Mubadalah.id – Melihat perkembangan di atas, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang diorganisasi oleh para alumni pesantren, kemudian melakukan serangkaian aktivitas dalam bentuk kajian, pendidikan, pelatihan, dan dialog-dialog untuk membahas dan mendiskusikan tema-tema gender dan perempuan dari perspektif Islam secara lebih luas dan intensif.
Mereka yang terlibat di dalamnya pada umumnya adalah santri-santri yang terdidik dalam lingkungan akademis. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Jakarta, misalnya, sejak tahun 1990-an, secara berkala mengadakan pendidikan dan pelatihan untuk para kiai dan santri tentang isu-isu perempuan tersebut.
P3M, sepanjang pengetahuan saya, adalah LSM pertama yang merintis kajian dan pelatihan gender untuk kalangan masyarakat pesantren.
Kita boleh mengatakan bahwa meskipun tidak memfokuskan diri pada program yang terkait dengan isu-isu perempuan. Namun P3M, di bawah kepemimpinan Masdar F Mas’udi, adalah LSM pelopor dan penggerak pertama dalam upaya memperkenalkan analisis gender dalam kerangka pemberdayaan perempuan di kalangan masyarakat pesantren.
Sebagaimana yang diketahui, lembaga ini didirikan oleh sejumlah kiai terkemuka, antara lain KH. Yusuf Hasyim, KH. M. Sahal Mahfuzh, dan KH. Abdurrahman Wahid, dan para aktivis sosial kemasyarakatan, seperti Prof. Dawam Rahardjo dan Aswab Mahasin.
Program-program, dikelola secara operasional oleh para aktivis muda alumni pesan. Beberapa di antara mereka adalah anak-anak kiai dan alumni pesantren, atau santri, seperti Helmi Ali Yafi, Mansour Fakih, Masdar F Mas’udi, Muntaha Azhari, Syafiq Hasyim, Mufid Busyiri, dan Arifin Junaedi.
Pemberdayaan pada Komunitas Pondok Pesantren
Pada mulanya, lembaga ini sengaja diprogramkan untuk melakukan upaya-upaya penguatan dan pemberdayaan pada komunitas pondok pesantren terutama dalam bidang sosial, budaya, dan ekonomi.
Tema-tema kajian perempuan yang diselenggarakan P3M tersebut antara lain meliputi Islam dan gender, hak-hak perempuan dalam fikih, hak-hak perempuan yang terkait dengan isu seksualitas, kesehatan reproduksi, dan HIV/AIDS.
Para pesertanya adalah kiai muda dan santri pondok pesantren seluruh Indonesia, khususnya di Jawa. Para lulusan pendidikan dan pelatihan ini kemudian membentuk kelompok-kelompok yang berjejaring dan melakukan koordinasi bagi upaya sosialisasi wacana dan gerakan gender mainstreaming di daerahnya masing-masing.
Lembaga ini juga menerbitkan jurnal bulanan bernama “Sehat”. Jurnal ini menyajikan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan isu-isu kesehatan reproduksi perempuan yang menyorot melalui wacana keagamaan Islam.
Tokoh penting di belakang aktivitas yang populer dengan nama Fiqh al-Nisa ini. Antara lain adalah Lies Marcoes Natsir, kemudian Ciciek Farha serta sejumlah aktivis perempuan lainnya.
Lies Marcoes adalah perempuan progresif lulusan IAIN Jakarta dan sebelumnya pernah mesantren. Ia semula aktif di LSM Kalyanamitra, sebuah LSM yang memfokuskan diri pada isu-isu feminisme.
Saya kira, Lies merupakan salah satu pelopor gerakan perempuan Islam modern di Indonesia. Lies adalah seorang yang ahli dalam gender sekaligus antropolog lulusan Universitas Leiden, Belanda.
Banyak aktivis perempuan pesantren saat ini yang merasa berhutang budi kepada perempuan muslimah ini. Karena telah membuka cakrawala kesadaran akan adanya problemproblem serius yang menimpa perempuan. []