• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Guru Aini, Matematika dan Pandemi Corona

Zahra Amin Zahra Amin
14/04/2020
in Pernak-pernik
0
Guru Aini

(sumber foto piqsels.com)

94
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Guru Aini merupakan judul novel karya Andrea Hirata, sekuel dari novel “orang-orang biasa”, yang menceritakan tentang seorang anak SMA bernama Aini. Ia ingin sekali belajar dan menguasai matematika.

Hingga akhirnya, dari nilai ulangan angka 0 sampai mendapatkan nilai 100, Aini berhasil menaklukkan matematika berkat tangan dingin Ibu Desi. Kalimat yang diteriakkan Ibu Desi pada Aini, lantang terdengar, “Matematika Kawan, bukan untuk para penakut!”.

Kisah tentang Aini tersebut, tetiba mengendap dalam ingatan, ketika Senin pagi kemarin saya menemani anak belajar di rumah melalui saluran tv nasional TVRI. Karena masa belajar di rumah, bagi anak sekolah di perpanjang sampai dengan 30 Mei 2020 akibat pandemi covid-19. Berhubung tv kami di rumah tidak ada chanel TVRI, maka saya memutuskan untuk melihat melalui kanal youtube.

Begitu membuka slide belajar di rumah bersama TVRI untuk kelas 4 SD dan setingkat, kami disambut oleh Pak Ridwan, mentor belajar matematika saat itu, dengan gaya dan kalimat yang khas, “Ingat, belajar bersama Pak Ridwan membuat belajar matematika lebih mudah”.

Lima menit berlalu, anak saya si kakak masih menyimak dan mencatat materi yang dianggap penting. Satu dua kali ia bertanya, dan satu dua kali pula saya jawab sambil mengingat rumus bangun ruang yang pernah dipelajari waktu sekolah dulu. Ternyata memang tak mudah menjadi guru matematika.

Baca Juga:

Buku “A Diary of Genocide”: Mereka Tidak Akan Hilang dan Terlupakan

Firdaus dan Perlawanannya pada Budaya Patriarki

Definisi Ulang Kesalehan Perempuan dalam Buku Muslimah Bukan Agen Moral

Mendobrak Budaya Maskulin dalam Novel “Buku Besar Peminum Kopi” Karya Andrea Hirata

Sepuluh menit melintas, diselingi banyak jeda dan keheningan, karena kakak mengerjakan soal. Begitu menemukan pertanyaan yang sulit, dan saya tidak bisa membantu menyelesaikan soal itu, saya mengaku angkat tangan, melambaikan bendera putih tanda menyerah. Baru terasa sesal mengapa dulu ketika belajar matematika tak pernah serius dan cenderung menganggapnya tidak penting.

Kemudian saya teringat percakapan Guru Desi dan muridnya Aini. “Waktu adalah ibu matematika, Nong. Angka berbaris-baris dalam deret hitung, deret ukur, dan deret waktu. Mereka yang tak dapat merasakan waktu, takkan dapat belajar matematika. Karena waktu memberi nasihat terbaik dalam belajar matematika, yakni kesabaran untuk memahami sesuatu, ketangguhan dalam menghadapi kesulitan apa pun, dan obsesi pada presisi, pada presisi tertinggi.” (hal.113)

Percakapan lalu disambung dengan pernyataan Ibu Desi tentang makna waktu. Usia waktu adalah 40 miliar tahun. Selama itu waktu tangguh berkelana di jagat raya, membuka ruang bagi setiap gerakan, memberi kesempatan bagi setiap harapan, menarik batas bagi setiap kehidupan.

Waktu, demikian Ibu Desi masih terus melanjutkan, memberi kita pemahaman, kebingungan, kegembiraan, penyesalan. Waktu membangun, menumbuhkan, memelihara, merengkuh, menyekap, membinasakan, meninggalkan jejak pada setiap sendi kemanusiaan dan kebudayaan.

Waktu, begitu Ibu Desi menambahkan, menantang pertempuran yang takkan pernah bisa kita menangkan. Karena, waktu adalah hukum pertama kehidupan. Bahkan, Tuhan bersumpah demi waktu. Waktu menyelinapkan diri pada noktah t kecil dalam matematika dan fisika. Huruf t kecil itu, bisa mengubah peradaban. (hal.114)

Saya berusaha memahami konsep waktu yang disampaikan Ibu Desi pada Aini, relevan dengan kondisi yang dihadapi hari ini, ketika manusia di seluruh dunia tengah berjibaku tak kenal waktu menghadapi wabah covid 19. Dampaknya, terutama terasa sekali bagi ibu yang harus membersamai anak-anaknya belajar di rumah, sementara bekal pengetahuan yang dimiliki, tak mampu menggenapi perubahannya kini.

Namun di tengah ketaknyamanan itu, saya menyadari satu hal. Kami, umat manusia, terlepas apapun latar belakangnya, betapa pentingnya menyelamatkan satu nyawa manusia dari covid-19, meski sejauh hari yang terlewati mematuhi aturan bersama #dirumahsaja, tak dapat jua mengerti mengapa fenomena corona terjadi.

Hingga genap satu bulan berlalu kerja dan belajar di rumah, waktu memberi nasihat terbaik, yakni kesabaran untuk memahami sesuatu, ketangguhan dalam menghadapi kesulitan apa pun, dan obsesi pada presisi tertinggi, segera berlalunya pandemi corona. Lalu, setiap dari kita ketika esok hari itu tiba, bisa melakukan aktivitas normal seperti sedia kala.

Ya, berita tentang virus covid 19 yang silih berganti, tak urung membuat emosi kita naik turun. Antara kesedihan dan kegembiraan, harap cemas yang bagai dua sisi mata uang, saling berkelindan erat, kuat dan mempengaruhi satu sama lain, sehingga berimbas pada kesehatan mental manusia.

Namun dengan berjalannya waktu pula, manusia akan membangun, menumbuhkan, memelihara, merengkuh, menyekap, membinasakan, lalu meninggalkan jejak pada setiap sendi kemanusiaan dan kebudayaan. Waktu menantang pertempuran yang takkan pernah bisa kita menangkan. Paska corona ini berlalu, betapa akan banyak sekali kisah yang bisa diceritakan pada anak cucu.

Ibu Guru Desi dan Aini, melalui goresan tangan Andrea Hirata, telah memberi pemahaman tentang bagaimana kami mampu bertahan. Tak sekedar hitungan matematika untung dan rugi. Deret, ukur dan hitung, bilangan tambah yang dikali serta dibagi. Sebab yang lebih penting dari itu, kami tak kehilangan akal sehat.

Seorang Ayah yang tetap tegar mengais rejeki di tengah pandemi dengan segala konsekuensi, ibu yang setia membersamai, dan anak-anak yang tetap belajar serta bermain dengan riang, meski tanpa guru dan halaman sekolah. Harapan itu kawan, tak boleh sekalipun pudar, lantas kemudian mati perlahan. Harap itu, mesti kita rapalkan dengan doa, tersemat puja pada Sang Maha serta mantra bagi semesta. []

Tags: Andrea HirataResensi BukuResensi Novel
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Peluang Ulama Perempuan

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

16 Mei 2025
Nusyuz

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

16 Mei 2025
Poligami dalam

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version