judul buku Bayindir ini mengingatkan saya pada buku yang ditulis Abuya Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dengan judul yang mirip walau dengan konten yang berbeda: مفاهيم يجب ان تصحح

Dari halaman 151-155, Bayindir membahas perempuan haid boleh berpuasa dan menampik pendapat yang mengharamkan perempuan haid berpuasa.

Mari saya kutipkan sebagian pendapatnya dalam buku tersebut. Bayindir misalnya menolak pendapat para ulama fikih yang menjadikan haid sebagai penghalang puasa. Menurutnya, jika haid merupakan penghalang puasa, maka seharusnya perempuan haid tak wajib mengqadha’ puasanya seperti halnya perempuan haid tak wajib mengqadha’ shalatnya (ولو كان الحيض مانعا للصوم فما وجب عليها قضاء ما فات من أيام كالصلوات التى لا تقضيها بعد انتهاء أيام الحيض). “Bagaimana kita diperintahkan mengqadha’ sebuah ibadah yang diharamkan untuk melakukannya” (كيف يقولون بوجوب قضاء عبادة قد حرم أداؤها), tegas Bayindir.

Bayindir menyamakan perempuan haid dengan orang sakit; mereka boleh memilih antara berpuasa dan tak berpuasa (وقد عد الحيض قى الأية السابقة أذى والأذى هو مايضايق الإنسان. والمرض كذلك يعتبر أذى. والنساء يسمين حالة  الحيض مرضا والله تعالى يقول: وأن تصوموا خير لكم إن كنتم لا تعلمون).

Jika dicermati, Bayindir tampaknya ingin menjadikan haid sebagai udzur (عذر) puasa dan bukan sebagai penghalang (مانع) puasa . Kalau haid dijadikan sebagai udzur puasa, maka perempuan haid boleh memilih antara berpuasa dan tak berpuasa.

Tak cukup sampai di situ. Bayindir melakukan pemaknaan ulang terhadap hadits Aisyah yang dijadikan dalil tidak bolehnya perempuan haid berpuasa. Haditsnya berbunyi, “Kami (kaum perempuan) diperintahkan mengqadha’ puasa dan tak diperintahkan mengqadha’ shalat” (فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة).

Sambil mengutip Ibnu Taimiyah, Bayindir menjelaskan bahwa kata qadha’ (قضى) dalam al-Qur’an bermakna melaksanakan ibadah di dalam waktunya (أداء العبادة فى أوقاتها المحدودة). Untuk itu ia merujuk pada sejumlah ayat yang menggunakan kata qadha dengan segala derivasinya dengan makna tersebut. Misalnya ayat, فإذ قضيتم مناسككم atau فإذا قضيت الصلوة,  dan sebagainya.

Bayindir pun menggugat, mengapa pengertian qadha’ dalam Qur’an tersebut tak “ditaati” para ulama fikih. Alih-alih menaati, para ulama fikih justru membuat pengertian sebaliknya. Jika kata “أداء” dimaknai mengerjakan ibadah di dalam waktunya, maka kata “قضاء” dimaknai mengerjakan ibadah di luar waktunya (بعد خروج وقتها).

Demikianlah pendapat Dr. Ahmad Imarah dan Abdul Aziz Bayindir. Lalu bagaimana kita mengahadapi pandangan fikih baru tersebut? Terhadap pendapat-pendapat fikih baru yang mungkin akan terus bermunculan di masa depan, para pelajar Islam tidak usah kaget dan panik. Segera ambil sikap seperti dinyatakan kaidah fikih: ambil yang jernih dan hindari yang keruh (خذ ما صفا ودع ما كدر).

Dan sekiranya kita  isykal dengan pendapat baru, maka bertahan dengan pendapat lama juga tak masalah apalagi jika pendapat lama itu lebih ihtiyath dan mu’tabarah. []

Tags: Fiqih PerempuanHaidHukum IslamMenstruasiperempuanpuasaRamadan 1442 HSyariat Islam
Abdul Moqsith Ghazali

Abdul Moqsith Ghazali

Dosen di beberapa perguruan tinggi di Jakarta, dan Pengurus LBM PBNU Jakarta

Terkait Posts

Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Marital Rape

    Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID