Mubadalah.id – Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa dalam fikih, pembicaraan tentang hukum aborsi mengandung khilafiyah (perbedaan pendapat).
Khilafiyah itu, menurut Nyai Badriyah, terjadi karena perbedaan tentang kapan kehidupan manusia dimulai.
Menurut pendapat Imam al-Ghazali dan mayoritas ulama Malikiyah berpendapat bahwa aborsi sejak terjadinya pembuahan adalah haram. Alasannya, sejak terjadinya pembuahan, janin adalah makhluk hidup.
Sementara itu, ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah pada umumnya berpendapat bahwa aborsi sebelum janin berusia 40 hari sejak pembuahan, tidak masuk dalam kategori pembunuhan manusia karena ia belum bernyawa.
Pendapat ketiga, adalah pendapat ulama Hanafiyah. Aborsi sebelum 120 hari bukan termasuk pembunuhan manusia karena ruh belum ditiupkan.
Setiap ulama, Nyai Badriyah mengungkapkan, mendasarkan pendapatnya kepada ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi yang sahih.
Setiap ulama juga, kata dia, menetapkan sanksi bagi aborsi yang sengaja dan mengandung pelanggaran.
Terlepas dari perbedaan di atas, seluruh ulama sepakat bahwa demi alasan kedaruratan medis, seperti demi keselamatan jiwa ibu, aborsi hukumnya boleh.
Dasarnya mengacu pada QS. Al-Baqarah/2: 173 yang membolehkan manusia dalam situasi darurat, demi bertahan hidup, melakukan hal-hal yang menjadi halal, seperti memakan bangkai dan babi.
Aborsi dalam situasi darurat, kata Nyai Badriyah, menganalogikannya dengan memakan bangkai atau babi yang hukumnya halal dalam situasi normal. (Rul)