Mubadalah.id – Kali ini aku akan menulis tentang perdamaian dalam keragaman dari sebuah kota tertua di Provinsi Papua Barat, Fakfak tepatnya. Sudah tidak asing jika kota Fakfak terkenal dengan filosofinya “Satu tungku tiga batu”, bahkan sebuah monumen telah didirikan untuknya. Namun, semalam seorang teman dari Fakfak menceritakan sebuah filosofi yang tak kalah indah tentang perdamaian dalam keberagamaan di kota Pala, yaitu filosofi “Satu rumah tiga kamar”.
Rumah diibaratkan sebagai negara ini, dan tiga kamar merepresentasikan tiga agama dengan pemeluk terbanyak di kota Fakfak, yakni Islam, Katolik, dan Protestan. Sebagaimana rumah pada umumnya, ia memiliki atap untuk berteduh dari panas dan hujan, maka negara hadir sebagai atap yang melindungi para pemeluk agama dari panasnya terik intoleransi dan dinginnya hujan eksklusivisme.
Penghuni ketiga kamar akan berkumpul di meja makan saat waktu makan tiba, makan bersama sambil diselingi senda gurau dalam kehangatan sebuah keluarga. Namun ketiganya akan kembali ke kamar masing-masing untuk urusan pribadi yang sarat akan privasi tanpa intervensi satu atas lainnya.
Sangat mudah ditangkap bahwa temanku ingin mengatakan meskipun berlainan kepercayaan, namun masyarakat Fakfak tetap larut dalam kehangatan sebuah keluarga. Momentum makan bersama dengan selingan senda gurau menggambarkan masyarakat Fakfak yang tidak membuat sekat dalam keberagaman. Namun, ketika berhubungan dengan ibadah kepada Tuhan yang mereka yakini, maka mereka akan meletakkan hal ini pada kamar pribadi dan ruang privasinya.
Tidak ada yang akan mengintervensi kegiatan keagamaan dan peribadatan satu atas lainnya, justru saling menghargai dengan ikut menjaga agar ibadah saudaranya dapat terlaksana tanpa mendapat gangguan dari luar. Pintu kamar seolah menjadi batas yang jelas dimana wilayah privasi tiap mereka yang tidak boleh dilanggar.
Layaknya rumah secara umum yang dilengkapi dengan ruang tamu beserta meja kursinya. Sebagai rumah dengan tiga kamar dengan penghuni kamar yang berbeda-beda, maka tamu yang datang ke rumah juga akan berbeda-beda. Namun meski begitu, para tamu akan ditempatkan di tempat yang sama dan diperlakukan dengan sama baiknya juga. “Duduk sama rendah, tegak sama tinggi”. Jangan lupakan gorden yang menjadi sekat pembatas antara ruang tamu dengan ruang keluarga.
Dari sekat inilah, ketiga penghuni kamar dapat saling mengetahui kegiatan saudaranya dengan masyarakat luar rumah tanpa berniat untuk ikut campur di dalamnya. Masyarakat Fakfak saling tahu kegiatan saudaranya tanpa berniat untuk mencampurinya. Namun jika keselamatan saudaranya terancam, mereka akan segera tahu dan menyelamatkan saudaranya.
Satu rumah tiga kamar tidak berarti ketiga penghuninya akan selalu baik-baik saja, riak-riak kecil dalam keluarga akan selalu ada. Bukankah tidak ada saudara yang tidak pernah berselisih dengan saudaranya yang lain? Namun meski perselisihan di dalam rumah sering terjadi, hal itu tidak akan bertahan lama. Karena semuanya akan segera membaik dengan keintiman yang terjadi di dalam rumah, seperti saat makan bersama atau saat dalam obrolan santai sembari menikmati kudapan ringan dan secangkir kopi.
Masyarakat Fakfak pun demikian adanya, perselisihan kecil acap kali terjadi, namun selalu tidak bertahan lama. Dengan kekeluargaan, semuanya akan mereka selesaikan. Karena bagaimanapun tidak nyaman dirasa, bila sering bertemu namun masih menyisakan riak perselisihan di antara mereka.
Terkadang gangguan juga datang dari luar rumah, seperti ketika rumah didatangi oleh perampok. Tidak perlu tahu siapa yang akan diserang oleh perampok itu, ketiga penghuni kamar akan keluar untuk menyelamatkan saudara dan harta rumah mereka. Hal ini mengigatkanku pada perkataan Khalifah Ali bin Abi Thalib, mereka yang tidak seagama denganmu, adalah saudaramu dalam kemanusiaan. Masyarakat Fakfak tidak melihat agama apa, jika menyangkut hidup saudaranya. Kemanusiaan mereka akan tergerak untuk menyelamatkan saudara dan rumah mereka bersama yakni sebuah negara yang bernama Indonesia.
Ketika temanku menyelesaikan ceritanya tentang Fakfak dan filosofi “Satu rumah tiga kamar” nya, hanya ada sebuah kata yang terlintas di benakku, “Indah”. Suasana damai dalam keberagaman dan keberagamaan terasa nyata meski hanya lewat ceritanya, dan itu indah bahkan sangat indah.
Bagaimana tidak, masyarakat Fakfak sangat mengerti ruang bersama dan ruang privasinya. Mereka yang bernaung di bawah atap rumah yang kokoh, yakni Indonesia. Meletakkan urusan bangsa di atas urusan pribadinya, dan tidak mencampuri urusan pribadi keagamaan saudaranya, bahkan sebaliknya mereka saling menghargai dan menjaga privasi saudara mereka lainnya. []