Mubadalah.id – Untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh mengenai ayat-ayat aurat, perlu mengacu pada dasar hukum yang lain, di antaranya hadis-hadis Nabi Saw. Para ulama memiliki keragaman pandangan, dalam menilai kualitas hadis maupun dalam memahaminya.
Hadis yang sering menjadi dasar menentukan batas aurat perempuan terdapat dalam Jami’ al-Ushul, kitab hadis yang cukup lengkap dan masyhur karya Ibn Al-Atsir.
Di antaranya, Hadis riwayat Abu Dawud, at-Turmudzi dan Ibn Majah. Dari Aisyah ra, Nabi Saw bersabda:“Allah tidak menerima shalat perempuan kecuali memakai kain penutup kepala”.
Hadis ini sering menjadi dasar untuk mengatakan kepala perempuan adalah aurat yang harus ia tutup di dalam shalat, apalagi di luar shalat. Tetapi, dalam kritik sanad kita menemukan ragam penilaian. At-Turmudzi dan Ibn Hibban, menganggap hadis ini sahih (otentik), sementara al-Hakim menganggap hadis ini memiliki kelemahan (lihat: az-Zai’li, Nashb ar-Rayah, juz II, h. 295).
Dalam menginterpretasikan hadis ini ada beragam pendapat, karena lafalnya tidak eksplisit. Mayoritas ulama fiqh berpendapat, hanya kepala perempuan yang dianggap aurat, dan wajah tidak termasuk kepala. Yang lain menganggap di luar shalat, wajah perempuan termasuk kategori kepala yang merupakan aurat yang juga wajib ia tutup. Pandangan lain menganggap wajah sebagai aurat, tetapi dengan mengecualikan dua kelopak mata.
Di samping itu, pandangan yang lebih moderat oleh mayoritas ulama yang memperkenankan perempuan pekerja saat itu adalah perempuan budak (al-amah) untuk tidak menutup kepala, di dalam maupun di luar shalat.
Hadis Nabi
Hadis lain, yang diriwayatkan Abu Dawud, dari Aisyah ra: “Suatu ketika Asma bint Abi Bakr ra masuk ke rumah Rasulullah Saw. Saat itu dia memakai baju yang tipis dan tembus pandang. Rasulullah Saw berpaling darinya seraya berkata:
“Wahai Asma, seorang perempuan apabila sudah mencapai (umur) haid, dia tidak layak untuk dilihat, selain ini dan ini,” Rasulullah menunjuk kepada muka dan kedua telapak tangan beliau.”
Hadis ini cukup populer di kalangan penulis fikih, padahal jalur periwayatannya (sanad) bermasalah. Abu Dawud, perawi hadis ini, menyatakan hadis ini lemah karena sanadnya terputus (maqthu’), tidak menyambung langsung dengan penyampai berita (Sunan Abu Dawud, juz IV, h. 62).
Khalid bin Duraik, yang menerima hadis ini dari Aisyah, adalah orang yang tidak banyak dikenal (majhul) di kalangan pakar hadis. Duraik tidak mendengar langsung hadis ini dari Aisyah, karena tidak pernah bertemu, sehingga periwayatannya tidak bisa diterima.
Periwayatan hadis ini menyimpan tiga kemungkinan. Pertama, Khalid menerima hadis dari orang lain selain Aisyah, dan untuk alasan tertentu dengan sengaja ia mengklaim dari Aisyah. Dalam hal ini, ia tidak jujur, dan orang yang tidak jujur tidak berhak meriwayatkan hadis.
Kedua, ia lupa dari siapa ia mendengar hadis tersebut, sehingga kemudian tanpa sengaja meriwayatkannya dari Aisyah. Dalam keadaan ini juga ia tidak pantas meriwayatkan hadis, karena pelupa.
Ketiga, ia menulis hadis sendiri, lalu mengklaim dari Aisyah. Yang ini cukup fatal, hadis ini adalah palsu (maudlu’) dan harus kita tolak mentah-mentah. []