Hak istri ini sebagai bentuk untuk melindunginya dari penelantaran dan kekerasan yang suami lakukan dalam rumah tangga.
Mubadalah.id – Berdasarkan rilis data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2022 menyebutkan jumlah kasus perceraian di Indonesia meningkat. Di tahun 2022, kasus perceraian mencapai 516.334 kasus. Angka ini meningkat 15.31% dibanding pada tahun 2021, yang mencapai 447.743 kasus.
Mayoritas kasus perceraian di tahun 2022 merupakan cerai gugat, yakni permohonan perceraian yang pihak istri ajukan. Jumlah kasus cerai gugat 75.21%, sedangkan cerai talak yang pihak suami mengajukan sebanyak 24,78%.
Faktor utama perceraian di Indonesia 2022, di antaranya adalah kasus pertikaian. Di mana hingga kini masih mendominasi. Selanjutnya faktor ekonomi, meninggalkan pasangan dan faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Melihat data tersebut menunjukkan bahwa dalam menjalin hubungan suami istri ada cobaan dengan berbagai jenis. Apabila yang mengajukan perceraian di Indonesia mayoritas dari pihak istri, ini artinya dalam kasus perceraian mayoritas istri menjadi orang yang tersakiti.
Permohonan Perceraian Pihak Istri
Setiap pasangan pasti menginginkan rumah tangganya berjalan langgeng. Menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera. Sebagaimana dalam Islam mengajak suami dan istri untuk berkomitmen menjaga hubungannya dalam rumah tangga. Berbagai permasalahan hidup sayogjanya tidak boleh sampai menghancurkan keutuhan rumah tangga.
Dalam kenyataan hidup selalu menyimpan kebahagiaan dan kesedihan yang terus berganti. Namun bukan berarti setiap ada kesedihan dapat menjadi alasan untuk memutus tali pernikahan. Ajakan Islam untuk melanggengkan pernikahan tersirat secara jelas dalam sabda Rasulullah.
قال رسول الله أبغض الحلال إلى الله تعالى الطلاق
Dari hadits ini, Rasulullah mengatakan bahwa perkara halal yang paling Allah murkai adalah (jatuhnya) talak.
Kebolehan Istri Mengajukan Gugat Cerai
Dalam Islam, memang keputusan menjatuhkan talak ada pada pihak suami. Akan tetapi, bukan berarti istri tidak memiliki hak untuk mengajukan perceraian. Istri dapat mewujudkan perceraian dengan khulu’, yakni permohonan cerai dari istri kepada suami untuk menjatuhkan talak dengan timbal balik (‘iwadh) yang disepakati.
Selain itu, istri juga dapat mengajukan fasakh kepada pengadilan. Yakni pihak istri mengajukan permohonan kepada hakim untuk menjatuhkan fasakh nikah karena alasan tertentu. Alasan seperti yang tertuang dalam Kitab ‘Ianah Ath-Thalibin, adalah suami meninggalkan istri dan tidak diketahui keberadaannya serta tidak memberikan nafkah.
Di Indonesia, permohonan fasakh nikah oleh pihak istri karena ditinggal pergi oleh suami. Suami pergi tanpa kejelasan dan izin dari istri dapat ia ajukan ketika suami telah pergi meninggalkan selama dua tahun. Keadaan seperti ini menjadikan istri dan anak-anaknya terlantar.
Selain itu, istri boleh mengajukan permohonan fasakh dengan alasan pihak suami melakukan kekejaman yang dapat membayakan dirinya. Bahkan istri juga boleh mengajukan perceraian karena alasan sering terjadi pertengkaran dan tidak ada haparan rukun kembali dalam rumah tangga. Alasan-alasan perceraian itu sebagaimana termaktub dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Gugat Cerai Hak Istri Melindungi Diri
Dari ini dapat kita pahami bahwa istri dalam keluarga memiliki hak untuk mengajukan permohonan perceraian. Hak istri ini sebagai bentuk hak untuk melindunginya dari penelantaran dan kekerasan yang suami lakukan dalam rumah tangga. Penelantaran dan kekerasan ini dapat membahayakan yang istri alami dari perbuatan suaminya.
Meskipun istri memiliki hak mengajukan permohonan cerai, namun tidak berarti dalam setiap permasalahan hanya dapat mereka selesaikan dengan perceraian. Perceraian adalah jalan terakhir manakala perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga tidak dapat rukun kembali. Sehingga upaya untuk memperbaiki hubungan suami dan istri harus mereka lalui terlebih dahulu.
Langkah ini sesuai dengan yang telah Allah perintahkan.
وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا ۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا
Jika kamu (para wali) khawatir terjadi persengketaan di antara keduanya, utuslah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud melakukan islah (perdamaian), niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti. (QS. An-Nisa: 35).
Kesalingan antara Suami Istri
Dari ayat ini menegaskan bahwa perlu upaya, bahkan seseorang sebagai juru damai yang dapat memperbaiki hubungan suami dan istri. Upaya ini dapat berupa nasihat yang juru damai berikan kepada suami dan istri untuk saling bekerjasama dalam rumah tangga. Bahkan kesalingan dalam berbagai hal untuk mewujudkan keluarga bahagia.
Kesalingan antara suami dan istri penting mereka lakukan dalam rumah tangga, terutama kesalingan dalam berbagi peran. Dalam praktinya, pembagian peran ini dapat berganti-ganti sesuai dengan kondisi keluarga. Sebagai prinsipnya pengambilan keputusan dalam pembagian peran ini berdasarkan diskusi dan musyawarah suami dan istri.
Walhasil, Islam menganjurkan untuk selalu menjaga keutuhan rumah tangga sebisa mungkin. Dengan mewujudkan keluarga yang penuh kesalingan, saling mencintai, saling mengayomi, dan saling membahagiakan. Sehingga dalam rumah tangga jangan sampai terjadi perselisihan, penelantaran dan penganiayaan yang berujung pada perceraian.
Akan tetapi, apabila istri mengalami pertikaian dalam rumah tangga, hingga dapat membahayakannya. Istri memiliki hak untuk melindungi hidupnya dari kekerasan dan penelantaran dari suaminya dengan perceraian. []