Mubadalahnews.com,- Kepercayaan masyarakat mengenai cerita Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok adalah salah. Karena dalam faktanya baik di dalam ayat al-Qur’an maupun hadis tidak ada cerita tersebut.
Salah satu pendiri Fahmina, KH. Faqihuddin Abdul Kodir mengatakan, di dalam Al-Qur’an hanya menerangkan fabasaminhuma yang artinya, kemudian diciptakan dari jiwa yang sama (yang berpasangan) sebanyak laki-laki dan perempuan.
“Untuk itu berhenti mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam. Tidak ada gunanya, karena tidak ada teks al-Qur’an dan hadisnya,” kata Kiai Faqih, saat Majelis Mubadalah ke-10 yang digelar di Aula Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, Kamis, 28 Februari 2019.
Pembahasan mengenai Hawa dan Adam ini dibahas Kang Faqih saat membedah Shalawat Samara (keadilan) yang dia ciptakan. Kiai Faqih menjelaskan satu persatu makna dari bait shalawat keadilan tersebut.
Kiai Faqih menjelaskan, kepercayaan masyarakat mengenai penciptaan Hawa (perempuan) dari tulang rusuk Adam (laki-laki) berakibat pada perkembangan pemikiran masyarakat bahwa semua perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Padahal mereka mengetahui kalau manusia tercipta dari pasangan laki-laki dan perempuan. Hal ini adalah bukti awal relasi yang tidak mubadalah.
“Perempuan bukan tercipta dari tulang rusuk laki-laki, tetapi perempuan tercipta dari pasangan laki-laki dan perempuan,” ungkapnya.
Di bait selanjutnya, Kiai Faqih menyampaikan, huwa (Allah), kholakohuma (laki-laki dan perempuan), min nafsi al-wahidah (dari jiwa yang satu/sama) memiliki arti semua manusia memiliki karakter yang sama, yakni karakter kemanusiaan.
“Secara kemanusiaan, mereka (laki-laki dan perempuan) sama-sama manusia, memiliki martabat dan dipanggil Allah untuk menjadi insan yang beriman, beramal saleh, melayani keluarga, bangsa dan negara,” tuturnya.
Selain itu, Kiai Faqih mengatakan, di dalam bait kedua yang berbunyi fabatsa minhuma rijalan wa an-nisa’a terinspirasi dari Surat An-Nahl: 97.
Artinya “barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
“Dalam teks kitab suci lain tidak dijelaskan langsung mengenai laki-laki dan perempuan. Hanya Al-Qur’an yang menjelaskannya secara tegas mengenai laki-laki dan perempuan. Dan ketika ada ayat yang secara umum hanya menyebutkan wahai manusia atau setiap orang yang berbuat baiklah kalian. Yang asumsianya wahai manusia itu laki-laki dan perempuan,” tuturnya.
Kiai Faqih juga menambahkan, penyebutan laki-laki dan perempuan sangat perlu karena dari setiap teks menafsirkan berbagai hal, harus jelas, misalnya ada ayat yang mengatakan, setiap orang yang mampu harus pergi hijrah dan jihad. Secara bahasa perintah tersebut berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
“Ada lebih dari 17 ayat yang menyebutkan tentang laki-laki dan perempuan. Termasuk urusan jihad pun laki-laki dan perempuan,” jelasnya.
Dalam bait ketiga shalawat samara yang berbunyi hayyatan thayyibah menjelaskan tentang keterlibatan laki-laki dan perempuan.
Penulis buku Qira’ah Mubadalah itu menerangkan hayyatan thayyibah dalam Al-Qur’an tidak bisa betul-betul thayyibah tanpa keterlibatan dan perasaan atau manfaat yang dirasakan oleh laki-laki dan perempuan.
“Hayyatan thayyibah harus dilakukan dan dirasakan oleh laki-laki dan perempuan. Begitupun keadilan harus dilakukan dan dirasakan oleh laki-laki dan perempuan,” tutupnya. (FIF)