• Login
  • Register
Minggu, 3 Juli 2022
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Ibu Hamil dan Menyusui Tidak Berpuasa di Bulan Ramadhan, Qadha atau Fidyah? Ini Jawabannya

Vevi Alfi Maghfiroh Vevi Alfi Maghfiroh
04/06/2020
in Hukum Syariat
0
46
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Islam sebagai ajaran yang secara universal memperhatikan kondisi umatnya, memberikan rukhsoh dan keringanan dalam hal pelaksanaan ibadah jika terdapat kesulitan, salah satunya adalah dalam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Berpuasa di bulan Ramadhan hukumnya wajib bagi semua orang Islam yang telah baligh, berakal, dan sehat. Para ulama bersepakat membolehkan orang sakit untuk tidak menjalankannya, namun berbeda pendapat tentang kebolehan musafir, orang hamil, menyusui, dan lansia untuk berbuka.

Perempuan memiliki pengalaman biologis hamil dan menyusui yang tidak dirasakan oleh laki-laki. Saat dalam kondisi ini, ia tidak hanya harus memperhatikan kesehatan dan nutrisi untuk dirinya sendiri, ia juga harus memperhatikan kondisi buah hatinya baik saat masih dalam kandungan maupun saat menyusui.

Illat kebolehan perempuan menyusui (murdhi’) dan hamil disamakan dengan orang sakit, yakni kekhawatiran akan bahaya bagi diri sendiri maupun anaknya. Perempuan yang sedang mengandung dan menyusui membutuhkan gizi yang cukup. Kekurangan makanan dan minuman selama bulan puasa dapat mengurangi kadar gizi atau air susu ibu (ASI) yang dibutuhkan, hal ini dapat berakibat kurang baik pada janin dan anaknya.

Hakikat puasa itu baik, akan tetapi jika berakibat negatif bagi para perempuan hamil dan menyusui, maka boleh ditinggalkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih daf’u al mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih. Namun kebolehannya tersebut tidak berarti ia terbebas selamanya, ia harus mengganti apa yang telah ditinggalkannya.

Baca Juga:

Berdosakah Istri Meminta Cerai: Perspektif Mubadalah

Puasa Dzulhijjah Hanya 3 Hari, Bolehkah?

Stigma Duda, Laki-laki yang Menjadi Korban Patriarki

Puasa Dzulhijjah Tapi Tidak Berurutan, Bolehkah?

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd dijelaskan, ada empat pendapat mengenai cara qadha puasa bagi perempuan hamil dan menyusui. Pertama, wajib membayar kafarat atau fidyah tanpa mengqadha puasa. Ini diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Kedua, Wajib mengqadha puasa tanpa membayar fidyah/kafarat. Ini pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya, Abu Ubaid, serta Abu Tsur.

Ketiga, wajib mengqadha puasa dan membayar fidyah/kafarat. Ini pendapat Syafi’i. dan Keempat, orang hamil wajib mengqadha puasa, sedangkan orang menyusui wajib mengqadha puasa dan membayar fidyah atau kafarat. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh perbedaan penyamaan antara orang yang berat untuk melakukan puasa dengan orang sakit.

Ulama yang menyamakan orang hamil dan orang menyusui dengan orang sakit berpendapat bahwa orang hamil dan orang menyusui hanya wajib mengqadha. Sedangkan ulama yang menyamakan mereka dengan orang yang tak mampu berpuasa berpendapat bahwa orang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah saja, tanpa qadha.

Pendapat ini mengambil ketentuan surat al-Baqarah ayat 184, Dan orang-orang yamg tidak mampu berpuasa wajib membayar fidyah berupa pemberian makanan kepada orang-orang miskin.

Ulama yang menyamakan orang hamil dan orang menyusui dengan orang sakit dan orang yang tidak kuat puasa, berpendapat bahwa orang hamil dan menyusui wajib mengqadha, karena identik dengan orang sakit, juga wajib membayar fidyah, karena identik dengan orang yang tak kuat puasa.

Ada juga ulama yang membedakan orang hamil dengan orang menyusui. Dan ada yang menyamakan orang hamil dengan orang sakit. Orang yang menyusui disamakan dengan orang sakit. Orang yang tidak kuat puasa disamakan dengan orang yang sehat.

Menurut Ibnu Rusyd, ulama yang menentukan wajib qadha saja atau wajib fidyah saja lebih utama daripada mewajibkan qadha dan fidyah kedua-duanya. Sedangkan qadha lebih utama daripada fidyah, sebab pemahaman terhadap qiraat tersebut tidak mutawatir.

Dari perbedaan pendapat tersebut, sebenarnya bisa menjawab polemik yang berkembang di kalangan ibu hamil dan menyusui terkait manakah yang harus dilakukan. Namun alangkah baiknya mengambil solusi paling bijak yang diyakini masing-masing.

Jika melihat keterangan dari kitab Minhaj Ath-Thalibin dan beberapa kitab fiqih lainnya, mayoritas menjelaskan bahwa jika berbukanya karena mengkhawatirkan janin dan anaknya saja, selain mengqadha, dia juga harus membayar fidyah.

Qadha puasa dapat dilakukan kapan saja sebelum datangnya bulan Ramadhan tahun berikutnya. Jika sampai Ramdhan berikutnya belum mengqadha, selain masih mengqadha, harus juga membayar kafarat berupa makanan pokok (beras) satu mud (sekitar 6 ons) per harinya. Wallau A’lam Bishawab. []

Vevi Alfi Maghfiroh

Vevi Alfi Maghfiroh

Mahasiswa Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Jumrah

Makna Jumrah: Simbol Perjuangan Manusia Bersihkan Hati

29 Juni 2022
Haji Perempuan

Fikih Haji Perempuan: Sebuah Pengalaman Pribadi

29 Juni 2022
jamarat

Jamarat dan Kurban : Membebaskan Egoisme

28 Juni 2022
keutamaan bekerja

Keutamaan Bekerja Menurut Al-Qur’an dan Hadis

28 Juni 2022
Dalil Al-Qur'an dan Hadis Tentang Bekerja

Dalil Al-Qur’an dan Hadis Tentang Bekerja

28 Juni 2022
rukun haji

6 Rukun Haji yang Wajib Dipatuhi oleh Para Jamaah Haji

27 Juni 2022

Discussion about this post

No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Stigma Duda

    Stigma Duda, Laki-laki yang Menjadi Korban Patriarki

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Sikap Lagertha, Pemimpin Perempuan dalam Serial Vikings yang Patut Dicontoh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisakah Kampus Menjadi Ruang Aman bagi Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kesetaraan Gender dalam Perspektif Tokoh Perempuan Nahdlatul Ulama Masa Kini

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Amalan di Bulan Dzulhijjah yang Mendatangkan Banyak Pahala

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berdosakah Istri Meminta Cerai: Perspektif Mubadalah
  • Puasa Dzulhijjah Hanya 3 Hari, Bolehkah?
  • Stigma Duda, Laki-laki yang Menjadi Korban Patriarki
  • Puasa Dzulhijjah Tapi Tidak Berurutan, Bolehkah?
  • 5 Sikap Lagertha, Pemimpin Perempuan dalam Serial Vikings yang Patut Dicontoh

Komentar Terbaru

  • Tradisi Haul Sebagai Sarana Memperkuat Solidaritas Sosial pada Kecerdasan Spiritual Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal
  • 7 Prinsip dalam Perkawinan dan Keluarga pada 7 Macam Kondisi Perkawinan yang Wajib Dipahami Suami dan Istri
  • Konsep Tahadduts bin Nikmah yang Baik dalam Postingan di Media Sosial - NUTIZEN pada Bermedia Sosial Secara Mubadalah? Why Not?
  • Tasawuf, dan Praktik Keagamaan yang Ramah Perempuan - NUTIZEN pada Mengenang Sufi Perempuan Rabi’ah Al-Adawiyah
  • Doa agar Dijauhkan dari Perilaku Zalim pada Islam Ajarkan untuk Saling Berbuat Baik Kepada Seluruh Umat Manusia
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2021 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2021 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist