• Login
  • Register
Jumat, 3 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Islam Tak Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Winarno Winarno
03/09/2019
in Publik
0
pemimpin, perempuan

Sumber: bincangsyariah[dot]com

115
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Setiap insan manusia adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat oleh Allah Swt. Sebagaimana disebutkan salah satu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari Nomor 4789.

Jika ditinjau dari kacamata mubadalah, hadis itu menegaskan bahwa semua manusia bisa menjadi pemimpin. Tak hanya laki-laki, tetapi perempuan menjadi pemimpin adalah bagian yang tidak terpisahkan. Baik pemimpin keluarga, masyarakat, hakim, institusi, perusahaan, negara bahkan kerajaan sekalipun.

Jika demikian, kenapa masyarakat dan tokoh agama (Islam) masih sulit menerima kepemimpinan perempuan di ranah publik?

Jika kita telusuri secara doctrinal-misoginis. Kerap kali kelompok yang melarang kepemimpinan perempuan selalu menggunakan dalil dari hadis berikut.

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْ أَمْرَهُمْ إِمْرَأَةٌرواه البخارى و النسائى و الترمذى و أحمد

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Makna Hijab Menurut Para Ahli
  • 5 Penyebab Su’ul Khatimah yang Dilalaikan
  • Kisah Saat Perempuan Berbicara dan Berpendapat di Depan Nabi Saw
  • Gaya Hidup Minimalis Dimulai dari Meminimalisir Pakaian

Baca Juga:

Makna Hijab Menurut Para Ahli

5 Penyebab Su’ul Khatimah yang Dilalaikan

Kisah Saat Perempuan Berbicara dan Berpendapat di Depan Nabi Saw

Gaya Hidup Minimalis Dimulai dari Meminimalisir Pakaian

“Tidak akan sukses suatu kaum jika urusan mereka dikuasai oleh perempuan”. (HR. Al-Bukhari, an-Nasa’i. Al-Tirmidzi, Ahmad).

Sebelum mengamini hadis tersebut, kita harus melihat asbab al-wurudnya. Nah ada pernyataan menarik dari Kiai Faqihuddin Abdul Kodir ketika mengomentari hadis tersebut pada Bengkel Mubadalah yang digelar Sisters In Islam di Kuala Lumpur, Malaysia beberapa waktu yang lalu.

Menurut Kiai Faqih, hadis tersebut tidak relevan dijadikan landasan hukum perempuan tidak boleh, tak layak jadi pemimpin. Sebab pada waktu itu keturunan Kerajaan Persia hanya memiliki keturunan yang kebetulan seorang gadis kecil. Sehingga tak diperbolehkan memimpin kerajaan yang membentang antara Bashrah dan Omman.

Jangankan gadis kecil, anak kecil laki-laki pun jika memimpin kerajaan besar. Saya yakin ia tidak akan mampu. Mengingat kapasitas, kapabilitas, dan kemampuannya belum mumpuni. Anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan sekalipun, masanya adalah untuk bermain dan belajar.

Mungkin akan berbeda jika pada waktu itu keturunan raja dari perempuan dewasa, bukan gadis kecil. Maka ia akan diperbolehkan jadi pemimpin pada waktu itu. Jadi hadis itu berbicara bukan pada jenis kelamin tertentu, hal ini perempuan yang jadi korban. Tetapi hadis menunjukkan bahwa anak kecil tak mampu jadi pemimpin, karena kemampuan dan kapasitasnya belum mumpuni.

Karenanya, penting sekali menafsirkan hadis diatas, termasuk teks-teks keagamaan lainnya dengan menggunakan metodologi mubadalah. Sehingga hasil penafsiranya tidak kaku, stagnan, dan tekstualis. Namun kontekstual dan terpenting adalah tak mendiskriminasikan jenis kelamin tertentu (misoginis).

Baik laki-laki ataupun perempuan, sama-sama diberikan akal dan hati dari Allah SWT. Sehingga tak pantas jika orang atau kelompok tertentu masih memiliki mindset perempuan tak baik, tak bagus dan tak pantas menjadi pemimpin. Karena baik tidaknya seorang pemimpin bukan diukur pada jenis kelaminnya, melainkan kemampuan, pengetahuan dan kapasitasnya dalam mengelola, melayani dan mengayomi orang-orang yang dipimpinnya.

Dogmatis-Misoginis

Budaya patriarkhi yang begitu kuat membuat tafsiran-tafsiran yang ada bersifat dogmatis-misoginis. Sehingga sangat sulit menerima kepemimpinan perempuan dalam Islam. Padahal beberapa ayat membolehkan perempuan menjadi pemimpin. Bisa kita cek bersama dalam banyak Alquran. Misalkan QS. Alhujurat:13, Annahl:97. Bahkan di ayat lain ditegaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki potensi yang sama untuk berprestasi. QS. Annisa:124.

Pada dasarnya tidak ada pembedaan yang paling fundamental antara derajat perempuan dan laki-laki. Karena Alquran telah menyebutkan bahwasanya perempuan dan laki-laki setara derajatnya yang membedakan hanya ketakwaannya di mata Sang Pencipta.

Menurut Yusuf Qardhawi, perempuan berhak memegang jabatan sebagai kepala negara (riasah daulah), mufti, parlemen, atau posisi apapun dalam pemerintahan ataupun bekerja di sektor swasta.

Bahkan jika ditelusuri sisi sejarah, banyak perempuan-perempuan yang menduduki jabatan tertinggi suatu wilayah, seperti Sultan, hakim. Terutama di era Utsmaniyah.

Jadi tak perlu resah, gelisah apalagi takut jika perempuan menjadi pemimpin. Perempuan pun perlu diberikan tanggung jawab dan kebebasan, sama halnya seperti laki-laki. Yang patut kita kritik bukan jenis kelaminya, melainkan pada kebijakan dan peraturannya. Apakah sederetan aturan yang disahkan tersebut berpihak pada orang atau kelompok yang lemah dan dilemahkan.

Jika pemimpin otoriter, dzalim dan berlaku tak adil. Maka kita wajib mengkritik pemimpin tersebut. Dan sebagai pemimpin pun harus menerima kritikan-kritikan dari rakyat atau yang dipimpinnya. Siapapun dia, entah itu laki-laki ataupun perempuan. Karena suara pemimpin bukanlah mutlak suara Tuhan.

Bukankah kita sebagai manusia moral hanya berusaha memperjuangkan kebaikan, kesetaraan dan keadilan. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sehingga ucapan, perbuatan dan tingkah laku Nabi SAW pun untuk mengangkat harkat dan derajat manusia, terutama orang-orang yang ditindas, disakiti, dan termarginalisasi.

Makna pemimpin, bagi Ali Syari’ati adalah memiliki tanggung jawab dan kebebasan. Dua hal itu memiliki dimensi supranatural dan supramaterial, sehingga keduanya membutuhkan unsur ketuhanan di dalamnya sebagai Zat yang yang meminta dan menanyakan pertanggungjawaban itu. Sebagaimana hadis yang disebutkan di awal.

Oleh karena itu, marilah kita memberi ruang dan kesempatan kepada para perempuan untuk menjadi seorang pemimpin di mana pun berada. Perusahaan, negara, politisi, pengusaha, hakim, kerajaan dan lain-lainnya. Karena dunia ini bukan miliki laki-laki seorang, tetapi berdua, yakni melibatkan perempuan.

Jadi keduanya harus menjadi mitra untuk kerja sama dan berkolaborasi saling membantu, mengisi, mengingatkan satu sama lain. Sehingga kehidupan ini bisa berjalan dinamis, adil, dan berjalan seimbang. Karena keduanya sama-sama diberikan kesempatan memperoleh kebaikan, dan menghindari kemudharatan. Baik dunia ataupun akhirat sekalipun.[]

Winarno

Winarno

Winarno, Alumni Pondok An-Nasucha, dan ISIF Cirebon Fakultas Usuluddin

Terkait Posts

Satu Abad NU

Satu Abad NU:  NU dan Kebangkitan Kaum Perempuan 

3 Februari 2023
Pengelolaan Sampah

Bagaimana Cara Melakukan Pengelolaan Sampah di Pengungsian?

31 Januari 2023
Aborsi Korban Perkosaan

Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan

31 Januari 2023
Pemakaman Muslim Indonesia

5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia dan Kontribusinya dalam Pelestarian Lingkungan Hidup

30 Januari 2023
Ulama Perempuan

Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama

30 Januari 2023
Tradisi Tedhak Siten

Menggali Makna Tradisi Tedhak Siten, Benarkah Tidak Islami?

29 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Satu Abad NU

    Satu Abad NU:  NU dan Kebangkitan Kaum Perempuan 

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Anak Perempuan yang Nabi Muhammad Saw Hormati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kritik Ibn Hazm aẓ-Ẓahiri Terhadap Ulama yang Membolehkan Pernikahan Tanpa Wali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Penyebab Su’ul Khatimah yang Dilalaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaya Hidup Minimalis Dimulai dari Meminimalisir Pakaian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Makna Hijab Menurut Para Ahli
  • 5 Penyebab Su’ul Khatimah yang Dilalaikan
  • Kisah Saat Perempuan Berbicara dan Berpendapat di Depan Nabi Saw
  • Gaya Hidup Minimalis Dimulai dari Meminimalisir Pakaian
  • Kisah Anak Perempuan yang Nabi Muhammad Saw Hormati

Komentar Terbaru

  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama pada Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I
  • Urgensi Pencegahan Ekstrimisme Budaya Momshaming - Mubadalah pada RAN PE dan Penanggulangan Ekstrimisme di Masa Pandemi
  • Antara Ungkapan Perancis La Femme Fatale dan Mubadalah - Mubadalah pada Dialog Filsafat: Al-Makmun dan Aristoteles
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist