• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Benarkah Poligami itu Ibadah?

Imam asy-Syafi’I memandang bahwa pernikahan adalah urusan syahwat manusia, sehingga tidak layak dikaitkan dengan perintah dan anjuran agama.

Sofwatul Ummah Sofwatul Ummah
19/10/2020
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
314
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Masih ingat dengan Lora Fadil, anggota DPR RI yang berpoligami? Ya, ia menjadi perbincangan warga net setelah fotonya viral akibat ia berfoto bersama ketiga istrinya yang ia ajak serta pada saat pelantikan dirinya sebagai anggota DPR RI di medio 1 Oktober 2019 silam.

Poligami sebagai perilaku kuno yang sudah dipraktikkan sejak berabad-abad lalu bahkan sejak sebelum Islam datang, sepertinya sampai hari ini masih terus diupayakan sebagai sebuah praktik yang legal. Hal ini ditandai dengan masih maraknya pembahasan mengenai poligami yang “dianggap” sebagai sebuah perintah Allah. Jika poligami adalah adalah sebuah perintah, maka yang mempraktikannya sama dengan sedang beribadah. Kira-kira begitu pemahaman umum mengenai poligami sebagai ibadah.

Ditambah lagi, mereka-mereka yang mempraktikkan poligami dianggap sebagai manusia yang tergolong berbudi luhur, salih, dan ta’at terhadap perintah Allah. Hal ini disebabkan oleh pemaknaan literal terhadap ayat-ayat al-Quran yang sering kali melahirkan pandangan-pandangan yang hitam-putih. Poligami yang dipandang sebagai sebuah ibadah secara sederhana karena poligami disebutkan di dalam al-Quran dalam bentuk perintah.

Selain bernilai ibadah, poligami juga disebut sebagai salah satu cara untuk menolong para perempuan yang terhimpit ekonomi dan juga menjadi salah satu alternatif bagi laki-laki yang memiliki dorongan seksual yang tinggi, daripada berzinah, poligami dianggap sebagai penyaluran hasrat seksual yang legal dan sah.

Karenanya, poligami nampaknya bukan lagi sebagai sebuah praktik ibadah (jika memang bernilai ibadah) tetapi sudah berubah haluan dan spirit menjadi sebuah komoditas. Hal ini ditandai dengan maraknya kelas, seminar, dan bentuk lainnya mengenai poligami. Promosinya amat massif berseliweran di berbagai platform media social.

Baca Juga:

Tafsir Sakinah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

Islam Menolak Kekerasan, Mengajarkan Kasih Sayang

Perkawinan Bukan Perbudakan: Hak Kemandirian Perempuan dalam Rumah Tangga

Tak tanggung-tanggung, kelas poligami ini juga banyak ragamnya  mulai dari kelas pengenalan poligami, kelas berta’aruf dengan muslimah yang bersedia dipoligami, hingga kelas tips dan trik untuk sukses berpoligami. Bagaimana tidak poligami disebut sebagai sebuah komoditi, bandrol per kelasnya saja cukup fantastis. mungkin asumsinya adalah yang mendaftar kelas poligami adalah mereka yang sudah memiliki kecukupan materi, sehingga bandrol harga fantastis yang tertera pasti akan diabaikan.

Tapi, niai ibadah poligami dalam sebuah relasi perkawinan cukup sulit ditemukan dasarnya, dan sebelum berlanjut pada pembahasan poligami sebagai ibadah, ada baiknya sedikit mengingat dan membahas mengenai hukum nikah yang erat kaitannya dengan poligami, karena seseorang tidak dapat dikatakan berpoligami jika sebelumnya belum melangsungkan pernikahan.

Imam asy-Syafi’I memandang bahwa pernikahan adalah urusan syahwat manusia, sehingga tidak layak dikaitkan dengan perintah dan anjuran agama. Menurutnya lagi, perkawinan tidak termasuk pada yang diwajibkan atau disunnahkan. Ia hanya termasuk dalam kategori sesuatu yang diperkenankan (mubah) untuk dilakukan.

Selain itu, Imam Abu Zakaria bin Syaraf an-Nawawi menyatakan: “Hukum nikah bisa sunnah bagi orang yang membutuhkannya dan memiliki nafkah yang cukup, jika tidak memiliki nafkah yang cukup, justru yang disunnahkan adalah meninggalkan nikah dan melemahkan nafsu syahwatnya dengan berpuasa. Jika tidak merasa butuh terhadap nikah dan ia tidak memiliki nafkah, maka nikah baginya dimakruhkan. Jika ia tidak merasa butuh dan memiliki nafkah, nikahnya tidak makruh. Tetapi beribadah sunnah baginya, lebih baik dari menikah. Jika waktunya (orang yang memiliki nafkah cukup, tetapi tidak merasa butuh nikah) tidak digunakan untuk beribadah, menikah lebih baik. Jika memiliki nafkah, tetapi ia mengalami gangguan tertentu (terhadap kelangsungan pernikahan), seperti tua renta, penyakit kronis, atau impotensi, maka menikah baginya adalah makruh.”

Jika ragam hukum mengenai pernikahan ini juga ditujukkan pada hukum poligami, maka yang dimaksud dalam Surat an-Nisa (4) ayat 3 dalah kritik keadilan yang cukup keras dan jelas bahwa pernikahan poligami tidak termasuk pada ibadah. Pada ayat yang digadang-gadang sebagai ayat perintah berpoligami, malah poligami menjadi objek kritik al-Qur’an karena perilaku semena-mena yang sering terjadi terhadap perempuan.

Surat an-Nisa (4) ayat 3 juga membicarakan perkawinan yang amat lumrah dilakukan oleh orang-orang Arab pada saat itu. Dr. Aisyah bintusy-Syathi menyampaikan bahwa pernikahan monogami pada saat itu amat jarang terjadi, amat langka, dan hanya dilakukan  sedikit oleh orang-orang untuk tujuan tertentu.

Tentu jika melihat pada fakta sosial dan sejarah yang terjadi, dimana orang-orang Arab pada saat itu sudah terbiasa mempraktikkan poligami, dan kemudian turun ayat untuk melakukan poligami serta menyebut poligami ini termasuk perintah yang berarti ibadah, maka hal ini menjadi amat tidak logis.

Seperti dikatakan ulama tafsir mengenai poligami, bahwa Surat an-Nisa (4) ayat 3 ini turun untuk memberikan batasan terhadap praktik poligami, dan sekali lagi tidak logis jika menyebut poligami sebagai sebuah ibadah. Menyebut poligami sebagai sebuah ibadah nampaknya terlalu gegabah karena pernikahan sendiri menurut Imam Syafi’i sesuatu yang berurusan dengan syahwat manusia, tidak bisa dikatakan ibadah.

Adapun dianggap sebagai sebuah ibadah karena faktor-faktor lain. Yang kadang luput dari perhatian dan pembahasan mengenai pernikahan adalah bagaimana bisa berlaku adil dan tidak menyakiti pasangan serta tidak membuatnya menderita dari segala segi, baik segi fisik atau mental.

Membahagiakan pasangan nampaknya lebih utama ketimbang berpoligami dengan niat sekadar untuk menghindari perzinahan, atau membantu perempuan yang terhimpit ekonomi. Karena membantu perempuan yang terbentur masalah ekonomi bisa dilakukan dengan cara lain, tidak melulu dengan melakukan poligami.

Selain itu dengan tegas disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa (4): 3: bahwa “bertindak monogami lebih dekat dengan tidak berbuat aniaya.” Karenanya pembahasan mengenai poligami syarat akan keadilan dan jaminan bahwa perempuan benar-benar tidak mengalami kerugian dan disakiti fisik serta mentalnya. Jika berpoligami malah menyakiti perempuan secara fisik dan mental, maka monogami lebih utama. []

Tags: islamMonogamiperkawinanpoligami
Sofwatul Ummah

Sofwatul Ummah

Mahasiswa Pascasarjana Center for Religious and Cros Cultural Studies UGM Yogyakarta, tertarik pada isu-isu sosial, keagamaan dan pembaca diskursus gender dan feminisme dalam Islam.

Terkait Posts

Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Menjaga Ekosistem

Apa Kepentingan Kita Menjaga Ekosistem?

25 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID