Mubadalah.id – Saya membaca artikel di internet yang berjudul “Poligami itu Solusi, Bukan Diskriminasi” yang diunggah dalam sebuah portal islam yang mengusung tema Hijrah, membuat saya geleng-geleng kepala tiap membaca poin-poin solusi yang telah dijelaskan.
Betapa tidak, poin-poin yang mereka anggap solusi itu sangat tidak masuk akal, semua permasalahan rumah tangga solusinya adalah poligami. Artikel tersebut juga menggambarkan kepasifan perempuan yang tidak turut serta memikirkan solusi dalam permasalahan rumah tangga, sebab semua jalan keluarnya adalah poligami.
Berikut saya paparkan poligami adalah solusi (versi mereka) vs berpikir logis adalah solusi:
Pertama, berpoligami adalah solusi ketika istri mandul atau menderita suatu penyakit sehingga tidak mampu melayani suaminya, padahal di sisi lain suami mengharapkan lahirnya keturunan yang merupakan tujuan asal pernikahan.
Sebelum menikah, perempuan dan laki-laki dianjurkan untuk melakukan cek kesehatan tentang penyakit bawaan dan kesehatan reproduksi. Dengan mengetahui riwayat kesehatan, suami istri saling mengerti dan memahami kondisi fisik satu sama lain, dan hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi kesehatan anak mereka kelak. Sehingga perempuan dan laki-laki yang akan menikah dapat melakukan kesepakatan ketika menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan saat berumah tangga nanti.
Kedua, ketika suami selalu terpelihara kebugarannya dan istri tidak mampu mengimbanginya, baik karena faktor umur atau karena sedikitnya kesempatan melayani suami; yaitu seperti hari-hari haid, nifas, sakit dan lain sebagainya, maka yang paling utama bagi suami dalam kondisi ini adalah bersabar dan memahami keadaan istrinya. Akan tetapi jika tidak mampu bersabar, solusinya adalah berpoligami.
Tubuh manusia akan berubah seiring bertambahnya usia. Begitu juga perempuan, tubuhnya akan berubah sering bertambahnya pengalaman reproduksi, seperti hamil, melahirkan, dan menyusui. Ketika masa kehamilan, beberapa perempuan mengalami perubahan drastis pada tubuh mereka karena faktor hormon, setelah melahirkan banyak stretch mark bermunculan.
Lalu pada saat menyusui, payudara perempuan juga mulai kendor. Setelah melahirkan pun perempuan mengalami nifas, sebagai “fase istirahat” untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis perempuan terkait kesiapan hubungan seksual bersama suami usai melahirkan.
Tentu saja pengalaman ini dialami oleh semua perempuan. Seharusnya sebagai seorang suami memahami dan berempati tentang pengalaman itu. Peran suami juga penting untuk mendampingi kebutuhan istri ketika hamil, melahirkan, dan mensuport istri usai melahirkan.
Seharusnya, pengalaman reproduksi perempuan tidak dijadikan sebuah masalah dalam berumah tangga. Melainkan, menjadi faktor pelengkap dalam menjalin hubungan kesalingan dan berkomunikasi dengan baik sehingga terciptalah rumah tangga yang harmonis.
Ketiga, istri yang memiliki perangai buruk yang tidak disukai oleh suaminya, baik dari cara dia melayani keluarga maupun dalam hal lain, sementara itu istri tetap merasa membutuhkan peran suami, maka solusinya adalah berpoligami.
Apabila di dalam rumah tangga datang atau tumbuh suatu perilaku buruk dari istri, maka suami wajib memberikan nasihat dan pengajaran kepada istri. Apabila usaha tersebut belum ampuh, maka suami dan istri bisa melakukan pisah ranjang dengan harapan merenungi dampak baik buruk perilaku yang dilakukan istri. Apabila kedua usaha tersebut belum juga membuahkan hasil, maka suami boleh melakukan tindakan pemukulan yang tidak menyakiti dan membahayakan seperti yang tertuang pada QS. An-Nisa ayat 34:
“Isteri-isteri yang kamu khawatirkan akan melakukan perbuatan nusyuz maka nasihatilah mereka, pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka sudah sadar, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka, sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar.”
Keempat, terkadang perceraian antara suami istri bukanlah hasil dari keputusan yang matang, dan seorang suami seketika itu juga boleh menikah dengan wanita lain. Jika setelah menikah dengan wanita lain ternyata suami ingin merujuk kembali istrinya maka Islam masih memberi kesempatan untuk itu, yaitu berpoligami.
Pada pasal 39 ayat 1 dan pasal 115 KHI dijelaskan bahwa perceraian baru diizinkan apabila upaya-upaya perdamaian untuk menyatukan suami istri telah dilakukan, akan tetapi tidak berhasil. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, termasuk adanya penilaian atas tidak berhasilnya upaya gugatan tersebut.
Alasan-alasan secara yuridis dibolehkan oleh Peraturan Perundang-undangan untuk mengajukan perceraian diatur dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975. Jadi, ketidakmatangan pemikiran suami untuk menggugat cerai istrinya bisa dipatahkan di persidangan apabila alasannya tidak tercantum dalam peraturan tersebut.
Kelima, jumlah wanita yang makin hari semakin banyak melebihi jumlah kaum laki-laki. untuk mendapatkan maslahat dan memenuhi kebutuhan tabiat manusia adalah disyariatkan poligami.
Dilansir dari Kompas (22/01) sensus penduduk 2020 mencatat lebih banyak penduduk laki-laki daripada penduduk perempuan. Jumlah penduduk laki-laki 136 juta orang atau 50,8% dari penduduk Indonesia. Jumlah penduduk perempuan 133,54 juta orang atau 49,42% dari penduduk Indonesia.
Untuk itu, tidak ada alasan lagi tentang banyaknya jumlah perempuan dibandingkan laki-laki sehingga laki-laki diharuskan poligami demi kemaslahatan. Apabila adanya kekhawatiran dengan jumlah laki-laki atau perempuan yang lebih sedikit maka ingatlah ketetapan Allah dalam QS. Adz Dzariyat ayat 49, “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”
Setiap masalah pasti ada solusinya, begitu juga permasalahan rumah tangga pasti ada solusinya, namun tidak dengan menggunakan poligami sebagai jalan keluarnya. Permasahan rumah tangga atau perkawinan juga diatur di dalam perundang-undangan dan Al-Quran. Sehingga perlu adanya pemikiran matang atupun mediasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, bukan malah berpoligami. []