• Login
  • Register
Jumat, 27 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Bergantung pada Status, Nilai Perempuan Lebih dari Itu Part II

Perempuan sebagai anak memiliki keistimewaannya tersendiri. Perempuan sebagai ibu, istri, pun masih memilih sendiri juga sama-sama memeluk nilainya sendiri-sendiri

Ainun Jamilah Ainun Jamilah
31/05/2023
in Personal, Rekomendasi
0
Nilai Perempuan

Nilai Perempuan

753
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebagai perempuan Ibu, kawan saya– yang adalah Ibu dari si kecil yang disinggung tadi, barang tentu nilainya tak mampu terkatakan. Tidak karena ia telah menyandang status ‘Ibu’. Saya pun menolak narasi yang kerap diromantisasi seperti, “perempuan baru sempurna dan utuh menjadi perempuan, ketika ia sudah mampu melahirkan (secara biologis) anak.

Seolah nilai perempuan yang belum melahirkan anaknya secara biologis, dianggap kurang sempurna dan belum jadi apa-apa (tidak bernilai).

Lantas mengapa saya begitu bangga terhadap sosok Ibu, dengan tidak menjadikan statusnya semata sebagai cara untuk mengglorifikasi perannya. Itu karena, saya lebih ingin menitik beratkan pada peranan perempuan dalam pengasuhan. Terlepas ia sebagai ibu biologis, Ibu ideologis, maupun peran-peran Ibu lainnya, yang tidak terbatasi pada hubungan darah saja.

Perempuan Ibu, Perempuan Istri, dan Stigma ‘Otomatisasi’ yang Membunuh

Kawan saya, sebagai perempuan Ibu, ia dilingkupi dengan sikap sabar menghadapi tingkah anak wedok-nya yang sulit untuk kita katakan sebagai anak pendiam. Si kecil tumbuh dengan seribu macam pertanyaan di kepalanya. Dan Ibunya (kawan saya), masih cukup mampu menyuguhkan senyum hangat menghadapi serangan-serangan itu. Dengan mengupayakan jawaban yang mudah sang anak mengerti.

Lalu, saya melanjutkan kisah serapah ini pada sosok perempuan Istri yang kala itu duduk tepat di sebelah kananku. Seorang kawan yang tak jenuh kutanyai tentang kepiawaian-nya dalam membangun negosiasi dengan pasangan maupun lingkungannya.

Baca Juga:

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

Nyai Awanillah Amva: Jika Ingin Istri Seperti Khadijah, Muhammad-kan Dulu Dirimu

Cara Mengatasi Rasa Jenuh dalam Kehidupan Rumah Tangga

Stereotipe Perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga

Kawanku ini– bersama pasangannya, telah melangsungkan pernikahan beberapa tahun silam. Dan ketiadaan si kecil (anak) di rumah tangganya saat ini, sama sekali tidak ia anggap sebagai sebuah kekurangan. Begitupun bagi saya sendiri.

Beberapa kawan perempuan saya, yang kini sudah menikah, menjadi perempuan istri dan belum punya anak. Bukanlah sebuah masalah serius. Tak jarang, orang-orang menggeruduknya dengan berbagai nasehat yang beracun, sampai stigma yang ‘membunuh’. Misalnya saja, beberapa orang yang terus meributkan soal pola makan kawanku ini– yang gandrung dengan kopi. Lalu anggapannya karena itu, ia menjadi susah memiliki anak.

Untung saja, kawanku tidak langsung menelan kalimat itu mentah-mentah. Saya bersyukur melihatnya cukup mampu menghadapi hal demikian. Dan, barang tentu ini berkat dukungan orang-orang terdekatnya, juga termasuk pasangannya yang cukup supportif terhadapnya.

Perempuan Ibu, dan Kerja Beban Ganda

Kemudian, perbincangan kami siang itu sampai kepada satu pertanyaan yang coba kuutarakan kepadanya, “Kak, apa benar perempuan itu ketika sudah menikah. Lalu secara ajaib mampu melakukan semua pekerjaan rumah tangga dengan disiplin waktu yang tinggi?”

Bagaimana tidak, pertanyaan ini acapkali menghantui saya. Dan hal itu berangkat dari stigma bahwa nilai perempuan ketika menikah, maka secara otomatis akan melakukan pekerjaan rumah tangganya dengan disiplin. Terlebih ketika saya melihat praktek ini ibu saya lakukan sendiri. Di mana, ia melakukan pekerjaan rumah dengan menerapkan SOP yang tak berlebihan jika kusamakan dengan SOP yang perusahaan terapkan.

Yah, ibuku memang tipe pembersih, penuh ketelitian, dan tak jarang menjadi gelisah sendiri, jika sedikit saja jadwal kerjanya bergeser, atau ada sesuatu (barang) yang keliru penempatannya. Itu bisa memicu kecemasan tersendiri bagi ibu. Yah, ibu saya memang cukup layak jika menjadi Ketua Perserikatan Ibu Rumah Tangga Berdedikasi Tinggi.

Tak sedikitpun Ibu bisa tertidur lelap, jika pekerjaan rumah belum khatam ia laksanakan. Jelas jauh berbeda dengan yang duduk di Senayan sana. Di mana, mereka bisa tetap anteng tidurnya di tengah-tengah rapat kerja membahas sekelumit masalah di negeri ini.

Lantas, jawaban dari pertanyaan di atas tadi, sontak membikin saya merenung sejenak yaitu, fakta bahwa perempuan ketika sudah menikah, itu kebanyakan hanya berusaha dan cenderung memaksakan diri untuk menjadi perempuan istri yang paripurna. Tanpa cela di mata mertua, suami, dan tetangga.

Terlanjur “Menormalisasi” Domestikasi Peran Perempuan

Terlebih masyarakat kita memang kadung menormalisasikan narasi bahwa nilai perempuan istri itu wajib bangun pagi, memasak untuk suami dan anak-anak. Lalu membersihkan seluruh sudut rumah, dan sedapat mungkin tetap terlihat cantik nan terawat.

Tentu, hal sedemikian rupa ini tidak jadi soal jika semua ia kerjakan karena pilihan sadar perempuan itu sendiri. Misalnya saja, suami mengajaknya diskusi tentang pembagian tugas rumah tangga, berikut hal-hal yang bersedia untuk ia lakukan atau tidak.

Nyatanya, dialog ini baru santer didengar pada pembahasan-pembahasan seminar. Syukur-syukur beberapa teman perempuan saya sudah bisa menerapkannya di rumah mereka. Jika tidak, maka boleh jadi akan berakibat fatal. Hal itu, bisa kita lihat dari tayangan film Korea berjudul “Kim Ji-young: Born 1982” yang rilis pada tahun 2019.

Di mana, film ini diangkat dari novel berjudul sama dan berhasil meraih berbagai penghargaan. Saya sendiri, benar-benar sulit untuk melupakan kisah yang tergambarkan dalam film ini. Kerap memori saya memutar beberapa adegan  film.

Di mana seorang perempuan ibu yang sama sekali tidak menikmati perannya sebagai ibu, selain hanya berusaha menjadi istri yang baik bagi suaminya, ibu yang baik bagi anaknya, dan sosok menantu perempuan yang bisa menyenangkan mertuanya. Sampai ia mengorbankan dirinya sendiri dan mulai memperlihatkan tanda-tanda depresi.

Stigma yang membunuh bahwa semua perempuan ketika sudah menikah, maka otomatis tubuhnya akan terbiasa melakukan semua pekerjaan rumah harus kita hentikan. Meskipun yang saya kisahkan di atas terangkat dari sebuah film. Tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa kita maupun orang-orang di sekeliling kita ada yang mengalami hal serupa.

Pentingnya Bernegosiasi dengan Pasangan

Jika menengok ke pengalaman saya sendiri dalam melihat hal ini. Saya tentu banyak bercermin pada ibu saya sendiri dan beberapa perempuan istri maupun perempuan ibu yang bisa saya amati cara mereka dalam menjalankan perannya di rumah. Jika ibu saya memang sudah sejak sebelum menikah sudah rajin mengerjakan pekerjaan rumah. Tetapi hal itu tidak ia lakukan oleh saudara ataupun kawan perempuan saya lainnya.

Beberapa ada yang merasa terpaksa melakukan itu, tidak jarang beberapa ibu yang mau tidak mau merelakan mimpinya, merelakan pekerjaannya karena tersita waktu mengurus rumah. Akhirnya sempat terucap jika ia menyesal menikah. Komunikasi yang tidak terbangun sedari awal terkait pembagian tugas rumah tangga, membikin ia terpaksa harus melakukan semuanya.

Meskipun, ada juga yang karena mampu melakukan negosiasi di awal dengan pasangannya sebelum menikah. Akhirnya ia tidak perlu memaksakan diri untuk terus menerus mengerjakan pekerjaan rumah. Ia bisa cukup bersantai, menjadi perempuan istri maupun ibu yang tetap bekerja, dan saling berbagi peran dalam rumah tangganya. Sehingga, yang menjadi kunci di sini adalah komunikasi yang sehat.

Tidak lantas karena menjadi istri lalu semua beban pekerjaan rumah otomatis tertanggung olehnya sendiri. Padahal rumah dihuni tidak hanya oleh dia saja. Ada suami (pasangan) yang bisa ia ajak berbagi peran. Karena tidak semua perempuan terbiasa dengan pekerjaan rumah yang padat.

Tidak otomatis perempuan ketika menikah langsung bisa memasak, mencuci, sekaligus membersihkan halaman bukan? Dan, perempuan yang tidak mampu melakukan semua pekerjaan itu, tak boleh kita mutlakkan sebagai perempuan yang tidak menjalankan perannya dengan baik (gagal).

Perempuan Inong (lajang) dan Keutuhannya sebagai Manusia

Jika selama ini perempuan kita nilai sebatas pada status yang ia sandang. Maka perlu kita luruskan bahwa perempuan tetap sebagai subjek utuh dan tidak terpenjara oleh status-status yang sedemikian rupa dibuat oleh lingkungan sekitarnya.

Perempuan Inong atau perempuan lajang, jamak kita anggap sebagai perempuan yang kurang sempurna. Narasi budaya yang kawin-mawin dengan narasi agama yang timpang kemudian menjebloskan perempuan ke dalam berbagai ‘penjara’ stigma.

Siang itu, saya bersama tiga orang perempuan yang telah saya suguhkan kisahnya di atas. Sama sekali tidak merasa kerdil, apalagi dikerdilkan. Kawan perempuan saya yang telah menjadi Ibu biologis, tetap merasa setara dengan kawan saya yang menjadi perempuan istri (belum memiliki anak).

Sementara saya, jika dihadapkan dengan status keduanya, sama sekali tidak dibuat menjadi minder, hanya karena masih memilih menjadi perempuan Inong (lajang).

Nyatanya, status perempuan, apakah ia menikah atau belum, memiliki anak atau belum, bahkan ia sebagai perempuan anak atau perempuan dewasa. Sama sekali tidak dapat men-down gread nilai yang ia miliki sebagai manusia yang perempuan.

Nilai diri setiap orang (perempuan), tak boleh dan tak akan mampu dibendung dalam sekat-sekat status yang sempit. Perempuan sebagai anak memiliki keistimewaannya tersendiri. Perempuan sebagai ibu, istri, pun masih memilih sendiri juga sama-sama memeluk nilainya sendiri-sendiri.

Lalu, apa yang kita pertentangkan jika semuanya sama-sama bernilai tanpa harus ada yang merasa lebih dari yang lain? Tak lain adalah ego, tak lain karena diri sudah terlampau setia menghamba kepada apa yang dikehendaki oleh masyarakat sebagai sebuah kewajaran. []

Tags: IbuistriKesalinganNilai Perempuanrumah tangga
Ainun Jamilah

Ainun Jamilah

Co Founder Cadar Garis Lucu Makassar

Terkait Posts

Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

26 Juni 2025
Menjaga Ekosistem

Apa Kepentingan Kita Menjaga Ekosistem?

25 Juni 2025
Menemani Laki-laki dari Nol

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

25 Juni 2025
Bias Kultural

Bias Kultural dalam Duka: Laki-laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

24 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sejarah Indonesia

    Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nurhayati Subakat, Perempuan Hebat di Balik Kesuksesan Wardah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Asma’ binti Abu Bakar Ra : Perempuan Tangguh di Balik Kesuksesan Hijrah Nabi Muhammad SAW

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tahun Baru Islam, Saatnya Hijrah dari Kekerasan Menuju Kasih Sayang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iran dan Palestina: Membaca Perlawanan di Tengah Dunia yang Terlalu Nyaman Diam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Asma’ binti Abu Bakar Ra : Perempuan Tangguh di Balik Kesuksesan Hijrah Nabi Muhammad SAW
  • Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
  • Novel Cantik itu Luka; Luka yang Diwariskan dan Doa yang Tak Sempat Dibisikkan
  • Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?
  • Nurhayati Subakat, Perempuan Hebat di Balik Kesuksesan Wardah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID