• Login
  • Register
Selasa, 28 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Ijmak Perempuan Haid Haram Puasa itu, Aneh!

Buru-buru saya mengingatkan bahwa saya sendiri tetap menganut pendapat konvensional, wanita haid ndak boleh puasa dan wajib meng-qadha’ di bulan lain saat ia suci. Saya pun akan menjawab tegas bila diajukan pertanyaan “mengapa demikian”, bahwa saya ndak tahu mengapanya.

Wahid Sumenep Wahid Sumenep
28/04/2021
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Haid

Haid

2.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Ini postingan sambungan dari status FB guru saya, Bapak Imam Nakhai, yang berjudul: Perempuan Haid dan Puasa (Bolehkan Perempuan Haid Berpuasa). Penting saya menegaskan, tulisan ini tidak hendak membela atau menolak status beliau. Ada yang perlu diterima dan ada juga yang perlu ditolak.

Mubadalah.id – Saya mulai dari yang perlu ditolak. Di bagian akhir dari postingan, beliau menjelaskan bahwa masih terjadi perselisihan pendapat apa sesungguhnya yang menjadi mujma’ ‘alaih; antara (1) tiadanya kewajiban puasa wanita haid dan kewajiban meng-qadha’ di bulan lain atau (2) keharamana berpuasa bagi wanita haid. Poin pertama, tiadanya kewajiban berpuasa (لا تصوم في أيام حيضتها) sebenarnya bermakna tidak boleh berpuasa, bukan boleh tidak berpuasa. Sependek pengetahuan saya, semua kitab fikih klasik serempak menyebut ada ijmak dan mujma’ ‘alaih-nya adalah tiadanya kewajiban berpuasa, bahkan keharaman berpuasa bagi wanita haid dan kewajiban meng-qadha’nya.

Saya memahami, semua orang berhak memiliki pemahaman, dan hemat saya postingan beliau mengajak kita untuk mengkaji ulang klaim ijmak ini. Ok, sudah ada ijmak. Ok juga, sudah jelas apa mujma’ ‘alaihnya. Tetapi apa mustanadnya ijmak ini? Apakah ia qath’iy dari aspek tsubut dan dilalahnya?

Ijmak dalam tema ini tentu berbeda dengan ijmak perihal kewajiban salat lima waktu. Bahkan berbeda dengan ijmak keharaman melakukan coitus saat menstruasi. Bagi saya, tidak benar mengklaim Pak Nakhai hendak melabrak ijmak.

Di kolom komentar ada banyak akun yang mengingatkan beliau kalau sudah ada ijmak, seolah-olah beliau lupa atau tidak tahu memang ada ijmak. Padahal di postingannya, beliau sudah mengakui tegas adanya ijma, meskipun dengan koreksi yang sudah saya sebutkan baru saja.

Susah menuliskan detail perdebatan ulama di kolom Facebook. Tetapi saya berusaha untuk menampilkannya dengan singkat dan semoga tidak terkesan buru-buru lalu maksudnya tidak tepat.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia
  • Puasa Dalam Perspektif Psikologi dan Pentingnya Pengendalian Diri
  • Flexing Ibadah selama Ramadan, Bolehkah?
  • Q & A: Apa Batasan Sakit yang Membolehkan Tidak Puasa di Bulan Ramadan?

Baca Juga:

Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

Puasa Dalam Perspektif Psikologi dan Pentingnya Pengendalian Diri

Flexing Ibadah selama Ramadan, Bolehkah?

Q & A: Apa Batasan Sakit yang Membolehkan Tidak Puasa di Bulan Ramadan?

Pertama, kalau puasa itu haram bagi wanita haid, mengapa dia wajib meng-qadha’ sesuatu yang tidak wajib (bahkan ini haram lho)? Ini kan seperti wajib melunasi padahal sebelumnya tidak berhutang. Ulama menjawab pertanyaan ini bahwa dalil kewajiban qadha’ bukan perintah untuk melakukan sesuatu, tetapi dalil lain. Kewajiban qadha’ puasa bukan karena adanya perintah untuk melakukan puasa.

Kedua, kurang tepat untuk memperebutkan apakah haid adalah māni’ atau rukhsah boleh tidak berpuasa. Sebab, rukhsah sendiri itu beragam, mulai rukhshah yang wājibah, mandūbah, mubāḥah. Jadi secara istilah, haid bisa kita sebut sebagai māni’ al-shaum dan rukhsah wājibah sekaligus. Memang rukhsah, tapi wajib diambil, ini kalau ia disebut sebagai rukhshah wājibah. Memangnya ada rukhshah wājibah? Ya ada dong, umpama nih hanya ada daging babi, tapi kalau tidak memakannya kamu pasti mati, nah, makan daging babi ini rukhshah yang wajib diambil.

Ketiga, apa mustanad ijmak tersebut? Sepanjang penelusuran saya, ya memang lumayan tidak sebentar saya menelisik persoalan ini, mustanadnya adalah dua hadis, yaitu hadis riwayat Aisyah dan satunya hadis yang di beberapa ragam redaksinya menyebut ketunaan akal dan ketunaan agama perempuan (nāqishat ‘aqlin wa dīn).

Hadis riwayat Aisyah adalah hadis yang oleh postingan Pak Nakhai dimaknai secara berbeda dengan pemaknaan konvensional, yakni bahwa qadha’ seringkali digunakan oleh Alquran dalam pengertian adā’ ibadah pada waktunya. Betapapun sedikitnya cendikiawan yang berpendapat demikian, sekurang-kurangnya ini menunjukkan hadis tersebut memuat kemungkinan pemaknaan yang berbeda. Dan tentu saja cara menolaknya bukan dengan teriak-teriak.

Sementara riwayat lain yang menyebutkan tentang ketunaan perempuan yang sering dijadikan dasar keharaman berpuasa itu beragam, antara yang satu dengan yang lain berbeda. Bila meneliti ragam riwayat tersebut dalam kutub al-sittah, kalian, atau setidaknya saya, akan mendapatkan kesimpulan berikut,

Dalam Sahih Bukhari disebutkan bahwa perempuan itu tuna agama yang merupakan akibat dari tidak melakukan salat dan tidak berpuasa. Sahih Muslim menyebutkan hal yang serupa, tetapi dengan penambahan kata ‘ramadan’, yaitu ‘وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي مَا تُصَلِّي وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ’. Demikian juga dalam sunan Ibn Majah. Sunan Abi Daud membalik susunan menjadi, ‘فَإِنَّ إِحْدَاكُنَّ تُفْطِرُ رَمَضَانَ وَتُقِيمُ أَيَّامًا لَا تُصَلِّي’/sebagian di antara kalian tidak berpuasa pada bulan ramadan dan tidak melakukan salat. Dalam sunan ini juga ditemukan redaksi ‘احداكن’/sebagian di antara kalian. Ini seolah-olah memberikan kesan tidak semua perempuan tidak berpuasa pada bulan Ramadan, tapi kesan lemah selemah-selemahnya.

Pada empat koleksi hadis terkemukan ini, penulis mendapatkan penjelasan bahwa perempuan itu tuna agama karena tidak mendirikan salat dan tidak berpuasa pada bulan ramadan. Sahabat Nabi yang menjadi periwayat adalah Abu Saʻid al-Khudriy untuk Sahih Bukhari dan ʻAbdullah bin ʻUmar untuk tiga yang terakhir.

Hal yang berbeda ditemukan dalam Sunan Turmudzi, yaitu tidak disebutkan kata ‘تصوم’/puasa, ‘تَمْكُثُ إِحْدَاكُنَّ الثَّلَاثَ وَالْأَرْبَعَ لَا تُصَلِّي’/sebagian di antara kalian, 3 atau 4 hari, tidak melakukan salat. Periwayat dalam sunan ini adalah Abu Hurairah.

Sesungguhnya semua hadis yang menyinggung tentang ketunaan akal dan agama perempuan memiliki konteks yang sama, yaitu menasihati sekelompok perempuan untuk memperbanyak sedekah dan istigfar. Ada yang menyebutkan waktu peristiwa ini terjadi pada hari raya, tanpa menegaskan hari raya fitri atau raya kurban. Hanya sunan Abu Daud yang tidak mencantumkan konteks hadis tersebut.

Apabila ditelusuri lagi dalam kitab-kitab koleksi hadis terkemuka, ada dua teks hadis yaitu dalam Sahih Muslim dan Sunan al-Nasaꞌi, yang memiliki konteks yang sama bahwa Rasulullah saw. sedang memberikan nasihat kepada sekelompok perempuan untuk memperbanyak sedekah karena kebanyakan di antara mereka berpotensi menjadi kayu bakar api neraka. Dalam dua riwayat ini tidak disebutkan tentang hukum salat dan puasa bagi wanita haid.

Alhasil, konteks enam riwayat—kecuali riwayat Abu Daud—di atas adalah nasihat Rasulullah saw. kepada sekelompok perempuan untuk memperbanyak sedekah dan sebagian lagi ditambahkan supaya memperbanyak istighfar. Dan inilah kandungan paling meyakinkan dalam hal otentisitasnya. Riwayat Turmudzi hanya menyebutkan hukum salat, tidak hukum puasa. Riwayat Imam Muslim dan al-Nasaꞌi bahkan tidak menyebutkan keduanya.

Paparan ini juga dalam konteks mempertanyakan mustanad ijmak tersebut. Dan jelas Bapak Nakhai bukan orang pertama yang meragukannya. Sirat keraguan, menurut pemahaman saya, dapat ditangkap dalam fatwa Syeikh ‘Athiyah Shaqr, salah satu Kepala Bidang al-Azhar, beliau berkata, “ليس هناك دليل قولي من الكتاب والسنة يحرم الصيام علي المرأة عند وجود الدم؛ الإجماع فقط هو الدليل”/tidak ada dalil qauli dari Alkitab dan Sunnah yang mengharamkan puasa atas perempuan saat menstruasi, ijmak saja dalilnya.

Ijmak saja dalilnya. Itu kata beliau. “Bagaimana bisa ada ijmak bila tiada dalil yang menjadi mustanadnya?” saya bertanya-tanya. Harusnya ada, dan kita belum tahu apa itu.

Buru-buru saya mengingatkan kalau Syeikh ini tetap berpendapat bahwa puasa haram bagi wanita berdasarkan ijmak, sambil mengakui beliau sendiri tidak mengerti alasannya. Sebab, kata beliau, puasa bukan ibadah yang mensyaratkan suci. Orang junub boleh kan puasa, lha ini wanita haid kok haram? Tetapi, beliau puas dengan hadis shahihain perihal kewajiban qadha’ karena percaya pada Bukhari-Muslim yang tentu menguasai hukum-hukum furū’.

Syeikh ‘Athiyah juga bukan orang yang pertama lho. Beliau mengutip al-Khatīb dalam Iqnā’, yakni teks,

قَالَ الإِمَام وَكَون الصَّوْم لَا يَصح مِنْهَا لَا يدْرك مَعْنَاهُ لِأَن الطَّهَارَة لَيست مَشْرُوطَة فِيهِ وَهل وَجب عَلَيْهَا ثمَّ سقط أَو لم يجب أصلا وَإِنَّمَا يجب الْقَضَاء بِأَمْر جَدِيد وَجْهَان أصَحهمَا الثَّانِي قَالَ فِي الْبَسِيط وَلَيْسَ لهَذَا الْخلاف فَائِدَة فقهية وَقَالَ فِي الْمَجْمُوع يظْهر هَذَا وَشبهه فِي الْأَيْمَان والتعاليق بِأَن يَقُول مَتى وَجب عَلَيْك صَوْم فَأَنت طَالِق

“Imam al-Syafi’iy berkata, mengapa puasa tidak sah dilakukan oleh wanita haid tidak terjangkau ‘illatnya. Sebab thaharah bukan syarat puasa. Apakah (1) puasa tadinya wajib bagi wanita haid kemudian kewajiban ini gugur, atau (2) memang tidak wajib sama-sekali tapi wajib qadha’ dengan perintah yang baru…..”

Lagi-lagi, al-Khatib bukan orang pertama yang tidak memahami mengapa puasa bagi wanita haid tidak boleh. Ternyata beliau mengutip Imam al-Syafi’iy, pentolan mazhab tercinta kita. Bagi saya, di sini ada poin berharga, yakni adalah elok mengakui ketidakpahaman sebagaimana Imam al-Syafi’i, junjungan kita, mengakuinya.

Bagi saya, Pak Nakhai sebenarnya tengah mengakui ketidakpahamanya, seperti yang beliau katakan sendiri, “Tulisan ini bukan fatwa. Sangat senang bila ada yang mengoreksinya, dan tentu berterimakasih atas kritiknya.” Saya tidak percaya sama sekali kalau beliau hendak menyesatkan umatnya, apalagi mahasiswanya yang beliau ajak kritis dan jangan gemar menelan apa saja yang kelihatannya keren.

Buru-buru saya mengingatkan bahwa saya sendiri tetap menganut pendapat konvensional, wanita haid ndak boleh puasa dan wajib meng-qadha’ di bulan lain saat ia suci. Saya pun akan menjawab tegas bila diajukan pertanyaan “mengapa demikian”, bahwa saya ndak tahu mengapanya. Tetapi lebih dari ini, saya puas dengan tulisan Imam Nawawi.

“Telah terbukti kesungguhan sahabat perempuan dalam peribadatan dan semangat mereka melakukan hal yang mungkin (menurut syariat). Kalau saja puasa boleh dilakukan, tentu ada sebagian di antara mereka yang melakukannya sebagaimana dalam salat qashr dan lain-lain.” Faktanya, memang tidak ada riwayat yang mengisahkan kalau perempuan di masa Rasulullah saw. berpuasa saat menstruasi. Wallāhu a’lam!

 

Tags: Fiqih PerempuanHaidHukum Islamkesehatan reproduksiMenstruasiperempuanpuasaRamadan 1442 H
Wahid Sumenep

Wahid Sumenep

Terkait Posts

Flexing Ibadah

Flexing Ibadah selama Ramadan, Bolehkah?

28 Maret 2023
Propaganda Intoleransi

Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

27 Maret 2023
Penutupan Patung Bunda Maria

Kisah Abu Nawas dan Penutupan Patung Bunda Maria

26 Maret 2023
Zakat bagi Korban

Pentingnya Zakat bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual

25 Maret 2023
Asy-Syifa Binti Abdullah

Asy-Syifa Binti Abdullah: Ilmuwan Perempuan Pertama dan Kepala Pasar Madinah

24 Maret 2023
Rukhsah bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Rukhsah bagi Ibu Hamil dan Menyusui Saat Ramadan

23 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Tradisi di Bulan Ramadan

    Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Flexing Ibadah selama Ramadan, Bolehkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Pinatih: Sosok Ulama Perempuan Perekat Kerukunan Antarumat di Gresik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Piagam Madinah: Prinsip Hidup Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puasa Dalam Perspektif Psikologi dan Pentingnya Pengendalian Diri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Pada Awalnya Asing
  • Jalan Tengah Pengasuhan Anak
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist