• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Hukum Menggunakan Anting bagi Perempuan dan Sejarahnya

Secara hukum, perempuan berhak dan bebas memilih serta memutuskan apakah dirinya akan memakai anting atau tidak, meskipun budaya yang berkembang seakan-akan menjadikan anting-anting ini simbol pembeda jenis kelamin laki-laki dan perempuan

Vevi Alfi Maghfiroh Vevi Alfi Maghfiroh
08/06/2022
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Hukum Menggunakan Anting

Hukum Menggunakan Anting

2.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bertepatan di hari Minggu, 5 Juni 2022, tulisan di website mubadalah.id dengan judul ‘Putriku dan Anting-anting Aksesoris Perempuan’ ramai di retweet oleh para pengguna twitter. Banyak dari mereka yang mengalami kegelisahan yang sama dengan penulis terkait hukum menggunakan anting bagi anak perempuan ini.

Beberapa retweet dari para followers pun menarik. Di antaranya @gl**n yang menyampaikan: mengalami hal yang sama ketika punya anak perempuan. Urgensinya apa sih menyarankan orang-orang untuk menindik anak perempuan mereka? Cuma untuk pembeda anak laki-laki dan perempuan?

Akun @hiF***U menyampaikan pendapat: kemarin lepas anting anak karena antingnya nyangkut dan berencana nggak pasang lagi, dan sekomplek komen, ‘terpasang lagi nanti rapet, terpasang lagi nanti nggak kayak cewek.’

Akun @godkn****e juga menyampaikan pengalamannya: miris ketika telinga ponakan sobek karena antingnya nyangkut. Ibunya kekeuh masang anting-antingnya meski berdarah dan bilang nggak apa-apa daripada ditindik lagi pas gede.

Ada juga yang meretweet dan menyampaikan bahwa dirinya sependapat dengan tulisan di artikel tersebut dan membiarkan anak perempuannya memilih memakai anting atau tidak di kemudian hari. Lantas bagaimana sebenarnya hukum menggunakan anting bagi perempuan?

Baca Juga:

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Pengalaman lainnya juga disampaikan oleh akun @grhd****zrt bahwa dirinya ditindik sejak kecil, tapi memutuskan melepasnya saat kuliah karena merasa risih dan mengganggu kebebasannya, meskipun ditegur oleh neneknya saat pulang kampung karena khawatir dikira laki-laki.

Membaca retweet dan kisah pengalaman dari follower Mubadalah.Id di twitter tersebut sebenarnya juga sama seperti yang saya alami, beberapa bulan telah memutuskan untuk tidak memakai anting-anting karena hilang, namun terpaksa memakainya kembali karena ibu membelikannya, meskipun telah saya tolak berkali-kali karena takut hilang lagi.

Lantas saya pun bertanya-tanya, sejak kapan perempuan ini memakai anting-anting? Dan apa sebenarnya hukum menggunakan anting-anting tersebut bagi perempuan, yang seakan-akan tidak lazim dan aneh jika seorang perempuan tidak memakainya?

Hukum Menggunakan Anting dan Sejarahnya

Dalam kitab al Awail, Abu Hilal al Askar menceritakan bahwa Siti Hajar adalah perempuan pertama yang memakai anting-anting. Terdapat riwayat dari Abdullah bin Amar bin al-‘Ash, Nabi Ibrahim sangat menghormati Siti Hajar. Ada anggapan bahwa sikap ini kemudian berat sebelah bagi Siti Sarah, kemudian dia menyampaikan unek-uneknya pada Nabi Ibrahim.

Siti Sarah bertanya, “Apakah engkau akan mencontohkan yang seperti ini untuk umatmu (wahai Ibrahim).” Sebagai bentuk protes, Sarah lantas mencukur rambutnya dan menjadikannya tiga bagian. Sontak Nabi Ibrahim khawatir tindakan yang Siti Sarah lakukan ini akan Siti Hajar ikuti.

Lalu Nabi Ibrahim menyarankan tindakan lainnya untuk membebaskan sumpah Hajar dan berkata, ‘Lubangilah daun telinga bagian bawah dari Hajar,” Perintah tersebut dari Siti Sarah kepada Hajar dan memasangkan anting-anting. Sarah kemudian berkata, “Tidaklah aku melihat aksi ini (melubangi dan memasang anting-anting) kecuali membuat Hajar tampak lebih cantik.”

Begitulah awal mula pemakaian anting pada perempuan berdasarkan kitab al Awail tersebut. Hingga saat ini penggunaan anting sepertinya melekat dan menjadi budaya di masyarakat kita.

Jika merujuk pada hukum menggunakan anting dan menindik untuk perempuan, mayoritas ulama berpendapat boleh. Hal ini berdasar pada hadist yang menyiratkan pengakuan Rasulullah SAW atas tradisi penggunaan anting tersebut dan tidak melarangnya.

Sebagaimana dalam hadist Jabir bin ‘Abdillah menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya, ‘Maka para wanita menyedekahkan perhiasan-perhiasannya, mereka meletakkan anting-anting dan cincinnya pada baju Bilal’ (HR Bukhari Muslim).

Selain itu kebolehan perempuan menindik dan memakai anting juga ada penguatnya dari pandangan Ibn Qayyim dalam kitabnya Tuhfatul Maudud, ia berpendapat ‘Cukuplah perbuatan dan persetujuan (para sahabat) akan hal tersebut sebagai dalil bolehnya masalah ini. Kalau hal ini terlarang tentu terdapat dalam al-Qur’an dan Hadist.’

Pendapat lain juga bersumber dari Syeikh Ibnu Utsmain dalam kitabnya Fatawa dan Rasa’il yang juga menyatakan bahwa menindik telinga bagi anak perempuan adalah boleh (laa ba’sa bihi).

Kebolehan tersebut dalam istilah hukum fikih termasuk mubah, artinya tidak ada kewajiban dan tidak ada larangan untuk memakainya, artinya perempuan atau anak perempuan dalam kaitannya dengan menindik dan memakai anting ini tidak ada beban hukum di dalamnya.

Secara hukum tersebut, sebenarnya perempuan berhak dan bebas memilih serta memutuskan apakah ia akan memakainya atau tidak, meskipun budaya yang berkembang seakan-akan menjadikan anting-anting ini simbol pembeda jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Namun pada hakikatnya, memakai anting atau tidak bukankah itu pilihan? Dan tentu saja tidak akan merubah hakikat penciptaan seseorang yang terlahir sebagai perempuan atau laki-laki. Dalam konteks berbeda pandangan tersebut, sebenarnya kita hanya perlu berdialog dan menyampaikan pesan terbuka agar apapun perdebatannya bisa saling menerima. []

Tags: Hukum SyariatNabi Ibrahim ASperempuanSejarah Islamsiti hajarSiti Sarahtubuh perempuan
Vevi Alfi Maghfiroh

Vevi Alfi Maghfiroh

Admin Media Sosial Mubadalah.id

Terkait Posts

Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Vasektomi

    Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu
  • Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2
  • Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID