Mubaadalahnews.com,– Tokoh agama yang memiliki cara pandang bias gender dinilai dapat menghambat terwujudnya desa damai. Pasalnya, dari pemahaman itulah, perempuan tak dilibatkan di ruang publik. Padahal perempuan pun memiliki peran penting dalam mewujudkan desa damai.
Direktur Rahima, Pera Sopariyanti mengatakan, sebagaimana laki-laki, perempuan pun harus dilibatkan untuk mewujudkan desa damai. Desa damai dapat diwujudkan jika desa tersebut tak terjadi kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak.
“Ini memang sebuah cita-cita besar untuk mewujudkan desa damai tanpa kekerasan khususnya pada buruh migran dan keluarganya,” kata Mbak Pera saat mengisi Seminar Dan Lokakarya di Jember-Jawa Timur, 22-23 September 2019.
Maka dari itu, perlu diberi penguatan kepada buruh migran dan keluarganya terkait pengasuhan anak yatim sosial seperti yang dilakukan Komunitas Tanoker. “Anak-anak yang ditinggal oleh ibu sebagai buruh migran. Kemudian membangun sistem asuhan secara gotong-royong,” ucapnya.
Selain itu, Rahima ingin memperlihatkan hak guna desa damai dengan memberikan materi pemahaman Islam adil gender dengan pendekatan mubadalah. Menurutnya, hal ini adalah sebuah cara untuk mewujudkan desa damai yang hakiki yang bisa dirasakan oleh semuanya.
“Nah disitu bagaimana soal penyadaran dan distribusi kesejahteraan kebaikan dan kedamaian bisa dirasakan semuanya,” tuturnya.
Ia mendorong ulama perempuan dan tokoh agama untuk melakukan perubahan secara kultur dan struktural dalam menghargai hak-hak perempuan. Mereka pun bisa belajar dari Komunitas Tanoker yang didirikan oleh Farha Ciciek.
“Didalam konstitusi pun laki-laki dan perempuan mempunyai posisi yang sama, yakni diberikan kebebasan, dan tidak ada diskriminasi,” tuturnya.
Senada, Founder Komunitas Tanoker, Ledokombo Jember-Jawa Timur, Farha Ciciek mengajak pemerintah, ulama dan masyarakat harus bekerja sama dan saling mengisi dalam membangun desa damai.
“Harapan dari jejaring para ulama perempuan ini akan memperkuat gerakan sosial dan keagamaan di Jatim. Karena kami sangat membutuhkannya,” akuinya.
Menurutnya, ulama perempuan itu bagian dari komponen yang sangat penting. Karena masyarakat memandang keulamaan adalah sesuatu yang mempunyai faktor legitimasi agama yang sangat besar.
“Usaha ini masyarakat dan pemerintah harus begandeng tangan untuk saling mengisi dalam rangka memuliakan desa,” katanya.
Sementara itu, Pengasuh Pondok Pesantren Ma’shumy Bondowoso, Ny. Hj. Siti Ruqayyah menilai, kegiatan ini sangat bagus untuk pembelajaran dan nilai Pendidikan, karena sekarang sudah bukan saatnya berteori saja.
Lebih lanjut lagi, kegiatan ini juga sangat penting untuk membuka wawawasan publik figur atau sebagai tokoh agama sehingga tidak hanya sekedar wacana dalam membangun desa secara fisik tetapi lebih mencoba bagaimana memanusiakan manusia.
“Tapi bagaimana realitas untuk menciptakan desa damai yang salah satunya ada hubungan dengan penafsiran agama sehingga penting seperti yang disampaikan oleh beberapa narasumber lokakarya,” tutupnya. (DUL)