• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Istri Bekerja Bukan untuk Bantu Suami, Tapi untuk Dirinya Sendiri

Dalam satu titik, ketika suami sakit, mengalami kemunduran usaha, atau terkena PHK, istri secara mental sudah lebih siap untuk menghadapinya

Zahra Amin Zahra Amin
15/01/2022
in Keluarga, Rekomendasi
0
Istri

Istri

667
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id –  Istri bekerja bukan suatu yang asing zaman sekarang ini.  Suatu hari saya mendapat pertanyaan dari seseorang, Mbak, kenapa sampean tetap bekerja? Sementara suami yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan, dianggap telah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga melalui tulisan ini, saya ingin merespon pertanyaan di atas.

Pertama,  istri bekerja  bukan sedang membantu suami, tetapi ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tetap tak kehilangan jati diri sebagai perempuan yang berdikari, mandiri dan berdaya secara ekonomi. Karena tak mungkin perjalanan rumah tangga akan selalu mulus, tanpa persoalan berarti. Dalam satu titik, ketika suami sakit, mengalami kemunduran usaha, atau terkena PHK, istri secara mental sudah lebih siap untuk menghadapinya.

Kedua, ada tanggung jawab sosial di mana proses kehidupan yang berjalan ini, perempuan juga punya kontribusi menyumbangkan pikiran, tenaga dan waktunya untuk menjalankan perannya sebagai manusia, atau khalifah fil ard yang melakukan tugas dengan sebaik-baiknya, menjadi manusia yang bermartabat, berintegritas, dan mempunyai kualitas intelektual yang mumpuni.

Ketiga, saya meyakini bahwa tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Ketika memberikan sesuatu pada orang lain, terutama keluarga sendiri, ada rasa kebanggaan kita mampu membantu tanpa harus tergantung dari pemberian suami. Meski setiap keping uang yang dikeluarkan harus tetap dikomunikasikan dengan pasangan. Namun tetap ada perasaan bahagia, bisa mengulurkan tangan dan membantu orang lain dari kesulitan.

Keempat, dan ini paling penting menurut saya, karena istri bekerja bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan sendiri, tanpa harus menunggu gaji suami. Atau ketika punya kelebihan dari upah yang diterima, bisa disimpan menjadi tabungan masa depan keluarga, sebagai bekal biaya pendidikan anak-anak. Keempat alasan tersebut, saya kira lebih dari cukup sebagai alasan mengapa saya menikmati peran menjadi perempuan bekerja.

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Sebagai penajam argumentasi, saya menukil dari buku “Qira’ah Mubadalah” karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, bahwa dalam penjelasan fiqih klasik, hak dan kewajiban pasangan suami istri bertumpu pada tiga hal. Antara lain relasi yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf), nafkah harta dan layanan seks. Yang pertama ditujukan pada kedua belah pihak, di mana suami diminta berbuat baik pada istri,  dan istri juga diminta hal sama.

Relasi ini yang harus menguatkan keduanya dan mendatangkan kebaikan. Ia bukan relasi yang dominatif, salah satu kepada yang lain. Baik dengan alasan status sosial yang dimiliki, sumber daya yang dibawa, atau sekedar jenis kelamin semata. Melainkan itu adalah relasi berpasangan (zawaj), kesalingan (mubadalah), kemitraan (mu’awanah), dan kerja sama (musyarakah).

Sementara hak yang kedua yaitu nafkah harta. Diwajibkan kepada suami terhadap istri, sekalipun dalam kondisi tertentu, istri juga diminta berkontribusi. Sebaliknya untuk hak yang ketiga, soal seks, fiqih lebih menekankan sebagai kewajiban istri terhadap suami. Sekalipun fiqih juga menurunkan tuntunan-tuntunan agar suami melayani kebutuhan seks istri untuk menjaga kehormatannya.

Penjelasan fiqih seperti demikian, nafkah oleh suami, dan seks oleh istri, sesungguhnya relevan untuk berbagai budaya dunia dan tuntutan hormon biologis yang memang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks ini, sering dijelaskan bahwa kebutuhan terbesar laki-laki adalah seks, sementara kebutuhan terbesar perempuan adalah perlindungan melalui nafkah materi.

Terutama ketika perempuan harus melalui fase-fase reproduksi, menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, menyusui dan membesarkan anak yang menuntut energi khusus. Sementara laki-laki tidak memiliki halangan reproduksi apapun untuk bekerja menghasilkan harta bagi pemenuhan kebutuhan keluarga. Sehingga laki-laki dituntut memberi nafkah, sementara perempuan tidak.

Dalam konteks ini, QS. Annisa 4:34 menjadi relevan. Bahwa laki-laki atau suami diberi mandat tanggung jawab (qawwam) menafkahi perempuan atau istri. Tentu saja hal demikian tidak berlaku secara mutlak. Sebab juga ada banyak kondisi, terutama saat sekarang, di mana perempuan mampu bekerja sama persis dengan laki-laki, bahkan bisa jadi menghasilkan harta lebih banyak.

Di sisi lain perempuan juga sebagai manusia memiliki kebutuhan seks yang harus dipenuhi seperti laki-laki. Sekalipun intensitas dan ekspresinya bisa jadi berbeda, lebih rendah dari laki-laki, atau bisa juga lebih tinggi. Untuk itu fiqih melengkapi adagium “kewajiban nafkah oleh laki-laki dan seks oleh perempuan” (al-nafaqah fi muqabalat al-budh’).

Dengan rumusan normatif prinsip relasi mu’asyarah bil ma’ruf, saling berbuat baik antara suami/laki-laki dan istri/perempuan. Prinsip ini membuka fleksibilitas adagium tersebut, sehingga perempuan juga bisa dituntut berkontribusi dalam hal nafkah, sebagaimana laki-laki juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan seks perempuan. []

Tags: bekerjaistrikeluargasuami
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version