Mubadalah.id – Hingga saat ini, tidak bisa dipungkiri, kaum buruh memang berada dalam tataran sosiologis praktis, yang merupakan kesejatian dari ketidakseimbangan peran dan pengaruh antar buruh majikan.
Pandangan sosiologis seperti ini seringkali menempatkan buruh sebagai obyek kajian. Iman Soepomo mengatakan:
“Sosiologi buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada tenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain. Dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja itu.”
Realitas ini dianggap sebagian orang sebagai kelemahan struktural. Ini terjadi karena adanya persepsi yang keliru. Banyak pihak yang menilai urusan ketenagakerjaan hanyalah kepentingan pengusaha dan para pemilik modal saja.
Kenyataannya, masalah ini merupakan kepentingan bersama, bahkan masyarakat luas terbukti punya andil dan pengaruh dengan baiknya kinerja perusahaan dalam rangka menyediakan produk dan jasa, menciptakan kesempatan kerja, dan menyerapnya.
Di sisi lain, pemerintah juga berkepentingan atas kesejahteraan warga negaranya, sedangkan hal ini hanya bisa mereka lakukan jika kesempatan kerja memadai.
Kesadaran inilah yang seharusnya semua pihak perhatikan dan tidak kita maknai secara sempit sebatas hubungan kerja semata. Sehingga hubungan industrial akan menjadi public matters di kemudian hari.
Sementara dalam sudut pandang fikih, buruh (ajir) terbagi dalam dua bagian, yaitu ajir khas dan ajir am. Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah mendefinisikan ajir khas dan ajir am sebagai berikut:
“Ajir khas adalah orang yang dipekerjakan dengan waktu yang diketahui agar bekerja dalam waktu yang sudah disepakati”.
“Ajir musytarak adalah orang yang bekerja untuk banyak orang dan mereka semua yang membeli jasanya, seperti pencelup kain, penjahit, tukang besi, tukang kayu, dan tukang setrika.”
Perbedaan menyolok antara ajir khas dan am terletak pada masalah “majikan”. Dalam ajir khas, mereka cenderung pada posisikan sebagai buruh yang bekerja hanya pada satu majikan. []