• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Jangan Ada Lagi Stigma Beda Agama

Cara efektif menghilangkan prasangka adalah dengan mendengar dan didengar, membangun hubungan sosial dan komunikasi tanpa jarak serta sekat.

Nur Fitriani Nur Fitriani
28/09/2020
in Publik, Rekomendasi
0
423
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Saat kecil kita sering mendengar stigma tentang agama lain yang berbeda dengan kita, baik dari keluarga maupun lingkungan tempat tinggal, mereka bilang kalau agama lain itu salah, dan kita tidak boleh dekat-dekat dengan mereka. Kamu pernah merasakan itu saat kecil atau keluargamu sangat menjunjung toleransi? Terlahir dalam keluarga yang menganut agama mayoritas membuat seolah semua sama dengan kita, kadang lupa bahwa ada orang-orang yang menganut kepercayaan berbeda.

Namun tidak semua keluarga menerapkan prinsip saling menghargai dengan sebenarnya, yang dirasakan hanyalah menghormati secara ucapan dan tulisan ketika ada pertanyaan-pertanyaan moral dalam soal ujian. Faktanya? Ada jarak antara kami dan teman-teman non-muslim, hanya bisa membicarakan mereka dari belakang, tanpa berani bertanya langsung, saling berprasangka.

Apakah semua keluarga agama mayoritas seperti itu? jelas tidak, ada beberapa keluarga yang memang mengajarkan arti toleransi sebenarnya, tapi banyak pula yang tidak mengajarkan hal itu. Stigma yang diujarkan pada anak kecil biasanya menyangkut tentang agama, bukan tentang kepribadian orang tersebut, misalnya

Kalau kamu masuk gereja (termasuk Vihara, Pura, Klenteng) kamu jadi kafir, jangan dekat-dekat.

Kalau kamu liat atau baca injil, kamu kafir, hati-hati berteman dengan orang non-muslim

Baca Juga:

Belajar Nilai Toleransi dari Film Animasi Upin & Ipin

Dokumen Abu Dhabi: Warisan Mulia Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Tayyeb Bagi Dunia

Merawat Toleransi, Menghidupkan Pancasila

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

Saat kecil stigma itu jelas ditelan mentah-mentah dan menjadi keyakinan. Lalu bagaimana saat kecil berteman dengan non-muslim? Ya kami tetap berteman sebgaimana anak kecil pada umumnya bermain, tapi kami menganggap bahwa dia berbeda dan kami menjaga jarak.

Tapi seiring berjalannya waktu pada usia remaja, stigma itu tidak bisa diyakini begitu saja, karena pola pikir dan rasa ingin tahu yang semakin berkembang menjadikan rasa penasaran untuk mencari kebenaran atas pertanyaan-pertanyaan, ada yang mencari jawaban dengan membaca-baca buku tentang trinitas agama, agama samawi, filsafat agama dan lain sebagainya, tidak jarang pula mencari kepuasan atas rasa ingin tahu dengan mengikuti komunitas-komunitas yang ada di daerahnya.

Pada masa inilah moment yang penting, seharusnya orangtua maupun keluarga terdekat membimbing dan menemani, karena jika informasi yang didapatkan salah maka tidak menutup kemungkinan remaja akan terseret pada ekstrimisme. Gejolak rasa penasaran saat remaja tidak bisa dicegah, sudah saatnya untuk tidak lagi menganggap membicarakan agama lain adalah hal tabu, karena Allah SWT memang menghendaki adanya  perbedaan bukan?

Jangankan perbedaan di luar agama yang kita anut, dalam Islam saja ada banyak perbedaan seperti adanya NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah dan lain sebagainya. Apakah orangtua/lingkunganmu pernah membahas perbedaan itu? Apakah mereka meyakinkan padamu bahwa perbedaan itu sunnatullah? Tapi kamu mempunyai hak untuk terus meyakini hal tersebut atau berubah dengan mencari jawaban atas pertanyaan ‘apakah perbedaan itu dilarang.

Wacana toleransi memang akhir-akhir ini sangat masif, tapi tetap saja, itu hanya akan menjadi sebatas ucapan dan teks saja jika prasangka tidak dihilangkan. Salah satu komunitas yang mengampanyekan tentang toleransi dan keberagaman adalah Jaringan Gusdurian, komunitas ini aktif menyusuri kampus-kampus.

Komunitas ini juga punya kegiatan safari, kegiatan ini berkeliling ke rumah-rumah ibadah agama lain dan mendengarkan cerita mereka, kami tertarik untuk ikut. Rumah ibadah yang pertama dikunjungi adalah gereja, tempat yang sangat dilarang oleh orangtua dan lingkungan terdekat untuk kami kunjungi, bagaimana perasaan saat itu?

Takut dan grogi, takut karena hal itu telah dilarang oleh orang tua sejak kecil, takut ketahuan orangtua lalu dimarahi, grogi karena berusaha melawan ketakutan itu. ketika memasuki gereja, seolah Romo yang berada dalam gereja tahu bahwa kami takut untuk masuk, beliau tersenyum dan berkata “tidak apa-apa, kalau tidak nyaman masuk bisa duduk di sebelah dan makan snack sambil minum teh hangat.”

Tapi kami tetap masuk. Tidak menyangka sekarang ada salib besar dihadapanku dan aku duduk di kursi panjang dalam gereja, Romo mulai berbicara di depan, beliau bercerita tentang agama yang dianutnya, kalimat penutup ceritanya “agama kami meyakini seperti ini, kalau di agama kalian seperti apa, mari kita saling bercerita, tanya apapun tentang agama kami boleh.”

Setelah itu terjadilah percakapan dari berbagai agama dalam forum tersebut. Bagi kami yang tumbuh terbiasa mendengar stigma agama lain, takjub melihat hal tersebut, sungguh ringan dan menyenangkan mengetahui satu sama lain, ternyata berteman berbeda agama itu tidak menyeramkan.

Menyoal keimanan, dengan berteman berbeda agama tidak akan merusak iman selagi saling menghargai dan menghormati. Kegiatan safari berlanjut pada Masjid, Vihara, Klenteng dan Pura, sungguh menyenangkan mengetahui keberagaman Indonesia. Pengalaman ini menjadikan kami meyakini suatu hal, bahwa kedamaian antar umat beragama akan terjaga jika tidak ada prasangka.

Jadi, jangan ada lagi stigma tentang beda agama. Karena manusia adalah sama. Prasangka hanyalah ketakutan-ketakutan yang tak berdasar, cara efektif menghilangkan prasangka adalah dengan mendengar dan didengar, membangun hubungan sosial dan komunikasi tanpa jarak serta sekat.  []

 

Tags: agamaJaringan Gusduriantoleransi
Nur Fitriani

Nur Fitriani

Nur Fitriani merupakan magister UIN Malang. Gadis asal Pasuruan ini memiliki mimpi yang sangat sederhana, ingin bermanfaat untuk orang banyak, dan ingin ikut andil dalam perubahan yang berkeadilan jangka panjang. Saat ini dirinya menjadi anggota komunitas menulis Puan Menulis.

Terkait Posts

Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID