Mubadalah.id – Istri bekerja bukan suatu yang asing zaman sekarang ini. Suatu hari saya mendapat pertanyaan dari seseorang, Mbak, kenapa sampean tetap bekerja? Sementara suami yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan, dianggap telah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga melalui tulisan ini, saya ingin merespon pertanyaan di atas.
Pertama, istri bekerja bukan sedang membantu suami, tetapi ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tetap tak kehilangan jati diri sebagai perempuan yang berdikari, mandiri dan berdaya secara ekonomi. Karena tak mungkin perjalanan rumah tangga akan selalu mulus, tanpa persoalan berarti. Dalam satu titik, ketika suami sakit, mengalami kemunduran usaha, atau terkena PHK, istri secara mental sudah lebih siap untuk menghadapinya.
Kedua, ada tanggung jawab sosial di mana proses kehidupan yang berjalan ini, perempuan juga punya kontribusi menyumbangkan pikiran, tenaga dan waktunya untuk menjalankan perannya sebagai manusia, atau khalifah fil ard yang melakukan tugas dengan sebaik-baiknya, menjadi manusia yang bermartabat, berintegritas, dan mempunyai kualitas intelektual yang mumpuni.
Ketiga, saya meyakini bahwa tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Ketika memberikan sesuatu pada orang lain, terutama keluarga sendiri, ada rasa kebanggaan kita mampu membantu tanpa harus tergantung dari pemberian suami. Meski setiap keping uang yang dikeluarkan harus tetap dikomunikasikan dengan pasangan. Namun tetap ada perasaan bahagia, bisa mengulurkan tangan dan membantu orang lain dari kesulitan.
Keempat, dan ini paling penting menurut saya, karena istri bekerja bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan sendiri, tanpa harus menunggu gaji suami. Atau ketika punya kelebihan dari upah yang diterima, bisa disimpan menjadi tabungan masa depan keluarga, sebagai bekal biaya pendidikan anak-anak. Keempat alasan tersebut, saya kira lebih dari cukup sebagai alasan mengapa saya menikmati peran menjadi perempuan bekerja.
Sebagai penajam argumentasi, saya menukil dari buku “Qira’ah Mubadalah” karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, bahwa dalam penjelasan fiqih klasik, hak dan kewajiban pasangan suami istri bertumpu pada tiga hal. Antara lain relasi yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf), nafkah harta dan layanan seks. Yang pertama ditujukan pada kedua belah pihak, di mana suami diminta berbuat baik pada istri, dan istri juga diminta hal sama.
Relasi ini yang harus menguatkan keduanya dan mendatangkan kebaikan. Ia bukan relasi yang dominatif, salah satu kepada yang lain. Baik dengan alasan status sosial yang dimiliki, sumber daya yang dibawa, atau sekedar jenis kelamin semata. Melainkan itu adalah relasi berpasangan (zawaj), kesalingan (mubadalah), kemitraan (mu’awanah), dan kerja sama (musyarakah).
Sementara hak yang kedua yaitu nafkah harta. Diwajibkan kepada suami terhadap istri, sekalipun dalam kondisi tertentu, istri juga diminta berkontribusi. Sebaliknya untuk hak yang ketiga, soal seks, fiqih lebih menekankan sebagai kewajiban istri terhadap suami. Sekalipun fiqih juga menurunkan tuntunan-tuntunan agar suami melayani kebutuhan seks istri untuk menjaga kehormatannya.
Penjelasan fiqih seperti demikian, nafkah oleh suami, dan seks oleh istri, sesungguhnya relevan untuk berbagai budaya dunia dan tuntutan hormon biologis yang memang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks ini, sering dijelaskan bahwa kebutuhan terbesar laki-laki adalah seks, sementara kebutuhan terbesar perempuan adalah perlindungan melalui nafkah materi.
Terutama ketika perempuan harus melalui fase-fase reproduksi, menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, menyusui dan membesarkan anak yang menuntut energi khusus. Sementara laki-laki tidak memiliki halangan reproduksi apapun untuk bekerja menghasilkan harta bagi pemenuhan kebutuhan keluarga. Sehingga laki-laki dituntut memberi nafkah, sementara perempuan tidak.
Dalam konteks ini, QS. Annisa 4:34 menjadi relevan. Bahwa laki-laki atau suami diberi mandat tanggung jawab (qawwam) menafkahi perempuan atau istri. Tentu saja hal demikian tidak berlaku secara mutlak. Sebab juga ada banyak kondisi, terutama saat sekarang, di mana perempuan mampu bekerja sama persis dengan laki-laki, bahkan bisa jadi menghasilkan harta lebih banyak.
Di sisi lain perempuan juga sebagai manusia memiliki kebutuhan seks yang harus dipenuhi seperti laki-laki. Sekalipun intensitas dan ekspresinya bisa jadi berbeda, lebih rendah dari laki-laki, atau bisa juga lebih tinggi. Untuk itu fiqih melengkapi adagium “kewajiban nafkah oleh laki-laki dan seks oleh perempuan” (al-nafaqah fi muqabalat al-budh’).
Dengan rumusan normatif prinsip relasi mu’asyarah bil ma’ruf, saling berbuat baik antara suami/laki-laki dan istri/perempuan. Prinsip ini membuka fleksibilitas adagium tersebut, sehingga perempuan juga bisa dituntut berkontribusi dalam hal nafkah, sebagaimana laki-laki juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan seks perempuan. []